“Kamu hati-hati ya di sana, selalu jaga kesehatan, dan kalau ada apa-apa langsung kabari bapak dan ibu.” Ucap ibu ketika mas Fajar berpamitan akan segera pergi ke Yogyakarta.
“Insya Allah Bu, aku pasti selalu kasih kabar ke ibu.” Sahut pria yang kini mulai melepas masa remajanya dan akan memasuki masa dewasa.
Seperti ada sebuah beban terasa berat ku pikul sendiri, rasanya aku tidak terima jika mas Fajar meninggalkan Magelang walaupun tidak untuk selamanya, memang benar dengan apa yang di katakan olehnya, jika ia pergi berkuliah ke luar negeri mungkin rindu ini akan semakin tersiksa, karena ternyata walaupun ia berkuliah di dalam negeri bahkan jarak yang masih dekat pun aku seperti terkurung dalam sebuah penjara rindu.
Namun, bagaimana pun juga aku harus selalu mendukung cita-citanya agar apa yang akan ia raih di masa depan dapat terealisasikan demi menyatukan kisah cinta kami berdua yang sudah kami rencanakan sebaik mungkin.
Kali ini pandangan matanya beralih ke arahku, ia menatapku dalam-dalam karena ternyata ia bisa menebak sebuah kekhawatiran yang mencengkeram perasaanku, “kamu jaga kesehatan ya, jangan terlalu capek, dan jaga pola makan kamu agar selalu teratur.”
Aku menarik ujung bibirku kemudian membentuk lekukan sabit ke atas yang katanya ini adalah hal yang paling ia suka, “mas juga jaga kesehatan ya, aku doakan semoga semua yang mas cita-citakan akan segera Allah kabulkan.”
Dia membalas senyumanku, kemudian ia berjalan mendekat dan mencium punggung tangan mbak Aish untuk berpamitan, “mbak, aku titip Hana ya, jangan sampai dia sakit."
“iya Jar, tenang aja. Hana pasti baik-baik aja kok.” Sahut mbak Aish yang kemudian mereka berdua saling berpelukan.
“Assalamualaikum.” Pamitnya yang langsung berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di depan pagar halaman rumah ini, ternyata itu mobil pak kades yang di dalamnya juga sudah ada Karim.
Mereka akan berangkat bersama menuju Yogyakarta untuk menempati tempat tinggal baru mereka si sebuah rumah kost, karena 3 hari ke depan mereka sudah mulai melaksanakan aktivitas sebagai seorang mahasiswa.
Semakin ia jauh melangkah semakin hati ini merasa resah, tapi aku tidak boleh egois, semua ini ia lakukan demi masa depan yang akan berujung manis.
***
Rasanya waktu berjalan sangat cepat, aku tidak menyangka kini aku sudah menginjak kelas 3 dan tahun ini aku akan lulus. Padahal rasanya baru kemarin aku menolak tinggal di lingkungan pondok pesantren ini, dan rasanya baru kemarin aku pertama kali bertemu mas Fajar karena buku diary-ku yang terjatuh. Aku mengenang masa itu dengan berdiam diri sejenak di bawah kaki tangga mushola, dengan memandangi pagar pembatas itu, kemudian aku berjalan menuju tepi danau dan melihat bayangan mas Fajar yang berada di seberang sana.
Dia sedang apa ya di sana? Apakah dia juga sama sepertiku, yang sedang menikmati kerinduan yang belum menemukan obatnya ini?
“Hana, kamu lagi apa?” tanya ning Nabila yang tiba-tiba muncul.
“Eh, ning. Eng-nggak kok, Cuma lagi cari angin aja.” Sahutku gugup setelah terkejut.
“Cari angin atau lagi kangen sama Fajar nih.” Ledeknya.
Aku tersipu malu, tapi aku bisa menyembunyikannya dengan membahas hal lain karena aku melihat sebuah kotak berbungkus plastik hitam di tangan ning Nabila, “itu apa ning?”
“Oh iya, tadi ada paket datang, katanya untuk santri putri kelas 3 yang bernama Hana Mutiara Sabrina, ini nama kamu kan?”
“Iya, tapi paket dari siapa?” tanyaku heran.
Gadis itu langsung memberikan kotak paket itu padaku tanpa membaca nama pengirimnya, “kamu baca aja, kayaknya ada suratnya juga.”
Aku meraih benda itu, kemudian aku duduk bersama ning Nabila di atas rumput hijau di bawah pohon rindang. Perlahan aku membuka bungkus paket ini, lalu aku membuka sebuah lipatan kertas berisi tulisan yang ku kenali pemiliknya.
Assalamualaikum, Hana!
Apa kabarmu sekarang? Semoga kamu baik dan gak sakit ya.
Oh iya, aku boleh minta sesuatu sama kamu? Jangan suka tiba-tiba muncul di mimpiku ya? Bukannya aku tidak mau, Cuma aku tidak tahu harus bagaimana mengobati rasa rindu yang semakin menjadi-jadi ini.
Semakin wajahmu hadir di setiap mimpiku, semakin aku resah ingin segera menemuimu, tapi waktunya masih belum ada yang tepat untuk saat ini.
Karena itu, aku membuat sebuah baju gamis ini untukmu, ini semua rancangan dari tanganku sendiri, semoga kamu suka ya.
Warna hitam ini melambangkan kekuatan, karena aku tahu kamu wanita yang kuat ketika menerima cobaan dalam kehidupanmu.
Dan perpaduan warna kuning yang memiliki arti kebahagiaan dan keceriaan, seperti nama kamu, Hana, yang memiliki arti kebahagiaan.
Aku berharap hidupmu selalu dilimpahkan kebahagiaan yang menyertai.
Aku titip rindu ini untukmu lewat sapaan hangat angin malam dengan gemerlap bintang menghiasi angkasa, sangat cantik, tapi tak secantik kau Hana.
aku mencintaimu.
Salam rindu, Fajar Abdullah.
Wassalamualaikum
***Ternyata benar dugaanku, dia juga sangat merindukanku, bahkan kita sama-sama saling bertemu dalam alam bawah sadar yang sering orang katakan sebagai bunga tidur, apakah semua kekasih mengalami hal seperti ini ketika mereka sedang berjauhan? Entahlah, yang jelas aku baru merasakan ini seumur hidupku.
Dan Aku sangat menikmati semua mimpi itu walaupun berujung menyiksa batin karena selalu muncul keinginan ingin bertemu dengannya tapi untuk saat ini tidak mungkin bisa terjadi.
“Ciee.. yang habis dapat surat cinta, pipinya sampe merah-merah gitu.” Ledek ning Nabila yang menyaksikan tingkahku yang mulai tak sadarkan diri karena selama membaca surat ini aku terus saja tersenyum.
“Eh, enggak kok ning, biasa aja.” Sahutku tersipu malu sambil memegang kedua pipiku.
“Jangan bohong, aku juga pernah merasakan jatuh cinta kok, jadi gak usah malu gitu.”
Aku menunduk dan mengusap baju pemberian dari mas Fajar, sangat cantik, baju gamis seukuran tubuhku yang memiliki warna dasar hitam dengan garis kuning melingkar pada ujung bagian lengan dan garis kuning besar memanjang ke bawah pada bagian depan gamis, “baju buatan mas Fajar bagus ya ning, hebat ya dia udah bisa bikin kayak gini.”
“iya memang, dulu aku lihat dia memang serius banget belajar menjahit sampai bisa buat gamis sebagus ini sekarang, oh iya kamu pernah denger mitos kalau seseorang ngasih baju ke pacarnya itu gak di bolehin ga?” Tanyanya yang membuat raut wajahku seketika berubah menjadi sedikit murung.
“Yang katanya hubungannya gak akan langgeng itu bukan?” tanyaku memastikan.
“Iya.”
“Emang bener ya ning? Kok aku jadi takut yah. Tapi masa aku gak hargai pemberian dari mas Fajar, apalagi ini hasil karyanya.”
“Hmm.. tapi gak tahu juga sih, gak usah di peduliin juga kayaknya, itu kan juga mitos lama, kayaknya setiap pasangan kasih kado sebuah baju itu udah hal yang umum deh.”
“Iya sih, semoga aja mitos itu gak bener ya.”
“Iya pasti, sebuah hubungan berakhir itu kan bukan karena baju, tapi karena keduanya yang sudah tidak memiliki kecocokan. Lanjut atau berakhir itu karena kalian sendiri, tapi kayaknya antara kamu dan Fajar gak akan mungkin saling melepaskan ‘kan? Aku bisa tahu dari sorotan mata kamu dan perlakuan Fajar yang sama-sama tulus.” Ucapnya yang kini kembali menghadirkan senyuman pada bibirku.
“iya ning, semoga kami berjodoh ya, aku tinggal nunggu mas Fajar siap untuk melamarku setelah tabungannya cukup untuk memulai kehidupan baru sebagai seorang suami dan istri.”
“Iya, aku pasti doakan kalian,” ucapnya tersenyum sambil mengusap tanganku, “awas ya, jangan sampai lupa undang aku, abi, dan umi, pokoknya aku mau jadi saksi bersatunya cinta kalian berdua di atas pelaminan.”
Aku melepaskan tawaku bersamanya, aku senang karena orang-orang di sekitarku sangat mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk hubunganku dengan mas Fajar. Setidaknya setelah ini, aku akan kembali merasakan hidup dalam suasana penuh cinta setelah sekian lama aku kehilangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Novela JuvenilHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...