Bab 27

78 10 1
                                    

Terima kasih yang masih ngikutin cerita ini, ditunggu vote dan komennya ya, biar semangat lanjutin ceritanya hehehe...


Biasanya play list lagu untuk mengisi acara wedding sesuai permintaan klien. Jenis musik disesuaikan dengan lagu tapi ada juga klien yang fanatik terhadap jenis musik tertentu seperti klien kali ini, yang meminta semua lagu dibuatkan dalam arrasement jazz swing. Latihannya lumayan butuh effort besar karena basikc band bergenre musik pop.

Fill my heart with song

And let me sing for ever more

You are all I long for

All I worship and adore

In other words, please be true

In other words, I love you

"Ketukan drum lo dari tadi banyak yang salah deh Frans. Iya kan Van, Sa?" Alin menatap Elvan dan Sarah bergantian, mencari validasi atas pendengarannya.

Elvan mengiakan dengan anggukan kepalanya lalu menoleh ke arah Frans. "Lo nggak lagi mabuk kan Frans?" seloroh Elvan.

"Sialan. Nggaklah. Gue hanya mabok kalau di pub."

"Mungkin Frans lagi banyak pikiran," Rudi menimpali dengan nada simpatik tapi dengan ekspresi wajah mengejek.

"Mikiran apa sih Frans, pacar tinggal milih, uang nggak pernah habis. Lo bahkan nggak tahu rasanya makan indomie telur karena terpaksa bukan pilihan. Bunyi token listrik aja lho nggak tahu kan?"

"Ya tahulah," Frans menjawab sambil cengir. Ia meletakkan stik drumnya, menguar rambutnya sambil menghembuskan nafas."Sepertinya gue butuh kopi. Break dulu ya, gue pesenin kopi," ujar Frans sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Samaan aja ya kopi gula aren."

"Sekalian rotinya Frans."

Frans melirik Sarah yang tengah berbincang-bincang dengan Alin. Ia memang sedang memikirkan sesuatu dari semalam, sejak Bang Lubis mengatakan jika kedua orang tua Sarah sudah meninggal. Obrolan itu bermula ketika ia mengungkapkan keheranan pada Bang Lubis, kenapa orang tua Sarah tidak pernah muncul, apa dia tidak peduli atau tidak tahu? Andaipun tinggal di luar kota, masa tidak tahu masalah yang dihadapi anaknya. Apa tidak ada sanak saudara yang mengabarinya.

"Kukira kau sudah tahu kalau orang tua Sarah meninggal dalam kecelakaan 3 tahun lalu."

Fakta yang membuatnya terhenyak. Ia pernah mendengar Alin mengatakan jika orang tua Sarah di luar kota dan percaya karena Alin yang berteman dengan Sarah sejak sma.

"Ayahnya seorang dokter forensik. Sempat ada rumor jika kecelakaan itu terkait dengan kasus yang tengah ditanganinya."

"Lalu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.

Bang Lubis mengangkat bahu. "Pihak keluarga menganggapnya sebagai kecelakaan murni. Mungkin itu lebih baik untuk memperkecil efek trauma anak-anaknya."

Seketika ekspresi datar Sarah melintas dibenaknya, sikap defensifnya, tatapan matanya yang tajam seperti menyimpan amarah yang bisa meledak kapan pun. Ia teringat bagaimana Sarah menghajar lelaki yang memegang bokongnya, bukan sekedar pukulan menakut-nakuti tapi sepenuh tenaga, seolah melepas semua energi marah yang tersimpan di sana.

Kehilangan orang tua adalah hal yang paling ia takuti saat kecil. Seiring usia ia tidak pernah memikirkan rasa takut itu tapi hari ini memikirkannya. Nyatanya rasa takut itu tidak hilang hanya intensitasnya yang berkurang. Tiba-tiba ia merindukan bertemu orang tuanya. Sejak menginjak bangku kuliah, ia memilih tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kampusnya di Lippo Tangerang. Sementara rumah orang tuanya berada di Jakarta Barat. Pertemuan fisik dengan orang tuanya yang tinggal dalam satu bulan bisa dihitung dengan jari dan hanya beberapa jam, biasanya saat jam makan siang jika kebetulan orang tuanya ada urusan bisnis yang tak jauh dari apartemennya tinggal atau ia sengaja ke kantor ayahnya untuk suatu urusan.

"Ya ampun Frans, lo masih melamun, jangan-jangan lo lagi patah hati," Alin mencolek bahunya. "Ayo latihan lagi keburu malam nih, gue nggak mau pulang telat mau nonton drakor."

Frans yang tengah duduk menyender dengan gelas kopi di tangannya beranjak, berjalan menuju drumnya yang hanya beberapa langkah di depannya.

"Ayolah Bro semangat, mati satu tumbuh seribu." ledek Elvan yang sepertinya mengira Frans tengah putus cinta.

Jam menunjuk di angka 10 ketika latihan selesai. Alin pamit ke toilet. Frans masih mencoba-coba memukul drumnya tapi tanpa speaker. Dengan ujung matanya Frans melihat Rudi dan Elvan tengah bercakap-cakap diselingi tawa yang cukup keras. Sarah baru selesai menggulung kabel keyboard. Terdengar teriakan Alin,"Sa, gue ke toilet dulu ya."

"Frans!" Suara Sarah membuat Frans menoleh dan menghentikan aktifitasnya memukul-mukul drum.

"Malam minggu ini, lo ada acara nggak?" tanya Sarah setengah berbisik. Sebenarnya ini pertanyaan basa-basi karena sepengetahuannya Frans selalu ada acara saat malam minggu kalau nggak ngeband jalan sama teman perempuannya, entah yang mana. Beberapa teman perempuannya pernah diajak saat latihan. Ada yang berwajah Indo berambut coklat, cantik seperti foto model, ada yang pendek berisi bersuara cempreng, ada yang kurus dan pemalu.

"Buat lo selalu ada waktu," jawab Frans dengan ekspresi dramatis, kedua tangannya direntangkan.

"Gue serius Frans," Sarah melotot.

"Lho pernyataan gue juga serius."

Sarah mendengus."Ya gue butuh temen jalan."

"Oke, kabari aja mau dijemput jam berapa," kata Frans sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sarah mendelik sebal."Ini bukan seperti dugaan lo! Kita bicarakan detailnya nanti."

Frans ngangguk-ngangguk, tangannya memijit tombol off di monitor kecil drum elektrik. Tentu saja ia tahu maksud Sarah bukan berdua dalam persepsi yang selama ini ia gunakan jika bersama dengan teman perempuan atau pacarnya. Ia hanya suka menggoda Sarah. Sikap ketus dan kata-kata tajamnya jadi seperti candu alih-alih membuatnya tersinggung. 

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang