“Ayo.” Iwin menarik tangan Nino yang masih duduk di kelas, dia terlihat enggan meninggalkan bangku sekolah.
“Gue masih mau disini. Kalian duluan aja.” jawab Nino malas beranjak dari duduknya.
“Jangan kayak bocah TK umur 5 tahun ya, cepetan ayo. Kasihan phi Dew udah nungguin Lo didepan gerbang dari tadi.” Iwin mulai kesal dengan tingkah Nino yang tetap bersikukuh duduk di bangkunya.
“Kagak peduli Lo mau ngatain gue apaan, pokoknya gue mau disini, titik.” Nino tetap dengan pendiriannya tidak mau beranjak dari bangkunya.
Dan yang lebih membuat Iwin kesal Nino malah melipat kedua tangannya diatas meja sebagai bantalan kepalanya.
“Ah sudahlah Win, ayo kita cabut aja duluan. Biarin aja si anak kunti itu disini sendirian, soalnya gue mau kerja juga. Udah telat nih gue.” kesal Ohm.
Gupi yang tidak banyak bicara hanya menarik lengan baju Iwin, memberi isyarat agar mengikuti perkataan Ohm untuk meninggalkan Nino sendirian.
“Awas Lo kesambet jin disini, bentar lagi sekolah sepi.” peringatan Iwin pada manusia keras kepala yang masih menundukkan kepala dengan tangan sebagai bantalannya.
“Hem, udah kalian duluan saja.” jawab Nino tanpa menoleh.
Iwin mendesah pelan lalu ia berjalan mengikuti Ohm meninggalkan kelas untuk pulang. Dan memang jam pulang sekolah sudah sejak satu jam yang lalu, tapi karena Nino tak mau keluar kelas jadilah mereka belum pulang dan menemaninya.
Alasan Nino tidak ingin keluar kelas tentu saja karena Dewa yang kini sudah menunggu di depan gerbang sekolah, dan lagi ia masih merasa malu untuk bertemu dengan Dewa setelah kekalahannya tadi malam.
Setelah dirasa semua temannya menjauh dari kelas dan mungkin saja sudah dalam perjalanan pulang, kini Nino beranjak dari duduknya. Namun bukannya menuju ke pintu gerbang sekolah, dia malah menuju ke roof top.
Sebuah kursi usang didekat pagar pembatas menjadi sasaran untuk mengistirahatkan tubuhnya, dan memang biasanya disitulah Nino menghabiskan waktu bersama teman-temannya kalau sedang tidak ke kantin.
Tak lama ia berdiri ke dekat pagar pembatas, ia meletakkan kedua tangannya bertumpu pada besi pembatas. Pandangannya jauh kedepan, entah apa yang menarik disana.
“Bisa-bisanya dia jadi ketua Genk Lucifer, padahal tampang dia benar-benar tidak mendukung sama sekali.” gerutu Nino.
“Ya walaupun dia tampan sih, tapi tetap aja gue masih kesal sama dia. Bisa-bisanya dia nolak tawaran gue, padahal dengan uang yang gue tawarin ke dia. Dia bisa bayar uang kos atau pun buat biaya kuliah dia eh malah dengan entengnya dia nolak.”
Nino yang baru pertama kali mendapatkan penolakan dari seseorang tentu saja merasa ini sebuah hinaan baginya.
Dan lagi entah apa yang membuat Nino berasumsi kalau hidup Dewa semiskin itu sampai dia tidak bisa membayar uang kuliah atau biaya hidupnya sendiri. Padahal Nino belum sepenuhnya mengenal siapa Dewa, bisa saja kan dia salah paham.
“Pokoknya gue kagak mau les sama dia, gue harus cari cara agar dia kagak betah jadi tutor gue.”
“Malu cok malu, udah gue yang nantangin dia balapan gue pula yang kalah. Harga diri gue, harga diri gue Cok.” Nino merasa jika harga dirinya terluka saat dia kalah dengan Dewa.
“Sebagai ketua Black Lion yang tak terkalahkan, malah dengan mudahnya dia ngalahin gue tadi malam.”
“Aaarrrggghhhh ... Pengen gue ancurin tuh si Dewa, Dewa itu dengan tangan gue sendiri. Gegara dia harga diri gue sebagai ketua Black Lion jatuh dimata anggota yang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Tutor, I'm In Love (DewNani)
Teen FictionWARNING!!! Disini adalah lapak boyslove, yang tidak suka dilarang mampir apalagi hate komen. Cukup di skip aja dan carilah bacaan yang sesuai dengan keinginan kalian. Thanks. Sebelum baca alangkah baiknya follow authornya terlebih dahulu, biar sama...