Bab 24 - Salah faham

94 14 31
                                    

“Masya allah, suara mas Fajar sopan banget masuk ke telingaku”. Ucap Nisa yang sedari tadi pandangannya Tidak lepas dari mas Fajar.

“heh, istighfar kamu, kalem dikit kek deket calon kakak ipar.” Ledek Salwa yang menutup wajah Nisa agar tidak selalu memandang ke arah depan.

Ia pun dengan percaya dirinya bersandar di bahu mbak Aisyah sambil mengusap-usap tangan mbak Aish, “gapapa ya mbak, abisnya adik mbak sempurna banget.”

“Di dunia ini ga ada yang sempurna, kalian taunya Fajar dari luar aja, sifat aslinya kalian belum tau kan.”

“Apa pun itu, baik buruknya mas Fajar akan aku terima, itu pasti.”

Aku merasa tidak nyaman dan tidak suka dengan candaan yang Salwa dan Nisa lemparkan kepada mbak Aish, sehingga aku pun tidak ikut menanggapi mereka dan berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka.

Mbak Aish menatap tajam ke arahku, dia memang tau aku menyukai adik sepupunya itu, sehingga mungkin ia memikirkan suatu hal tentang diriku.

Setelah penampilan mas fajar selesai, sebelum ia turun dari panggung ternyata ia sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum, walau pun hanya sekejap tapi rasa kesal dalam hatiku karena ulah Nisa dan Salwa barusan menjadi berubah karena mas Fajar.

Sepertinya mereka berdua tidak menyadari hal itu karena masih asyik bercanda, beruntunglah Nisa tidak mengetahui hal ini. Dan mbak Aish? Aku lihat ia kembali menatapku lalu tersenyum seolah-olah ia sudah memahami apa yang terjadi di antara aku dan adik sepupunya.

Dan kini tiba di acara utamanya yaitu ceramah dari Ustad masyhur yang sering mereka puji-puji, bahkan sebelum kemunculannya naik ke atas panggung, para jama’ah yang hadir di sekitarnya selalu berisik menyebut-nyebut namanya, tak terkecuali Salwa dan Nisa.

Hingga Ustad itu tiba di atas panggung sambil di iringi lantunan shalawat oleh semua jama’ah yang hadir, mereka pun tak melewatkan kesempatan ini dengan mengabadikannya menggunakan handphone masing-masing.

Dan aku? Kenapa aku tidak ikut melakukannya? Itu karena ada notifikasi pesan dari mas Fajar yang mengirimiku pesan singkat dari whattsapp.

“Kamu hari ini sangat cantik hana.”
Untuk kesekian kalinya pria itu membuat diriku mabuk kepayang, aku pun segera membalasnya kembali dengan tak butuh waktu lama.

“mas Fajar juga hari ini ganteng sekali, di tambah suaranya merdu, sampai Nisa aja baper lihatnya”.

“loh ko malah Nisa? Berarti kamu biasa aja?”

“Ya aku juga sama, tapi Nisa lebih heboh pas lihat kamu.”

“Udah ah, ko jadi malah bahas Nisa, yaudah sekarang kamu fokus dengerin ceramahnya ustad Iqbal, kamu amalkan setiap perbuatan baik yang akan beliau sampaikan.”

“Iya mas”.

***

“masya allah ganteng banget si ustad Iqbal.” Ucap Nisa yang kembali bertingkah heboh.

“Jadi kamu suka sama mas Fajar atau ustad Iqbal sih? Labil banget.” Salwa menimpali.

“ya kalau Allah kasih dua-duanya juga boleh kok.”

“mbak Aish gawat nih, orang serakah kayak dia pasti ga lolos seleksi jadi adik ipar kan.” Ucap salwa yang mengadu pada mbak Aish.

“kalian kenapa sih malah ributin ustad Iqbal, mending dengerin tuh ceramahnya, resapi baik-baik, jangan malah banyakin ngobrol.” Sahut mbak Aish yang mulai merasa risih.

“hana.” Kali ini Salwa menepuk pundakku.

“Iya sal, kenapa?”.

“Itu ustad Iqbal kok dari tadi nengok ke arah sini terus ya?”.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang