Tidak seperti kemarin, ketika aku menginjakkan kaki di tempat ini dengan perasaan aman namun tetap kalut dalam kesedihan, kali ini aku merasa ragu juga takut, walau pun sebenarnya aku sangat mengkhawatirkan kondisi mas Fajar juga menantikan kabarnya, tapi tetap saja aku merasa takut jika kini aku tidak mendapatkan izin memasuki ruangan itu.
Rasa takutku semakin menggerogoti hati ini kala Ibu dan Karim bersikap dingin padaku, juga karena ucapan mereka yang seperti membenci dan tak ingin menemuiku, rasa itu pun terus saja menghantui setiap detik yang kulalui hingga saat ini.
Aku memandang sebuah plang pada dinding koridor rumah sakit yang bertuliskan 'ruang anyelir 1' di mana pada pintu bertuliskan nomor 3A adalah ruangan tempat mas Fajar beristirahat. Entah mengapa kedua kaki ini terasa sulit untuk bergerak, aku ragu apakah harus berjalan maju, atau berbalik badan dan putar arah?
"Kamu mau masuk? Kita udah 20 menit loh di sini." Ucap Samudra membuyarkan lamunanku.
Jelas aku tidak memiliki jawaban, karena aku pun merasa bingung akan keputusanku, namun tak berselang lama seseorang membukakan pintu dari ruangan itu yang ternyata adalah mbak Aish, ia keluar sambil memegang perutnya yang mulai membesar.
Wanita yang sudah kuanggap seperti kakak-ku itu berdiri mematung kala ia melihat keberadaanku, aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tapi jika saat ini ia akan marah dan membenciku, aku akan terima itu semua.
"Hana?"
Aku berjalan mendekat kearahnya setelah ia memanggil namaku, aku yakin mereka tak sepenuhnya marah dan pasti akan memaafkanku, "mbak Aish.."
Dugaannku ternyata salah, aku mendekat sambil merentangkan tangan, berharap ia akan menerima pelukanku, namun nyatanya ia malah berjalan mundur agar menghindar dariku, dengan begitu aku tersadar bahwa mereka ternyata masih tetap membenciku.
Dengan terpaksa aku menghentikan langkah kaki dan menurunkan tanganku, kini aku tak mampu lagi semakin mendekat ke arahnya karena sepertinya ia pun tidak ingin hal itu terjadi.
"Sebaiknya kamu pulang, situasi saat ini tidak memungkinkan buat kamu ketemu sama bu lek atau yang lainnya." Ucapnya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Apa ibu sangat membenciku? Apa mereka tidak akan memaafkanku? Aku mohon beri aku waktu buat bicara sama ibu, aku gak pernah memihak papa, jika aku tahu rencana papa juga aku akan halangi sebisa mungkin."
"Mbak tahu, bu lek tahu, yang lain juga tahu kamu tidak terlibat dalam kasus ini, cuma kami mohon beri kami waktu untuk berpikir jernih dan menerima semua kenyataan ini, kenyataan bahwa Fajar hampir kehilangan nyawanya karena bapak kandung dari wanita yang dicintainya tega membunuhnya, padahal Fajar tidak melakukan kesalahan apa pun sama papa kamu, salah dia cuma mencintai kamu tanpa restu dari papa kamu."
Mendengar ucapannya membuat air mata ini kembali hadir, aku merasa memang aku ini sumber masalah dari semua yang terjadi saat ini, semua kenyataan pahit yang menimpaku, juga mas Fajar, " aku tahu hubungan kami tidak sepenuhnya benar karena kami belum mendapat restu papa, aku tahu semuanya tidak akan seperti ini jika aku tidak melawan papa, tapi kalian tahu sendiri seberapa besar cinta kami sampai berjuang sejauh ini?"
Mbak Aish membuang wajah ke sembarang arah, dengan menatap ke arah atas sambil menghela nafas yang berulang-ulang, sepertinya ia berusaha menahan air mata yang juga hendak keluar dari kedua matanya, "sebaiknya kamu pergi dulu, dan jangan ke sini lagi."
"M-maksud mbak Aish?" Tanyaku sangat bingung, "apakah karna ini kalian tidak akan merestui hubungan kami?"
"Mbak tidak tahu karena ini bukan hak Mbak, kita tunggu saja nanti keputusan pak lek dan bu lek, tapi untuk saat ini mbak minta maaf agar kamu tidak mengganggu kami dalam merawat Fajar." Wanita itu segera berjalan melewatiku namun dapat ku tahan dengan meraih tangannya.
"Tunggu mbak, gimana keadaan mas Fajar sekarang? Aku janji gak akan masuk ke dalam, tapi aku ingin tahu keadaan dia, apa dia sudah sadar?"
Mbak Aish melepaskan tanganku darinya dengan segera, "Fajar di nyatakan koma karena sampai saat ini tidak ada peningkatan akan kondisinya, dan karena itu alasan kami tidak ingin bertemu kamu sementara ini." Ia pun segera pergi dengan mempercepat langkahnya agar aku tidak lagi mengejarnya.
Kini harapanku semakin hilang untuk bertemu dengan mas Fajar, tubuhku terasa lemas, pikiranku terasa kosong, hatiku terasa hancur kala aku merasa kehilangan pria yang amat kucintai. Bahkan kini aku tak lagi memiliki tempat untuk membawa jiwa dan ragaku pulang.
"Kita cari makan aja ya, kamu dari pagi belum sempat makan." Ajak Samudra membujukku.
Namun aku memilih diam dengan tatapan kosong, aku berusaha menggerakkan kaki untuk melangkah, namun kakiku terasa tak berdaya, tiba-tiba penghilatanku sedikit buram, dan bayangan hitam mulai menutupi semua penglihatanku, aku rasa kepalaku terasa pusing, hingga setelahnya aku tidak menyadari hal apa pun lagi.
Aku tak sadarkan diri.
***
Seseorang sedang menangis di dekatku, aku bisa mendengarnya, seperti seorang wanita, dan sepertinya aku sangat mengenali suara ini.
Perlahan aku menggerakkan jari-jemariku, membuka kedua mata walau pun sedikit terasa berat, aku menatap ke arah atas, hanya ada langit-langit berwarna putih serta lampu terang yang membuat mataku silau karena cahayanya, lalu kedua mata ini bergerak memindai ke arah kiri dan kanan, aku melihat sebuah gorden berwarna hijau yang mengelilingi sekitarku, juga aku melihat mbak Wulan yang segera berdiri untuk memastikan bahwa aku sudah sadar.
"Hana, kamu gapapa?" Ucapnya tampak cemas.
Aku berusaha menyapanya dengan memberikan senyuman tipis walau pun terasa kaku karena seluruh tubuhku masih terasa lemas, "mbak Wulan kenapa nangis?"
"Mbak takut kamu kenapa-kenapa, mbak khawatir banget."
"Aku gapapa kok mbak." Tiba-tiba aku teringat Samudra, ya pria yang sejak kemarin dan beberapa waktu terakhir bersamaku, namun ke mana dia kini? Dan mengapa aku malah terbaring di ranjang pasien ini? Apa yang sudah terjadi padaku?
Pria itu pun tiba, ia membawa sesuatu dari dalam sebuah kantong plastik, "aku habis beli makanan buat kamu, kamu harus makan ya, aku tahu makanan rumah sakit gak enak, makanya aku beli makanan di luar."
Aku menoleh ke arah samping kananku, ya di sana terdapat menu makanan beserta buah dan air mineral yang berasal dari rumah sakit ini, memang terlihat tidak menarik untuk di santap, namun aku masih merasa bingung dengan keadaanku saat ini.
"Aku kenapa Sam?"
"Tadi kamu pingsan, kata dokter kamu mengalami dehidrasi dan penurunan kadar glukosa, itu karena kamu tidak makan dan minum secara teratur selama dari 24 jam, bahkan seharian ini kamu tidak makan apa pun."
"Berapa lama aku pingsan Sam?"
"5 jam, cairan infusan kamu aja sudah habis 4 botol."
"Apa? 5 jam?" Ucapku terkejut.
"Sebaiknya kamu jangan pikirkan apa pun selain kesehatan kamu, sekarang kamu harus makan dan setelah ini minum obatnya." Pria itu segera membuka kotak makanan yang ia bawa dan menunjukkannya ke arahku.
"Mas Fajar sudah sadar?" Entah mengapa yang ada dalam ingatanku hanya ada mas Fajar saja.
Samudra menghela nafas panjang, sepertinya ia mulai lelah dengan tingkahku yang terus menerus mengkhawatirkan mas Fajar, bahkan dalam kondisiku sendiri yang juga mengkhawatirkan.
"Kamu makan dulu ya, nanti setelah sehat mbak akan bantu kamu buat ketemu Fajar." Wanita itu bangkit dan mengambil kotak makanan dari Samudra, ia pun segera mengambil sesuap nasi beserta lauk dan bergerak menyuapiku.
Aku melirik pada jam dinding besar yang terpajang di dalam ruangan ini, dan waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, hal itu menandakan bahwa mas Fajar telah tak sadarkan diri lebih dari 24 jam. Karena itu pula membuatku semakin khawatir akan keadaannya.
Akankah ia segera terbangun?
Akankah ia segera sadar?
Dan apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dan menyapa dirinya?
Namun jika ternyata aku tidak memiliki kesempatan itu, izinkan kabulkan satu permintaanku.
Sembuhkanlah pria yang kucintai dari rasa sakit yang kini di rasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...