“Widya, apa maksud kamu dengan menjodohkan Kao dengan Nino? Kenapa kamu tidak memberitahu padaku hal ini? Bagaimanapun aku adalah orangtuanya, Widya.” suara Mile menggema di ruang direktur tempat mantan istrinya kini bekerja.
“Kenapa? Kenapa aku harus memberitahu padamu dengan siapa aku ingin menjodohkan Kao.” seolah merasa tidak bersalah kini wanita itu malah balik bertanya.
“Apa maksudmu? Aku adalah ayahnya, dan aku berhak mengetahui dengan siapa anakku akan menikah nantinya.” ucap Mile dengan berapi-api seolah tidak terima.
“Jangan sok merasa jika dia adalah anak kamu, Mile. Bukankah kamu tahu apa alasan kita berpisah, hah?”
“Kamu tidak pernah berubah Widya, pernahkah kamu berpikir bagaimana kebahagiaan anak-anak jika kamu terus memaksakan kehendakmu seperti ini, Hah?”
“Jangan mengajariku tentang bagaimana membahagiakan anak-anak, karena aku tidak pernah mengajari anak-anakku untuk berbelok sepertimu agar bisa bahagia ...”
Plakk!!
Mile yang geram mendengar perkataan Widya, ia pun memberikan sebuah tamparan pada wanita itu sehingga menimbulkan bekas memerah di pipinya.
“Kenapa? Bukankah yang aku katakan itu benar adanya? Sudah cukup Dewa yang menjadi seperti dirimu, dan jangan menghalangi perjodohan Kao dengan Nino. Karena pada kenyataannya Kao Supassara bukanlah putri kandungmu yang harus kamu cemaskan, Mile.” balas Widya dengan tidak kalah emosi.
“Kamu ... Lihat saja bagaimana aku akan menggagalkan perjodohan ini dengan caraku sendiri jika kamu tidak mau membatalkannya dengan suka rela. Bagaimanapun juga Kao adalah anak yang aku besarkan dengan tanganku sendiri, tidak peduli darah siapa yang mengalir di tubuhnya saat ini, dia akan tetap menjadi anakku.” emosi Mile dengan jari telunjuknya menunjuk kearah Widya dengan tatapan mata tajam.
Setelah berkata demikian Mile pergi meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Widya yang emosi menghamburkan semua barang-barang diatas meja kerjanya hingga berserakan di lantai.
“Mile brengsek, aku tidak akan membiarkan perjodohan ini gagal. Lihat saja Mile Phakphum.” sorot mata Widya seolah menyatakan perang dengan Mile, walau lelaki paruh baya itu sudah tidak berada di sana.
Sedangkan di tempat yang berbeda, dua orang pemuda masih asyik dengan kegiatan panas di pagi hari. Berolahraga diatas ranjang serasa menjadi kegiatan paling menyenangkan bagi keduanya.
“Aaahhhh ...” desah keduanya disaat telah mencapai klimaks secara bersamaan.
“Tubuhmu secandu itu Sayang, rasanya aku tidak mau berhenti.” ucap yang lebih tua, lalu ia menunduk memberikan kecupan ringan di bibir yang lebih muda.
“Jika aku tidak ada kuliah pagi, dengan senang hati aku akan menemanimu phi.” dengan nada manja, pemuda yang lebih muda itu membalas.
“Baiklah-baiklah, aku tidak bisa berbuat apa-apa jika itu sudah menyangkut kuliahmu.”
Dengan cepat pemuda yang lebih tua itu pun menarik kejantanannya dari hole pemuda yang masih berada dibawahnya. “Aku akan mengantarmu ke kampus.” ucapnya kemudian.
“Phi Dew nggak ada jadwal ngampus hari ini?”
“Aku ada meeting dengan klien pagi ini, kalaupun datang ke kampus mungkin siang hari. Kenapa? Apakah kamu sudah merindukanku, Hem?” goda Dewa.
“Ck, aku hanya bertanya phi. Jika pun aku merindukanmu, aku pasti akan mendatangimu langsung seperti saat ini.” ucap Nino dengan wajahnya bersemu merah.
Dewa tersenyum, “Kenapa imut sekali pacarku ini Hem?” ucap Dewa yang kemudian mengecup singkat bibir Nino.
Nino semakin bersemu merah mendengar ucapan Dewa, entah kenapa jika Dewa yang mengatakannya akan beda rasanya. Bisa membuat perut Nino serasa geli seakan banyak ribuan kupu-kupu menggelitik disana.
“Mandilah phi, bukankah barusan phi bilang akan ada meeting dengan klien pagi ini?”
“Apa tidak sebaiknya kita mandi bersama saja?” ajak Dewa.
“Phi duluan saja, aku akan berbaring sebentar lagi.” ucap Nino yang masih merasakan sedikit sakit di area holenya yang tembus ke pinggang.
Dewa tersenyum, ia tahu Nino menahan sakit walaupun pemuda itu tidak mengatakannya. “Aku akan siapkan air hangat untukmu setelah aku mandi nanti. Jadi istirahatlah dulu sebentar.” ucap Dewa lalu ia mengecup kening Nino.
Nino hanya mengangguk mengiyakan tanpa banyak protes, kegiatan panas tadi malam dan pagi ini yang mereka lakukan memang membuat tubuh Nino serasa remuk. Namun ia tak boleh mengeluh, ini adalah pilihannya, cintanya, segalanya bagi Nino. Ia tidak akan menyesalinya.
“Iwin?” Nino mengernyitkan dahi saat melihat ada panggilan masuk dari salah satu sahabatnya.
“Hem, ada apa?”
“Lo dimana Cok? Ini gue didepan pintu apartemen Lo, gue pencet bel dari tadi Lo nggak keluar-keluar.” terdengar Iwin dengan nada kesal menyambut pendengaran Nino.
“Bangsat, ini masih pagi. Kenapa Lo udah ada di depan apartemen gue hah?” Nino nggak kalah kesal dengan Iwin yang memarahinya.
“Heh babi, Lo yang minta gue buat jemput Lo pagi ini kan? Apa Lo udah mulai pikun hah?” cerocos Iwin.
‘Mati gue, kenapa gue bisa lupa.’ batin Nino.
“Ck, semalam gue di suruh pulang ke rumah sama nyokap gue. Ini gue masih di rumah, Lo berangkat duluan aja.” Nino beralasan. Karena tidak mungkin dalam kondisi seperti ini dia akan mengatakan jika ia berada di apartemen Dewa bukan?
“Bangsat, kenapa Lo nggak ngasih tau gue babi.” Iwin semakin terdengar kesal.
“Sorry gue lupa.” jawab Nino.
“Ck, ya sudah gue langsung ke kampus sekarang.” jawab Iwin pada akhirnya.
“Hem, nanti gue nyusul.” ucap Nino.
“Oh iya gue lupa kasih tahu, itu si Gupi ngajakin kita ketemuan entar malam di markas. Lo jangan sampai lupa lagi.” ucap Iwin.
“Gue usahain datang, tapi gue nggak janji.” jawab Nino yang kemudian mengusap wajahnya, karena nanti malam ia berencana untuk pulang dan membicarakan masalah perjodohan itu dengan kedua orangtuanya.
Nino berharap agar kedua orangtuanya mau membatalkan perjodohan tersebut, jika memang tidak bisa dibatalkan maka Nino akan berencana mengatakan jika Dewa lah orang yang ia cintai bukan Kao Supassara.
“Lo ada acara lain?” tanya Iwin sedikit curiga.
“Belum tahu, tapi rencananya setelah ngampus gue mau pulang ke rumah orangtua gue lagi.” jawab Nino.
“Oh ok, kabari aja kalau Lo nggak bisa datang biar anak-anak nggak pada nungguin.”
“Iya, gue pasti ngabarin kalian.”
Setelah itu panggilan telepon mereka pun terputus karena Nino menutup teleponnya terlebih dahulu.
Melihat Dewa yang keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggangnya serta tubuhnya yang belum sepenuhnya kering membuat Nino kesulitan menelan ludahnya sendiri.
Wajah Nino terasa memanas melihat pemandangan didepannya, hingga ia memilih untuk mengalihkan pandangan kearah lain untuk menghindari menatap Dewa.
“Sayang, air hangatnya sudah aku siapkan. Apa perlu aku bantu menggendongmu ke kamar mandi, Hem?” Dewa bertanya karena dia tahu bagaimana pemuda kesayangannya masih menahan sakit setelah adegan panas mereka.
“T~Tidak perlu phi, aku bisa sendiri.” dengan segera Nino menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya dan dengan perlahan dia berjalan menuju ke kamar mandi.
Bukannya apa, Nino hanya tidak ingin berlama-lama melihat Dewa yang masih setengah telanjang. Bisa-bisa ia akan horny, padahal pagi ini dia harus pergi ke kampus dan Dewa akan pergi meeting.
“Phi Dew benar-benar membuatku kehilangan akal sehatku.” gumam Nino setelah memasuki kamar mandi sambil meletakkannya kedua tangan diatas dadanya yang berdegup kencang.
See you next chapter ...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Tutor, I'm In Love (DewNani)
Teen FictionWARNING!!! Disini adalah lapak boyslove, yang tidak suka dilarang mampir apalagi hate komen. Cukup di skip aja dan carilah bacaan yang sesuai dengan keinginan kalian. Thanks. Sebelum baca alangkah baiknya follow authornya terlebih dahulu, biar sama...