"Jadi kamu yang mau melamar anak saya?" tanya papa setelah Kembali bergabung dengan kami di ruangan ini.
Mas Fajar mengangguk lalu kembali menatap ke arah papa, "betul pak."
Papa menyilangkan kedua tangan papa dada dengan satu kaki yang ia tumpangkan pada kaki yang lainnya, "kerja apa kamu? Sudah punya rumah? Mobil? Atau tabungan pribadi ratusan juta?"
Mendengar ucapan papa membuat emosiku langsung meluap, otakku terasa panas dan dada ini terasa sesak, sontak aku berdiri dengan tatapan tajam ke arahnya, "papa ngapain nanya kayak gitu ke mas Fajar? Maksud papa apa?"
"Kamu kenapa marah sama papa? Wajar seorang ayah menanyakan finansial pria yang akan menikahi putrinya, gak ada orang tua di dunia ini yang mau anaknya hidup miskin Hana."
"Mas Fajar gak akan biarin aku kelaparan, ia pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk aku, dan semua itu gak melulu soal uang yang berlimpah."
"Tapi selama ini kamu hidup serba mewah dan berkecukupan."
"Kapan? Tiga tahun yang lalu? Dan setelah itu papa tega jauhin aku dari kehidupan serba mewah itu, bahkan gak lama papa sampai telantarkan aku dan gak menuhi kewajiban papa menafkahi anaknya?" ucapku dengan nada suara lebih ditinggikan.
"Papa sudah bilang kalau papa kehilangan semua harta papa secara tiba-tiba, dan sekarang papa sedang mengusahakan semuanya akan kembali ke semula."
"Setidaknya papa kasih kabar ke aku, apa aku gak begitu penting di kehidupan papa?"
Papa pun ikut bangkit, sepertinya emosinya ikut tersulut sehingga ia melebarkan kelopak matanya dengan sempurna sambil menunjuk ke arahku, "bicara yang sopan sama orang tua, jadi itu ajaran yang ada di pondok pesantren? Papa kira lulus dari sana kamu akan menjadi wanita solehah dan bersikap baik sama orang tua."
"Gak usah bawa-bawa nama pesantren, aku gak akan kayak gini kalau papa gak mula duluan!"
Mas Fajar meraih tanganku sambil sedikit menarik, sedangkan papa kembali duduk sambil mengatur nafas "udah Hana, kamu duduk dulu, tahan emosi kamu."
Beruntung aku menurut pada pria ini, jika tidak ada dia mungkin aku akan lebih banyak mengeluarkan banyak kalimat bantahan pada papa, atau mungkin dengan tanpa sadar aku mampu berkata kasar. Aku mencoba tenang dengan mengatur nafas dengan berulang-ulang, lalu aku menatap mas Fajar yang mengedipkan kedua matanya bersamaan yang mengisyaratkan agar aku diam dan giliran dia yang berbicara.
"Saya seorang mahasiswa semester empat yang mendapat besiswa penuh dan di bebaskan dari seluruh biaya tiap semester, dan saya memiliki tabungan yang cukup dari hasil penjualan baju muslim yang saya produksi sendiri Bersama tim saya, insya Allah saya mampu memenuhi kebutuhan Hana setelah menikah nanti." Ucap mas Fajar dengan tenang.
"berapa omset hasil penjualan kamu? Pastin masih kecil kan? Saya tau merintis usaha itu gak ada yang instan, butuh waktu lama untuk berkembang menjadi besar." Timpal papa.
"Omset penjualan untuk saat ini mungkin tidak terlalu besar, tapi saat ini saya sedang melakukan kerja sama dengan sebuah perusahaan yang akan memberikan investasi besar, dan secepatnya saya akan mengembangkan produksi dengan membangun pabrik dan butik milik sendiri pak."
Papa melengkungkan bibir ke bawah sambil mengangkat satu alisnya, "waw, bagus kalau begitu, berapa lama lagi hal itu terealisaskan?"
"3 bulan lagi pak, saya minta waktu sampai pabrik dan butik saya mulai beroperasional."
"Oke, saya kasih waktu kamu selama 3 bulan dari sekarang, jika dalam waktu 3 bulan kamu tidak datang melamar anak saya dengan menyiapkan uang mahar dengan nominal yang saya minta, maka saya anggap kamu tidak sanggup menikahi anak saya."
"Berapa banyak nominalnya pak?" tanya mas Fajar pada papa.
"DUA RATUS JUTA RUPIAH."
Mendengar ucapan papa membuat emosiku kembali meluap, aku sangat terkejut dengan syarat yang diberikan papa pada mas Fajar, sehingga kali ini aku kembali bersuara untuk melakukan pembelaan, "papa apa-apaan sih? Dua ratus juta itu gede banget, papa jangan sengaja bikin rumit niat baik mas Fajar untuk menikahiku."
"Rumit gimana? Dua ratus juta itu mahar yang rendah di keluarga kita, syukur-syukur papa gak ngasih harga miliaran, kamu itu anak tunggal papa, jadi jangan sembarangan pria yang menikahimu."
"Iya, tapi itu dulu, sekarang kehidupan kita bukan sebagai orang kaya raya lagi, kita sudah hidup serba sederhana, papa please jangan bikin aku marah." Ucapku dengan marah.
"Ya itu terserah dia," ucap papa menoleh ke arah mas Fajar, "kalau dia gak mampu terpaksa papa nikahkan kamu sama pak Chandra, karena dia juga suka sama kamu dan sudah minta ke papa untuk menikahi kamu, papa malu kalau papa nolak permintaan dia, setidaknya uang itu papa akan berikan pada pak Chandra untuk membayar semua asset yang dia berikan kalau papa nolak lamaran dia, termasuk rumah ini."
"Kenapa orang itu? Aku gak mau pa, emangnya papa yakin dia masih sendiri? Dia pasti sudah punya istri kan?"
"Dia seorang duda, sudah bercerai sama istrinya."
"Dan papa percaya?"
Mas Fajar kembali meraih tanganku dan meminta agar aku menghentikan debatku Bersama papa, "insya Allah pak, saya akan berusaha memehuni syarat itu, bahkan jika saya memiliki rezeki yang lebih, saya janji akan memberikan uang mahar lebih dari itu."
"Tapi mas_" ucapku yang belum selesai karena mas Fajar segera memotongnya.
"Sudah gapapa Hana, insya Allah aku sanggup, kamu bantu doa agar usahaku semakin berkembang ya." Ucap mas Fajar yang membuat hatiku sedikit merasa tenang.
"Oke, saya tunggu janji kamu," ucap papa yang kemudian ia bangkit kembali, "papa mau keluar, ada urusan, kalian gak mungkin 'kan berduaan dalam satu rumah kayak gini, nanti tetangga mikir yang aneh-aneh lagi." Sambungnya yang langsung keluar dari rumah ini tanpa pamit.
Dengan kata lain papa mengusir mas Fajar agar segera pergi dari sini, padahal aku yakin mas Fajar pasti merasa Lelah setelah melakukan perjalan yang cukup jauh, "mas, maafin sikap papa ya, harusnya aku gak ikut papa tingal di sini dari awal." Ucapku murung.
Namun ia tetap menampakkan wajah dengan senyuman terbaiknya hingga membuat suasana hatiku semakin teduh, "jangan pernah menyesali apa pun yang sudah terjadi dalam hidup kita, lagi pula keputusan kamu ikut Bersama papa itu tidak salah, dan untuk persyaratan itu aku janji akan tepati, aku juga gak mau kamu jadi milik orang lain, karena aku amat sangat mencintaimu, asal kamu selalu daoakan aku ya."
"Makasih ya mas, sudah mau mengusahakan cinta ini, aku janji setelah kita menikah aku akan ikut kemana pun kamu pergi dan papa gak akan ganggu kita lagi." Ucapku yang kembali tersenyum padanya.
"Ya sudah, sekarang aku pamit pulang ya, benar kata papa, gak baik juga kita cuma berduaan di sini."
"Tapi kamu baru datang mas, pasti masih capek."
"Gapapa, Hana, aku bisa istirahat juga di dalam bus travel."
"Oh iya, sebentar mas," aku segera pergi menuju dapur untuk mengambil kue brownies yang sudah kubuat, dan aku masukan ke dalam kotak makanan kemudian kembali dan memberikannya pada mas Fajar, "buat kamu, buat di makan di bus, perjalanan jauh pasti bikin laper."
"Apa ini?" ucapnya setelah menerima kotak makanan ini yang masih tertutup rapat.
"Brownies coklat strawberry, kata mbak Aish kamu suka kue itu."
"Buatan kamu sendiri?"
"Iya."
"Pasti rasanya sangat enak." Pujinya yang membuat rona pipiku memerah.
"Kalau gak enak kasih tau ya, saoalnya baru pertama buat itu."
"Apa pun yang kamu masak pasti enak."
"Kenapa mas yakin gitu?"
"Karena kamu masaknya pasti pakai cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...