Chapter 8

117 4 0
                                    

Bismillah, Assalamualaikum!

Gimana ceritanya?
Jangan lupa ikuti akun ini yah!

Follow.
Follow.
Follow.

Selamat membaca
°°°°°°

"SAYANG, TOLONG SIAPIN BAJU AKU!"

Teriakan menggelegar dari mulut sang suami terdengar jelas ditelingan Nafisha. Gadis cantik yang sedang berbadan dua itu beranjak menghampiri lemari baju di samping ranjang.

"DALAM LEMARI ADA JUBAH HITAM YANG KAMU BELI KEMARIN, AKU MAU PAKAI YANG ITU!"

Alis Nafisha bertautan. Ia berpikir pakaian mana yang harus dia keluarkan? Jejeran jubah hitam yang menggantung sulit menjadi pilihannya, pasalnya semua Jubah itu adalah pemberian Nafisha.

Yah, Nafisha baru sadar bahwa dirinya terlalu sering membelikan Raihan pakaian berwarna hitam. Tak lama kemudian, decitan pintu terdengar yang menandakan bahwa Raihan keluar dari dalam kamar mandi.

"Malam ini aku gak ikut temanin kamu ceramah, ya. Kakiku terasa keram," ucap Nafisha.

Baju kokoh panjang itu ia letakkan diatas ranjang kemudian berjalan ke sisi ranjang lainnya.

"Sakit, gak?" Raihan menghampiri istrinya tanpa memakai baju terlebih dulu.

Pria itu berjongkok, ikut memijat bagian betis hingga kebawah kaki Nafisha. Perlakuan manis sang suami tentu membuat Nafisha langsung menjauhkan kakinya.

"Kamu ngapain?" tanyanya.

Sambil menatap istri tercintanya, Raihan kembali meraih kedua kaki Nafisha. Kini terlihat betapa bengkaknya kaki wanita hamil itu. Tangan Raihan memijat dengan lembut dan pelan hingga membuat Nafisha merasa enakan.

Terlalu larut dalam pijatan yang sangat nyaman itu, Nafisha kembali menjauhkan kedua kakinya.

"Mas, sudah. Nanti kamu telat ngisi ceramah."

"Tidak masalah. Tempatnya gak jauh amat, kok."

Nafisha berdecak. Tempat Raihan isi ceramah berada di Masjid Religi, tak lain adalah Masjid Ponpesnya sendiri. Memang benar dekat, tapi itulah amanah Raihan sebagai pemimpin pondok.

Sebagai seorang pemimpin, Raihan mengajarkan para santrinya mengenai makna kehidupan dan aturan-aturan manusia yang wajib dikerjakan, dan tentu saja ia mengeluarkam fatwanya melalu ceramah singkatnya.

"Masih keram, gak? Kalau ia, aku gak jadi ngisi ceramah, deh."

Kepala Nafisha sontak menggeleng setelah mendengar penuturan Raihan. "Sudah mendingan. Sebaiknya kamu cepat pergi, Mas. Nanti kamu Masbuq," ucapnya.

"Iya, iya ...." Raihan berdiri dan mengambil jubah berwarna biru yang Nafisha siapkan tadi.

"Bukannya aku bilang warna hitam, kok jadi warna biru, sayang?"

Sambil mencari posisi nyaman untuk berbaring, Nafisha berujar, "sekali-kali pake warna lain, Mas. Aku lagi suka liat kamu kalau pakai baju yang terang gitu."

Raihan pun mengangguk, ia pasrah aja jika ada sesuatu yang Nafisha sukai. Walau dirinya tertekan menggunakan baju mencolok, cinta Raihan terhadap Nafisha lebih besar dan mencolok.

Selesai berpakaian rapi dan tak lupa memakai wangi-wangian, Raihan memakai kopiah hitam yang sangat tidak selaras dimatanya itu. Di hampirinya Nafisha dalam keadaan berbaring, Raihan mencium perut buncit sang istri.

"Aku pergi dulu, sayang ...." gumannya. Tak lupa juga dia mencium kening Nafisha dengan penuh cinta.

°°°°°

Langit Pesantren  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang