Bagian - 30

207 34 3
                                    

"Semalam kamu pulang jam berapa?" Sambil melipat mukena yang baru saja digunakan untuk salat berjamaah subuh, Dara mengeluarkan pertanyaannya.

"Hampir jam dua belas malam." Jawab sosok yang beberapa menit lalu menjadi imam salatnya. "Razia geng motor yang sering malak di jalan bulakan."

Dara menelan ludah, ngeri batinnya.

"Lumayan banyak yang kena. Lima puluh motor lebih nggak ada surat lengkap." Lanjut Raga.

"Itu ... begal?" Beo Dara.

Raga mengangguk. "Begal, malak, kekerasan."

"Ya ampun, ngeri banget sih!" Seru Dara antusias. Selama ini hanya mendengar berita kriminal di layar ponsel atau televisi, kini ia mendengar secara langsung dari sosok yang disebut pihak berwajib. "Kalau sampai lima puluh motor lebih yang keringkus berarti cukup besar dong?!"

"Iya."

"Tapi kamu nggak sendiri kan?" Tanyanya lebih lanjut.

"Ya nggak dong. Razia ini kan sudah diatur jauh-jauh hari." Raga selesai mengganti atasan kokonya dengan singlet. "Tim kami lumayan banyak. Yang dirazia nggak cuma di satu tempat. Kami berpencar."

Dara mengembalikan alat salatnya di rak, lalu ikut bergabung dalam satu sofa dengan suaminya. "Menakutkan. Mereka nggak ada yang bawa senjata tajam kan? Jumlah mereka kan banyak. Gimana kalau balik nyerang? Kamu nggak takut?" Mungkin, ini kali pertama keduanya berkomunikasi cukup panjang.

Raga yang sejak tadi menatap istrinya, menggeleng. "Sudah terbiasa. Kami nggak mudah diserang. Sebelum melakukan razia, pasti sudah lebih dulu mempersiapkan keamanan diri."

"Tetap saja yang namanya musibah nggak ada yang tahu." Gumam Dara, kemudian tersentak oleh perlakuan Raga yang tiba-tiba meraih jemarinya dan digenggamnya erat. Dara mengerjap, menatap tautan tangan keduanya.

"Sudah jadi pekerjaanku, kamu nggak perlu khawatir. Aku pasti bisa jaga diri kok. Kamu hanya perlu doakan dari rumah untuk keselamatanku. Katanya, doa istri itu manjur kan?"

Tidak ada yang bisa Dara lakukan selain mengangguk kaku. Suasananya mendadak canggung. Tautan tangan keduanya berada dipangkuan Raga. Sesekali lelaki itu juga melakukan gerakan mengusap punggung tangan, yang membuat Dara cukup tergelitik. Dara sedikit menimbang, mungkinkah ini saat yang tepat memberitahu Raga tentang kehamilannya? Dara takut semakin lama merahasiakan hal ini, Raga akan tahu dari orang lain yang bisa berpotensi membuat hubungan baik ini kembali runyam.

"Hem, Ga ...." Dara mengangkat wajahnya. Tatapan keduanya lantas bertemu.

"Ada yang mau kamu omongin?" Tanya lelaki itu kalem. Cara Raga menatap Dara sudah kembali ke setelan awal, hangat dan penuh perhatian.

"Bentar, aku ambilin." Dara beranjak dari sofa untuk mengambil amplop hasil periksa kandungan yang dilakukan siang kemarin. Menunjukkan foto USG, dengan bentuk janin yang diberi tanda melingkar.

"Ini? Kamu?" Raga tampak terkejut. Ditatapi secara bergantian istri dan kertas di genggamannya.

"Sori, aku baru ngomong. Aku sengaja nunggu waktu yang tepat buat ngasih tahu kamu." Ujar Dara lirih. "Kemarin komunikasi kita belum sebanyak sekarang. Aku takutnya ...." Dara tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat tubuhnya ditarik dan dipeluk erat.

"Maaf, Sayang. Maafkan aku." Bisik Raga dengan suara serak, sarat penyesalan. "Aku terlalu lama sakit hati. Sebagai kepala keluarga nggak seharusnya aku melakukan itu pada istriku. Di sini, aku memang kurang dewasa. Aku yang terlalu emosian."

Dara menggeleng. Sudah jelas permasalahan ini terjadi karena dirinya. "Kamu nggak salah. Kamu nggak akan marah kalau aku bisa tahu diri sama statusku. Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, tapi aku."

Pelukan itu semakin erat. "Nggak, Sayang. Kesalahan istri cerminan dari suaminya yang nggak pintar ngedidik. Di sini aku juga ikut andil dalam kesalahan itu. Yang membuat aku dikuasai setan dan tega nyakitin kamu. Anak ini hadir karena aku yang memaksamu. Bukan atas dasar kesadaran orang tuanya."

"Nggak apa-apa, kita hanya perlu ngasih dia kasih sayang penuh untuk menebus semuanya."

Detak jantung Raga terdengar memacu cepat. "Kita mulai dari nol ya, Sayang. Aku janji akan memperlakukan kalian, dan menjaga kalian dengan baik."

Meskipun belum seratus persen menjatuhkan hati pada lelaki ini, tapi Dara selalu yakin Raga akan selalu menepati janji-janjinya. Sebuah alasan yang membuat Dara menerima lamaran lelaki ini, karena kebaikan dan ketulusan hatinya. Sosok seperti inilah yang dicari semua perempuan di muka bumi. Yang inisiatif, pengertian, dan bisa menjadi partner hidup yang solid.

"Ini usianya berarti ...." Setelah melepas pelukannya, Raga kembali menekuri gambar hitam putih manifestasi keturunannya kelak.

Dara menunjuk di mana umur anaknya tercantum. "13w, artinya tiga belas minggu."

"Wah, umur segitu sudah bisa di-USG?!" Tanyanya kagum.

"Bisa. Tapi masih kecil banget." Jawab Dara. "Sebulan lagi periksa, kamu bisa ikut temani kalau lagi nggak repot."

"Aku pasti akan temani. Aku nggak akan pernah melewatkannya." Sahut lelaki itu penuh keyakinan. Senyumnya menulari Dara hingga ke lubuk hati terdalam.


-INFO-
Sudah tamat ya, Ges. Silakan baca kelanjutannya di Karyakarsa. Terima kasih.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang