“Mbak, aku mohon jangan sampai mas Fajar tahu soal ini ya,” lirihku.
Tak ku sangka masalah ini terasa berat ku pikul sendiri, memang masalah ini sudah selesai, setelah aku berhasil menolak ajakan ta'aruf dari Ustad Iqbal yang mungkin setelah ini ia tidak akan kembali menemuiku, tapi aku khawatir mas Fajar segera tahu soal ini dan dia belum tahu yang sebenarnya, sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman lagi yang jika hal itu terjadi aku akan susah menemui mas Fajar untuk menjelaskan semuanya.
“Kamu tenang ya Hana, mbak janji hal ini gak akan mbak ceritakan ke siapa pun termasuk Fajar,” sahutnya.
“makasih ya mbak.” Aku pun segera memeluk mbak Aish kembali karena aku masih belum merasa tenang.
***
Jam istirahat kelas telah tiba, entah mengapa tiba-tiba saja perutku terasa mulas dan sepertinya saat ini aku harus segera lari menuju WC sekolah. Sial, ini pasti karena semalam aku mengajak mbak Aish memakan mie instan dengan menambahkan beberapa buah cabai rawit yang masih segar, pada saat itu rasanya memang sangat lezat, namun ternyata berefek buruk pada hari ini.
Ketika aku selesai membuang hajatku, di luar WC aku bertemu dengan Nisa, betapa senangnya aku setelah cukup sekian lama akhirnya kita bertemu lagi.“Nisa? Kamu ke mana aja? Kok kita gak pernah ketemu ya.” Ucapku semringah dan langsung memeluk Nisa karena penuh kerinduan.
Namun kali ini terasa sedikit aneh, Nisa yang biasanya bertingkah konyol di depanku kini menjadi diam dengan ekspresi wajahnya yang judes, bahkan ketika aku mendekat untuk memeluknya dia malah mendorong tubuhku.
“Kayaknya kamu yang mulai menjauh dari kita deh, oh iya lupa, kamu kan calon istrinya Ustad Iqbal ya, seorang pendakwah besar, makanya kamu udah gak level berteman sama kita lagi.”
Aku mengerutkan kening mendengar perkataan Nisa, bagaimana mungkin dia berbicara seperti itu? Kenapa ia berubah menjadi benci padaku seperti ini?
“Siapa yang akan menikah dengan Ustad Iqbal? Gak ada Nis, lagian kamu kenapa bisa ngomong kayak gitu?”
“Gak usah munafik Hana, kita tahu kok kamu habis menerima lamaran dari ustad Iqbal, selamat ya, semoga kamu bahagia.” Ucapnya yang langsung pergi meninggalkanku.
“Nisa, tunggu....” teriakku namun tak di hiraukan olehnya.
Aneh, dari mana ia tahu soal ustad Iqbal yang sempat melamarku? Lalu kenapa ia hanya mengetahui setengah dari informasinya? Dia belum tahu jika aku menolak lamaran itu?
Apa mungkin Nisa dan Salwa menjauh dariku karena mereka tahu soal lamaran itu? Mungkinkah mereka tidak terima jika idolanya memilih wanita lain sebagai pilihan hidupnya? Tapi kenyataannya aku menolak lamaran itu. Kenapa mereka masih marah?
Semoga saja aku bisa memiliki kesempatan lagi bertemu dengan mereka untuk meluruskan masalah ini, agar hubungan antara aku, Nisa dan Salwa membaik seperti sedia kala.
Malam hari, setelah pulang kajian aku sempat mencari keberadaan mas fajar dari banyaknya kerumunan santri putra yang keluar dari dalam mushola, perlahan aku amati setiap santri yang lewat dan ternyata aku menemukannya.
Aku tersenyum semringah sambil berharap ia akan menoleh ke arahku, tapi ternyata tak kunjung juga, aku coba memanggil namanya dengan sedikit berteriak tapi dia tetap tidak menoleh, apa mungkin ia memang tidak mendengar suaraku?
Sekali lagi aku mencoba ternyata Karim yang menoleh, kemudian aku memberi isyarat pergerakan tangan untuk menyuruhnya mencolek bahu mas Fajar supaya dia menoleh ke arahku. Tapi, betapa sakitnya hati ini ketika aku tersenyum pada mas Fajar ketika ia menoleh namun ia kembali membuang muka dariku dan makin mempercepat jalannya sehingga ia cepat menghilang dari bayanganku.
Aku pun menghentikan langkah kaki untuk sejenak berpikir, apa yang terjadi pada mas Fajar? Mengapa ia bersikap dingin seperti itu padaku? Mungkinkah ia merasa tidak enak pada temannya yang lain? Tapi bukannya akhir-akhir ini ia bisa mencuri kesempatan tersenyum padaku walau hanya sekejap.
Dia kenapa? Mengapa tiba-tiba berubah seperti ini?
Aku pun bergegas pergi ke kamar dan berniat akan mengadukan masalah ini pada mbak Aish.
“Mbak, orang-orang kenapa aneh yah hari ini? Nisa tiba-tiba judes sama aku dan mas Fajar juga gak mau nengok ke arahku?.”
Mbak Aish menatap kedatanganku dengan dalam, “Fajar tahu soal ustad Iqbal datang melamar kamu.”
“Apa!” aku yang terkejut pun langsung menghampiri mbak Aish.
“Maksud mbak apa? Dari mana mas Fajar tahu soal ini?” tanyaku panik.
“Tadi sore mbak bertemu karim, dia bilang Fajar beberapa hari ini sering uring-uringan karena sudah tahu ustad Iqbal datang ke sini untuk melamar kamu.”
“terus apa lagi mbak? Mas Fajar gak tahu kalau aku nolak?”
“Fajar tahunya kamu terima dengan syarat menunggu sampai kamu lulus dari sini.”
“Loh kok gitu? Dia tahu informasi yang salah itu dari mana mbak? Mbak gak kasih tahu Karim kalau dia salah informasi?”
“Mbak sudah bilang sama Karim bahwa itu gak benar, yang benar itu kamu nolak lamarannya, tapi Karim bilang gak mau tahu, Fajar udah gak mau dengar penjelasan apa pun lagi.”
“Ya Allah mbak, kok jadi gini sih, pantesan aja tadi mas Fajar beda banget, memangnya mas Fajar tahu dari mana?”
“Mbak juga gak sempat nanya, Karim la
ngsung pergi.”“Terus gimana ini mbak? Kalau posisinya di pondok gini kan aku ga bisa ajak dia ngobrol, tadi aja mas Fajar aku panggil malah buang muka.” Ucapku murung.
“Kamu nulis surat aja, nanti kalau mbak ada kesempatan ketemu Fajar mbak kasih surat itu.”
“oh iya, ya sudah aku tulis suratnya dulu ya mbak.” Aku pun segera pergi menuju meja belajar dan segera ku ambil satu lembar kertas yang ku sobekkan dari sebuah buku dan bolpoin yang ku ambil dari dalam keranjang kecil.
Assalamu’alaikum, Mas Fajar.
Mas, aku minta maaf dengan kesalahpahaman yang terjadi, aku tahu kamu marah padaku karena kamu tahu soal kedatangan ustad Iqbal menemuiku pada hari itu.
Dan aku tahu kamu marah karena aku tidak menceritakan hal itu padamu.
Tapi Semua itu aku lakukan untuk menjaga perasaanmu, aku juga tidak tahu bagaimana berita itu tersebar padahal yang tahu Cuma aku, mbak Aish, pak kiyai dan Bu nyai saja.
Mas, berita yang kamu ketahui itu tidak benar, ustad Iqbal memang datang menemuiku dan memintaku untuk berta’aruf dengannya, tapi ajakan itu sudah aku tolak karena banyaknya alasan. Mbak Aish saksinya, dia yang menamaniku ketika berbicara dengan ustad Iqbal.
Mas, aku mohon kamu jangan berpikir aku akan meninggalkan prosesmu, sebisa mungkin aku tidak akan menerima setiap pria yang mendekatiku, aku akan selalu menjaga hatimu. Dan ku usahakan tidak akan pernah meninggalkan luka di dalamnya.
Ttd, Hana
Wassalamu’alaikum..
***
“Aku titip surat ini ya mbak, semoga Mas Fajar bisa ngerti dan gak marah lagi sama aku.” Aku pun menyerahkan kertas itu yang sudah ku lipat dan di masukan dalam sebuah amplop pada mbak Aish.
“iya, Fajar pasti ngerti kok. Kamu yang sabar ya, maafin sama sifat adik mbak yang ngeselin kayak gitu.” Ledek mbak Aish sambil tersenyum lalu melengkungkan bibinya ke bawah yang membuatku tertawa lepas dan segera memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...