Chapter 27

151 7 1
                                    

Assalamualaikum!

Assalamualaikum!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



°°°°°°°°
Satu bulan kemudian.

Hari terus berganti begitupun dengan pencarian Mirza. Selama ini kesedihan yang ia pendam perlahan keluar. Mirza mengurus Zaidan seorang diri, ternyata benar, Zira adalah wanita kuat yang bisa melahirkan anaknya sendiri tanpa di dampingi oleh siapapun.

Selama enam tahun berlalu, Zira mengasingkan diri ke tempat lain. Ia tak ingin siapapun mengasihaninya. Entah bagaimana cara dia bertahan sampai detik ini. Jika di ketahui dari masalahnya, Zira adalah korban begitupun dengan Mirza. Lantas mengapa wanita itu mengasingkan diri?"

Di sisi lain, Mirza merasa gundah. Hatinya terus memanggi Zira sedangkan pikirannya tertuju pada Melodi. Terakhir pertemuannya dengan gadis itu, ia tak lagi melihatnya kembali ke pesantren.

Melodi tidak keluar dari tempat itu, hanya saja dia membutuhkannya rehat sejenak selama waktu yang belum di tentukan. Entah Mirza yang merasa sedih karena Melodi, atau karena Zira yang membuatnya kehilangan lagi.

Jika harus memilih dari kedua wanita itu, maka Mirza tidak bisa menentukan pilihannya. Melodi adalah gadis yang baik,  tapi Zira lebih dari segalanya. Zira adalah ibu dari anak kandungnya, dia tidak ingin pisah dengan Zaidan ataupun memisahkan diantara keduanya.

Lantas apa yang harus Mirza lakukan? Menikahi keduanya mungkin jalan yang tepat.

"Zai, ayo makan dulu." Mirza meletakkan sepiring nasi di samping Zaidan.

Anak itu masih murung selama beberapa hari ini. Setiap malam dia bermimpi buruk dan terus berteriak memanggil Zira.

"Uma?"

Mirza menghempas napasnya pasrah. Posisinya berjongkok didepan Zaidan. "Zai, makan dulu sayang. Nanti uma datang."

"UMA!!"

"ZAI---" Anak kecil itu berlari ke belakang Mirza yang tentu membuatnya syok.

Wanita yang menghilang satu bulan lalu kini berdiri di hadapannya. Dengan menggendong dan memeluk Zaidan, wanita mengeluarkan air mata.

"Zai, maaf. Maafkan uma ...."

Tidak bisa Zira membendung rasa tangisnya, ia merasa bersalah karena sudah memutuskan hal yang tak pernah terlintas di benaknya.

Jujur saja, setelah dia mengetahui bahwa Mirza akan menikah dengan seseorang, hatinya mulai sakit. Haruskah dia menerima itu sedangkan di sisi lain ada Zaidan yang sangat membutuhkan sosok ayah. Zira tau, dia sudah sangat bersalah kepada Mirza setelah mengasingkan diri. Tapi mau bagaimana lagi, karena dirinyalah Mirza mengalami semua masalah ini.

Harusnya Zira saja yang dihukum atas dosanya. Seharusnya dia tidak mencintai Mirza dan seharusnya dia menghilang saja dari dunia ini.

Azira mencium seluruh wajah Zaidan penuh kerinduan. Dia menyayangi anaknya walau tau kehadirannya bukan sesuatu yang tepat saat itu. Perbuatannya dan Mirza yang salah. Nafsu menguasai mereka dan mungkin inilah karma yang Tuhan berikan.

Langit Pesantren  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang