Dear mama.
Hari ini aku akan pergi meninggalkan rumah ini. Tempat di mana aku menjadi hana yang selalu di manjakan oleh mama dan papa.
Entah sampai kapan aku tidak tahu.
Ma, aku masih belum paham maksud papa lakuin semua ini, apakah papa sengaja menjauhkan ku darinya, atau ada maksud lain demi kebaikan kita?.
Tapi nyatanya aku pun ga bisa nolak dengan keputusan papa, aku rasa ini hal yang baik agar bisa menjauhkan ku dari ibu tiri.
Tapi apakah bisa aku jauh dari rumah yang penuh kenangan indah ini bersama mama? Apakah aku rela rumah ini di kuasai sepenuhnya oleh ibu tiri?
Ma, aku pamit ya.
Aku minta mama selalu do’akan aku supaya aku nyaman di lingkungan baruku.
Semoga di sana mama tetap selalu hadir di setiap mimpiku.
Aku rindu mama
~~
“non hana sudah siap? Bapa dan bu widia sudah nungguin di bawah”. Ucap mbak wulan yang tiba di kamarku.
“Sudah mbak”. Sahutku sambil merapikan barang bawaanku dan memastikan semuanya tidak ada yang tertinggal.
“Loh ko non pake baju kayak gitu sih?”. Mbak wulan sedikit aneh melihat penampilan ku.
“kenapa memangnya mbak? Ini pakaian sopan kan? Mbak bilang aku harus pakai pakaian tertutup dan sopan, kayak gini kan?”. Ucapku sambil menunjukkan pakaian yang ku kenakan.
Saat ini aku memakai tunik lengan panjang berwarna biru muda dengan sedikit hiasan bordir bunga di dada kanan, dengan menggunakan celana jeans panjang berwarna denim, serta kaim selendang berwarna putih peninggalan ibu yang aku gunakan untuk menutup kepalaku. Dan beberapa aksesoris yang ku kenakan pada tubuhku, membuat cara berpakaian ku sudah cukup tertutup karena biasanya aku selalu mengenakan pakaian dengan sedikit terbuka.
Mbak wulan sedikit menarik ujung bibirnya ke atas, kemudian ia berjalan menghampiri dan memegang kedua pundakku. “bukan gini non, ini memang sudah tertutup tapi bukan seperti ini, non juga harus mengenakan jilbab yang rapi dan menutup aurat hingga tidak terlihat satu helai rambut non”.
“Terus aku pakai baju apa mbak? Baju ku pendek pendek semua”.
“Kalau non hana mau saya kasih baju gamis punya saya, kayaknya cukup buat non. Sementara untuk berangkat sekarang aja, nanti di sana kita belanja pakaian untuk sehari-hari non hana di sana”.
Aku hanya mengangguk pertanda setuju, dan mbak wulan pun segera pergi mengambil baju yang akan ia berikan pada ku.
Tak lama setelah mbak hana kembali, aku pun segera pergi menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian ku dengan pakaian yang di berikan oleh mbak wulan, betapa takjubnya mbak wulan ketika melihat ku keluar dari kamar mandi dengan menggunakan baju panjang berwarna hitam yang menjulur hingga menutupi mata kaki ku.
“mbak aku ga bisa pake kain ini”. Ucapku sambil memberikan kain yang diberikan mbak wulan padaku.
“ini jilbab non”.
“oh iya, aku ga ngerti cara pakainya gimana, kayak mbak gini ya?”. Ucapku sambil memegang jilbab yang di kenakan oleh mbak wulan.
“non duduk di sini dulu, biar saya bantu pakaian jilbabnya ya”. Ucap mbak hana yang menyuruh ku duduk di atas kasur dan ia segera melipat kain jilbab itu membentuk segitiga dan mulai merapikannya hingga menutup kepalaku.
Setelah jilbab selesai di pakaikan. Aku pun berjalan menuju cermin yang berada di samping lemari baju, aku menatap diriku yang kini berpenampilan berbeda, apakah ini memang aku? Apakah selamanya aku akan berpenampilan seperti ini?
***
Pukul 09.00 aku berangkat dari rumah menggunakan mobil pribadi papa, aku duduk di bangku belakang bersama mbak wulan, sedangkan papa duduk di bangku depan bersama pak sigit.
Aku memang sengaja memberi syarat pada papa, jika aku menuruti perintah papa untuk pergi ke Magelang tetapi aku minta agar papa tidak mengajak ibu tiri itu turut serta mengantarkan ku ke sana, dan ternyata papa mampu memenuhi persyaratan itu.
Di sepanjang perjalanan aku tidak sama sekali mengeluarkan pertanyaan apa pun pada papa, karena setelah apa yang terjadi pada aku dan papa akhir-akhir ini membuat ku sedikit canggung dan merasa papa kini seperti orang asing.
Lagi pula papa hanya asyik mengobrol dengan rekan kerjanya lewat sambungan telepon dan setelah itu kembali fokus pada ponselnya yang beralasan urusan pekerjaan.
Bahkan papa sama sekali tidak memberi pendapat apa pun tentang penampilan baru ku saat ini, di saat pak sigit, mbak wulan dan beberapa pekerja rumah lain yang memuji ku karena kata mereka aku sangat cantik dengan pakaian tertutup seperti ini .
Lagi pula apa pedulinya aku? Aku tidak butuh pujian dari siapa pun, hari ini aku akan pergi dari kehidupan yang penuh kesunyian ini.
Kurang lebih 8 jam mobil ini melaju, akhirnya kita sampai di sebuah yayasan pendidikan islam yang akan menjadi tempat tinggal ku mulai saat ini. Setelah sebelumnya kami saat mampir ke sebuah mall di kota Magelang untuk membeli beberapa pakaian untuk keseharianku di lingkungan baru.
Ketika mulai memasuki gerbang masuk, aku membaca pada tiang yang berada di atasnya bertuliskan “PONDOK PESANTREN DARUSSALAM”. Dan aku berharap ini adalah tempat ternyaman ku setelah rumah.
Menarik, ku lihat pemandangan di wilayah ini sangat begitu sejuk, mengingatkan ki pada suasana di danau di mana tempat aku sering mencari ketenangan di sana.
Setelah pak sigit memarkirkan mobilnya, kami pun segera membuka pintu mobil dan ketika kami keluar ternyata kami mendapat sambutan hangat dan ramah dari beberapa santri yang sedang berjalan melewati kami.
Tak lama kemudian seorang pria paruh baya berjalan menghampiri kami, dan ia pun mengajak kami bersalaman dan memberi tahu pada kami agar segera memasuki ruang kepala yayasan.
Walau rasanya lingkungan ini sedikit berbeda dari lingkungan di sekolah ku dulu, dan lingkungan di sekitar rumahku. Aku rasa aku bisa menyesuaikan diri seperti mereka walau mungkin perlu waktu cukup lama.
Mbak wulan berjalan di depan kami, sepertinya dia tahu banyak tentang tempat ini, ia pun segera membuka pintu ruang kepala yayasan itu sambil mengucap salam.
“assalamualaikum”.
“wa’alaikumussalam.. mari masuk”. Ucap seorang pria paruh baya yang mungkin usianya sama seperti papa.
Ia berpenampilan rapi dengan kemeja dan jas serta sarung dan sorban yang ia simpan di bahunya. Di sampingnya ia di temani oleh wanita yang mungkin juga seusia mama, ia mengenakan pakaian sama seperti ku, namun bedanya jilbab yang ia kenakan ukurannya lebih besar dari punya ku dan hampir menutupi tubuh bagian atasnya.
Mbak wulan mengajak kami bersalaman dengan kedua orang itu, terkecuali aku, mbak wulan menyuruhku untuk mencium punggung tangan mereka sebagai tanda hormat.
“Nuwun sewu pak kiyai, bu nyai, perkenalkan ini majikan saya di jakarta namanya pak Ramlan dan ini anaknya non hana yang akan mondok di sini”. Ucap mbak wulan memperkenalkan.
Kedua orang itu kembali memberikan senyumannya pada kami sambil sedikit mengangguk. “Salam kenal pak ramlan, dek hana”.
“non hana, ini guru besar di pondok pesantren ini sekaligus pemilik yayasan namanya pak kiyai imron sanusi. Dan itu istrinya ibu nyai siti fatimah”. Ucap mbak wulan lagi.
“Apakah sebelumnya hana ini pernah mengenyam pendidikan khusus agama islam? Atau di kampungnya sering mengikuti pengajian membaca al-qur’an?”. Ucap pak kiyai pada papa.
“mohon maaf pak kiyai anak saya ini belum pernah belajar ilmu agama islam lebih dalam, karena di kota sangat minim pengajian. Paling dia baru bisa baca iqro sedikit sedikit karena dulu pernah di ajarkan oleh almarhum mamanya”. Kini papa menjelaskan.
“jadi ketentuan di pondok ini, setiap santri yang akan lulus setelah belajar selama 3 tahun di sini harus bisa menghafal minimal 3 juz. Jadi setiap ujian menjelang kenaikan kelas akan ada penyetoran hafalan 1 juz dari mulai kelas 1 sampai kelas 3”. Dan kini bu nyai itu ikut menjelaskan.
Aku cukup terkejut.
Selama 3 tahun, bahkan kurang dari 3 tahun karena aku pindah ke pondok ini sudah menginjak semester kedua, dan aku harus bisa menghafal al-qur’an sebanyak 3 juz? Itu pun minimalnya. Apa aku yakin aku akan bisa? Bahkan membacanya saja aku masih terbata-bata, bagaimana bisa sampai menghafalnya?.
“jangan takut hana, di sini kami pasti akan sangat bersungguh-sungguh mendidik dan mengajari tiap santri agar bisa membaca al-qur’an dengan benar sampai bisa menghafalnya”. Ucap bu nyai sambil memegang pundakku.
Sepertinya ia tahu tentang kecemasanku perihal persyaratan itu, karena memang aku belum percaya diri dengan hal itu.
“Maaf bu nyai, apakah ada murid lain yang seperti saya juga? Maksudnya belum bisa mengaji?”. Ucapku pada bu nyai.
“Tentu banyak nak, dan semuanya bisa melalui semua prosesnya. Yang penting kamu bersungguh-sungguh dan sabar selama proses belajarnya”.
Mendengar penjelasannya cukup membuatku merasa lega, setidaknya aku tidak merasa hanya aku di sini yang merasa paling bodoh soal mengaji.
“Tapi hana, sebelumnya kami minta maaf ya, untuk saat ini kamar untuk santri sudah penuh, bagaimana sementara tempat istirahat kamu di kamar para khadimat? Insya allah setelah kenaikan kelas nanti di kelas 2 kamu akan di pindahkan kembali ke kamar santri”. Ucap bu nyai.
Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Khadimat? Aku tidak mengerti akan kata itu. Aku pun melirik ke arah mbak wulan yang berada di samping ku sambil berbisik. “mbak khadimat itu apa?”.
“khadimat itu pembantu non”. Sahutnya.
Sepertinya bu nyai mendengarkan bisikan ku terhadap mbak wulan, sehingga membuatnya kembali menjelaskan sesuatu padaku. “khadimat itu orang orang yang kami tugaskan untuk memasak, mencuci pakaian santri hingga menyetrikanya, bersih bersih area pondok serta mengerjakan pekerjaan lainnya untuk kebutuhan para santri”.
Aku sangat terkejut, dalam hati ku pun berkata. ‘aku jadi pembantu? Selama 16 tahun hidupku bisa di bilang seperti putri kerajaan, apa yang ku mau dan aku inginkan harus tercapai, jangankan mengerjakan pekerjaan rumah, memasak mie instan saja aku tidak bisa mengerjakannya sendiri. Bahkan tempat tidurku saja aku biarkan berantakan jika pekerja rumah belum merapikannya. Dan sekarang aku di posisikan sebagai pembantu di pondok pesantren ini? Rasanya aku tidak sanggup dan ingin segera pergi dari sini’.
“hana kamu jangan khawatir ya. Kamu di tempatkan di kamar khadimat hanya untuk beristirahat saja, kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan khadimat. Itu pun karena kamar para santri sudah penuh dan kebetulan ada satu tempat tidur di kamar khadimat yang kosong, jadi hanya untuk sementara saja kamu di sana”. Ucapan bu nyai itu akhirnya cukup menenangkan hatiku.
“Baik bu nyai, kalau begitu saya setuju”. Ucapku dengan pelan.
“ya sudah mari saya antarkankan ke kamar kamu”. Ajak bu nyai lagi.
Akhirnya aku, bu nyai dan mbak wulan berjalan keluar menuju kamar yang nantinya akan menjadi tempat istirahat ku. Papa tidak ikut dengan kami karena memang ini area khusus perempuan. Lagi pula papa masih mengurus soal biaya pendaftaran ku dan hal lainnya bersama pak kiyai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
JugendliteraturHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...