Bab 11 Sarah

76 12 2
                                    


Sarah menatap langit-langit kamar, rasa nyerinya sudah jauh berkurang setelah meminum obat pereda nyeri yang diresepkan dokter di klinik. Setelah kejadian tabrakan itu, ia menelpon Aldi, adiknya untuk menjemputnya tanpa berniat mampir ke klinik karena hanya keseleo, ia bisa meminta Bi Lis memanggil tukang urut tapi tukang ojek memaksanya mampir ke klinik, katanya sudah diamanahi oleh pemilik mobil untuk mengantarnya ke klinik. Jadilah dengan dibonceng Aldi dan dikawal tukang gojek ia ke klinik terdekat. Dokter meresepkan anti nyeri dan cream otot, katanya yang ia alami bukan keseleo karena area yang bengkak dan sakit bagian betis, kemungkinan memar. Dokter klinik memberikan surat rujukan untuk ke dokter spesialis rehabilitasi medik di RSUD untuk memastikan kondisi kakinya, katanya mungkin dokter di RSUD akan menyarankan terapi. "Jika tidak diterapi bisa sembuh tapi butuh waktu lama." Dokter klinik menyarankan untuk mengopres betisnya.

Tapi ia tidak menuruti saran dokter klinik untuk ke RSUD, karena membayangkan antriannya saja lelah. Beberapa bulan lalu ia sempat mengantar Bi Lis ke RSUD berdasarkan surat rujukan BPJS untuk memeriksa keluhan kaku dan sakit di pergelakan kakinya, ia kira setelah daftar online akan langsung masuk antrian dokter ternyata antri pendaftaran offline dulu baru antri ke dokter yang dituju. Karena tidak tahu alurnya, dia datang jam 8 pagi ke RSUD, alhasil dapat nomor antrian ratusan. Lebih dari setengah hari dihabiskan untuk mengantri.

Ya, ia kini tidak punya lagi privilege yang memungkinkan daftar ke dokter kelas eksekutif dengan atrian sedikit dan ruang tunggu nyaman.

Kini yang dirasa sakit bukan hanya betisnya juga beberapa bagian tubuhnya, dada kirinya agak sakit akibat benturan dengan stang. Bahu kanannya lecet karena menahan tubuh saat jatuh. Lecet di telapak tangannya mulai terasa perih. Tapi lebih dari itu yang membuatnya tidak bisa memejam mata sejak pagi hingga sore ini – padahal badan terasa capek - adalah beberapa berita buruk yang harus ia terima tanpa diduga.

Berita menyebar begitu cepat. Entah siapa yang mengenali foto dirinya yang ada di berita online padahal fotonya tidak begitu jelas dan namanya menggunakan inisial. Tadi siang dosen bidang kemahasiswaan dan ketua himpunan dari jurusannya menelpon, meminta konfirmasi berita yang beredar luas di kampus jika dirinya terlibat penusukan di kelab malam. Setelah mendengar ceritanya pihak kampus meminta menuntaskan masalah hukum ini, menunda proses tugas akhir kuliahnya. Artinya tidak lulus semester ini dan harus membayar UKT untuk semester depan.  Usahanya belajar mati-matian begadang, agar bisa lulus 7 semester rasanya sia-sia. Dan harap dicatat ia orang dengan kapasitas otak biasa, jadi untuk menjadi yang terbaik dan lulus cepat dia harus belajar dua kali lipat dari orang cerdas.

"Saya tidak terlibat, Pak, saya hanya kebetulan ada di tempat kejadian perkara." Ia mencoba membela diri.

"Artinya kamu jadi saksi, akan terlibat sampai pelakunya ditemukan toh?"

Dalam hati Sarah meruntuki wartawan yang menulis berita kejadian itu tanpa investigasi hanya mengejar rating.

Semoga dalam 24 jam kasus ini selesai, CCTV akan mengungkap pelakunya. Ia berharap tidak ada saudara, tetangga, adiknya bahkan Bi Lis membaca atau menonton berita itu dan memperhatikan foto dan inisial namanya.

Sarah menghela nafas, beranjak dari tempat tidur dan duduk di meja belajarnya. Ia mengeluarkan buku notes sebesar telapak tangan dari ranselnya. Ia membuat sketsa untuk melepaskan kegundahannya. Sebuah sketsa yang menggambarkan suasana kelab malam itu.

Masalah ini pasti bisa ia lalui, bukankah ia pernah mengalami masalah lebih besar 3 tahun lalu. Buru-buru Sarah mengenyahkan ingatan itu, ia fokus kembali pada sketsa yang dibuatnya. Ia tidak pandai menggambar sketsa wajah, sekedar coretan pengingat apa yang dilihatnya pada malam penusukan itu.

Ketukan halus di pintu membuyarkan konsentrasi Sarah, saat menoleh dilihatnya seraut wajah wanita setengah baya muncul dari balik pintu. "Ini air hangat buat kompres," katanya lalu masuk ke dalam kamar Sarah

Sarah menutup buku notesnya, berbalik, menjulurkan kakinya yang cidera ke depan.

Bi Lis meletakkan baskom berisi air hangat, mencelupkan handuk hangat lalu memerasnya.

"Rebahan di tempat tidur saja Neng, sekalian Bibi pijitin, biar bisa tidur nyenyak."

Sarah menuruti saran Bi Lis, ia merebahkan dirinya di tempat tidur dengan posisi tengkurep. Bi Lis mengkompres betisnya lalu menarik kausnya, mengusapkan minyak kayu putih ke punggungnya lalu memijit-mijitnya dengan lembut.

Rasa nyaman dan santai menjalalari tubuh Sarah juga pikirannya seiring pijitan Bi Lis menekan kulitnya, melemaskan otot-ototnya yang tegang, melancarkan aliran darahnya. Betapa beruntungnya dia memiliki Bi Lis, asisten rumah tangga keluarganya yang merawat ia dan adik-adiknya sejak kecil saat Ibunya bekerja. Bi Lis sempat keluar dengan alasan menikah selang 3 tahun datang kembali ke Ibunya dan minta bekerja, dia pisah dari suami dan memutuskan tidak akan menikah lagi karena menurutnya tidak ada lelaki yang mau menikah dengan perempuan tanpa rahim. Setelah menikah Bi Lis sempat hamil namun keguguran lalu kista ganas bersarang di rahimnya  hingga  harus diangkat. Setelah orangtuanya meninggal dalam kecelakaan 3 tahun silam, Bi Lis memutuskan tetap merawatnya. Katanya dia rela tidak digaji yang penting punya tempat berteduh dan bisa makan. Tapi tentu saja ia tetap menggaji Bi Lis walaupun akhir-akhir ini sering tersendat, karena ada pengeluaran tak terduga.

"Enak kan kalau dipijit?"

"Ehm. Aku ketiban sial ini, Bi."

"Hush nggak boleh bilang sial. Istigfar. Namanya hidup ya ada ujian, kalau anak-anak sekarang bilang ada dramanya."

"Bibi bisa aja."

Bi Lis menekan pundak dengan jemari-jemarinya, membuat Sarah lebih rileks dan nyaman.

"Yang dikatakan tante Dewi ada benarnya, Neng Sarah harus pandai memilih teman, harus berani menolak kalau ajakan teman dirasa salah."

Run To You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang