Bab 8

95 12 1
                                    

Masih bab pembukaan ya, masih kurang greget...


Dengan canggung Sarah membalas pelukan Alin saat mereka bertemu. Rasa lengket dan bau asam dari tubuhnya membuat Sarah risi memeluk Alin.

"Sorry banget, Sa. Gue nggak bisa bantu banyak," Alin berkata dengan nada menyesal, ia menarik Sarah untuk duduk di sofa.

"Nggak apa-apa, gue hanya saksi kok." Sejujurnya, semalam ia kesal pada semua temannya termasuk Alin. Kekesalan itu mereda setelah menyadari teman-temannya tidak meninggalkannya sendiri.

Sarah menguap, selain sisa rasa lelah, perut kenyangnya membuat ia mengantuk.

"Tidur di kamar gue aja yuk Sa, biar enak."

"Iya  lemes tapi kayaknya gue perlu mandi dulu ."

"Bentar gue siapin handuk bersih. Mau pake kaos gue?"

"Nggak, gue ada kaos di tas."

Tak lama Alin kembali dengan sebuah handuk. "Lo nginep di sini aja Sa, Nyokap gue tugas ke luar kota baru pulang lusa ."

"Gue mau beresin koreksian bab 2. Lusa ada janji ketemu dosen pembimbing." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamar mandi. Rumah Alin seperti rumah kedua untuknya, ia berteman dengan Alin sejak duduk di bangku sma, kedekatannya karena sama-sama suka musik. Rumah Alin jadi persinggahannya setiap kali ia manggung, untuk menyimpan motor, pakaian ganti, laptop dan alat mandi,

"Jadi lulus semester ini?" tanya Alin sebelum Sarah masuk ke kamar mandi.

"Yoi!" Tinggal satu langkah lagi, targetnya untuk lulus kuliah tahun ini tercapai. Tidak sia-sia perjuangan begadang malam demi malam mengejar nilai agar tidak ada mata kuliah yang harus diulang, mencari literatur untuk bahan tugas akhir, menunggu dosen berjam-jam. Sarah menarik nafas lega, bayangan dirinya memakai toga membuatnya tersenyum sendiri.

Sarah keluar kamar mandi dengan wajah segar, rasa kantuknya hilang. Ia menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk lalu duduk di sofa. Alin tengah menatap layar ponsel. Dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat terhidang di atas meja.

"Eh lo udah ngabarin orang rumah kan?" tanya Alin, ia menurunkan ponselnya, menunjuk cangkir teh milik Sarah.

Sarah mengangguk, meraih cangkir teh dan menyesapnya.

"Santai aja di sini Sa, istirahat, sore atau malam baru pulang," ujar Alin. Ketika melihat gelagat Sarah yang nampak ngantuk, Alin menyodorkan bantal sofa.

"Terima kasih." Sarah menggeser tempat duduknya hingga menyender pada siku sofa, ia menyelipkan bantal sofa ke belakang punggungnya.

"Pak Ardi sudah dengar kasus ini?" Pak Ardi adalah manager coffee shop tempat mereka rutin manggung dua minggu sekali, yang kini merangkap jadi manager band mereka untuk manggung di berbagai acara wedding atau event.

"Langsung kita kabari. Lo tahu sendiri tabiatnya, serba harus lapor kalau ada masalah. Dia yakin sih lo nggak terlibat hanya kebetulan berada di TKP. Dia negur si Frans karena ngajak kita mampir ke kelab malam. Kejadian semalam sudah masuk berita di Komporan juga."

Alin membuka aplikasi medsos dan membuka akun sebuah portal berita terpercaya dan memperlihatkannya pada Sarah. "Sorry Sa, ini biar lo nggak shock aja kalau ketemu teman, tetangga atau  saudara yang kepo ."

"Memangnya ada foto gue?" Dengan tak sabar Sarah ia menscrool berita dengan judul yang membuatnya tergidik, Keributan di kelab malam berujung penusukan dipicu masalah perempuan.

Di sana terlihat potongan video amatir, dengan beberapa bagian yang diblur, dirinya yang berdiri di tengah kerumunan dan di depannya seorang lelaki tersungkur. Ada juga foto saat dirinya bersama lima anak muda lain di depan kantor polisi, foto yang diambil dari arah belakang, sehingga hanya menampakkan punggungnya.

Seketika debaran jantung Sarah berpacu lebih cepat, ia cemas jika mba Shinta dan Bu Arin, ibu-ibu yang mempercayakan anaknya dia beri les privat piano tahu kejadian ini. Ya walaupun ia bukan pelaku penusukan tapi dirinya ada di sana. Bagaimana jika mereka meminta guru pengganti? Sarah meraih cangkir teh dan menyeruputnya hingga tandas terlebih untuk menenangkan perasaannya.

***

Frans melemparkan kunci mobil dan menghempaskan diri ke sofa begitu sampai di apartmennya. Ia meraih remote AC yang tergeletak di meja, memijit tombolnya. Matanya memandang puas apartemennya yang kini sudah rapih, bersih dan wangi. Bukan karena dibereskan teman-temannya tadi pagi. Mereka memang membereskan, tapi tidak memuaskan, jadi ia meminta petugas kebersihan apartemen langganannya membersihkan. Artinya harus merogoh kocek tak terduga sebesar 150 ribu karena sebenarnya jadwal bersih-bersih yang rutin dilakukan satu minggu sekali baru dilakukan dua hari lalu.

Sebenarnya menyebalkan jika teman-temannya menginap di apartmen tapi itu resikonya jika mabuk. Ini benar-benar hari yang melelahkan, bukan sekedar lelah fisik tapi pikiran. Ia tidak bisa berhenti menyesali ajakan ke kelab kemarin malam karena menyebabkan Sarah terlibat masalah hukum dan secara tidak langsung melibatkannya. Sejauh ini tidak ada bukti yang mengarah pada dugaan jika Sarah pelakunya, tapi tetap saja ini akan menjadi proses tidak sebentar, tergantung berapa lama pelaku terindentifikasi. Ia berharap CCTV merekam kejadian penusukan jadi pelaku  segera ditangkap. Tapi bagaimana jika Sarah pelakunya? Bukankah dia bisa melakukan kekerasan jika mengalami perlakuan tak senonoh. Ia tergidik membayangkan Sarah yang kurus memegang belati dan menusukannya. Buru-buru ia singkirkan pikiran jelek itu.

Frans menghela nafas, mengalihkan pikirannya pada percakapannya dengan bang Lubis tadi siang, soal masa depan. Sejujurnya ia tidak tahu apa yang ingin dicapainya tahun depan, dua tahun ke depan, dan seterusnya, ia hanya mengikuti rutinitas sesuai keinginannya. Mengambil cuti kuliah karena memang ingin santai bukan karena alasan khusus. Dua puluh lima tahun dan masih tidak tahu gambaran hidup seperti apa yang diinginkannya kelak? Tunggu, tunggu, sebenarnya ia tahu gambaran hidupnya di masa depan, meneruskan firma ayahnya, itu juga tujuannya masuk kuliah jurusan hukum.

Mungkin itu sebabnya ia tidak terlalu termotivasi segera lulus dan membuat gambaran masa depannya karena ia sudah tahu endingnya, Frans tersenyum kecut. Tapi lucu juga yang dikatakan bang Lubis jika tidak memiliki gambaran masa depan yang diinginkannya kelak, cari perempuan yang bisa membuatnya menciptakan masa depan bersama. Frans memejamkan mata, menderetkan perempuan yang pernah dekat dengannya atau mendekatinya. Rosi, cewek manja berbody bohay yang suka sekali menggelayut manja. Kristin, yang kecantikan dan wanginya membuatnya betah berlama-lama dekat dengannya. Susan, seksi dan memujanya. Perempuan-perempuan yang menyenangkan hatinya tapi tidak pernah terpikir membawa mereka ke masa depannya. 

Frans tersenyum, merasa puas dengan masa muda yang tengah dijalaninya. Udara dingin dari AC mengusap tubuhnya, membuat matanya terasa berat untuk tetap terbuka. Tiba-tiba ia merasa berada di sebuah ruangan, Sarah berdiri dihadapannya,"Lo brengsek Frans!"teriaknya dengan tatapan nanar. Seketika Frans terbangun dari tidurnya,"Sialan!" umpatnya. Setelah mengatur nafas untuk menenangkan diri dari mimpi ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju lemari es, mengambil sekaleng soda, berjalan mengitari ruangan dan berdiri di depan jendela yang menghamparkan pemandangan kota di malam hari. Ia membuka kaleng soda dan menegaknya. Kadang kelakuannya memang brengsek diantaranya selalu mengambil kesempatan pada perempuan yang mengharapkan perhatiannya, perempuan yang ingin disentuhnya. Atau sebaliknya menaklukan perempuan yang menarik hatinya. Tapi bukankah itu cara menikmati masa muda?

Sarah bukan perempuan yang masuk katagori tipenya yaitu cantik, modis dengan pakaian sedikit terbuka, glowing, dan supel. Ya sebenarnya Sarah tidak jelek, tapi bukan tipenya. Frans menggidikkan bahu mengingat Sarah yang selalu memasang ekspresi dingin yang sulit ditebak. Tapi sejujurnya ekspresi itu sedikit menyinggung harga dirinya, saat banyak perempuan berebut mencari perhatiannya, Sarah tidak melakukannya. 

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang