Chapter 21

139 4 0
                                    

Assalamualaikum!

Assalamualaikum!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



°°°°°°
"Om Jalil!"

Sudah satu jam lamanya Raden dan Jalil mengajari Zaidan untuk lebih baik memanggil mereka dengan sebutan kakak saja. Panggilan Om terlalu menohok dan menyudutkan mereka seperti orang tua saja.

"Coba bilang, Kak Jalil!" serunya lagi, namun Zaidan tetap memanggilnya dengan sebutan seperti sebelumnya.

Melihat interaksi anaknya dengan kedua pria itu, Mirza sempat berpikir apakah Zai juga menganggap dirinya sebagai paman? Entah sudah atau belum anak itu mengetahui bahwa Mirza adalah anak kandungnya.

Mirza merasa sedih. Wajah kecil Zaidan yang sangat mirip dengannya pasti membuat siapa saja beranggapan bahwa dia adalah ayah Zaidan. Akan sangat mustahil jika anak itu beranggapan yang sama. Zaidan masih kecil, dia harus diberitahu dengan perlahan.

Mirza tidak mau memaksa Zaidan untuk menganggapnya sebagai ayah. Yang dia mau adalah anaknya bisa menerima dirinya dengan senang hati.

Tak menyadari memikirkan itu, air mata Mirza seketika muncul. Sedikit menyeka buliran air matanya, dua tangan mungil terasa di pipi Mirza.

"Kamu meniru wajahku, ya!" serunya.

Jalil dan Raden sontak mengeluarkan tawanya ketika mendengar itu. Tak di sangka anak kecil seperti Zaidan rupanya paham jika Mirza sangat mirip dengannya. Pria itu harus ekstra sabar sekarang.

Entah bagaimana Zira merawat Zaidan hingga tumbuh menjadi anak cerdas seperti ini, dia melewatkan momen penting. Jujur, hati Mirza tersentuh saat mengetahui Zira dengan susah payah menjaga anaknya sampai sekarang.

"Om, menangis?"

Mirza menggeleng, dia menarik tubuh Zaidan kedalam pelukan. Sebutan 'Om' tadi terasa sesak.

Setelah sudah cukup memeluk putranya, Mirza menatap penuh kasih. "Coba panggil aku, abi!" pintanya.

Bibir Zaidan sempat ingin mengeluarkan kata itu, tetapi ia menunduk. Melihat Zaidan tak ingin mengatakan itu, Mirza menghela napas. Sudahlah, tidak berguna juga jika dia memaksa Zaidan.

"Abi."

Jantung Mirza berdetak lebih kencang. Senang, bahagia, terharu saat Zaidan memanggilnya seperti itu. Lagi-lagi Mirza memberikan pelukan yang begitu erat. Dia menyalurkan arasa bahagianya.

Ternyata begini rasanya ketika seorang ayah mendapat pengakuan dari anaknya. Percayalah bahwa perkataan Zaidan tadi adalah hal yang paling berkesan seumur hidupnya.

"Abi, Zai lapar," tutur anak kecil itu.

Mirza terkekeh, mengusap kepala anaknya. "Baiklah. Ayo kita pergi makan---"

Mereka yang berada di ruangan itu sontak terkejut saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Ucapan Mirza tadi pun belum sepenuhnya keluar karena Raihan langsung mendatanginya.

Langit Pesantren  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang