Bab 37 - Minta restu mama

129 15 35
                                    

Memang benar, sesuatu yang pernah kita benci akan terasa berharga jika kita telah kehilangannya. Sama sepertiku, ketika aku kehilangan kabar dari papa, aku baru sadar bahwa tak seharusnya aku tidak memedulikan papa yang satu-satunya orang tua yang ku miliki saat ini.

Idul fitri yang semua umat Islam rayakan dengan penuh kebahagiaan, tapi bagiku tidak. Mereka yang berbahagia karena telah lulus dari ujian berpuasa, bertemu sanak saudara yang berada jauh dari mereka, saling sapa dan meminta maaf sehingga hati dan jiwanya bersih dari sifat yang kotor.

Dalam suasana ramai, tak sedikit pun hati ini merasa damai. Tak adanya sosok papa dan mama di samping membuat keberadaanku seperti asing. Aku seperti seekor paus ‘whale 52’  yang kesepian di tengah samudra yang luas, berenang mengikuti arus dengan hati yang cemas. Walaupun ribuan ikan dapat dengan mudah dijumpai, namun yang kuinginkan hanyalah kehangatan dari keluarga yang kucintai.

“Non, makan dulu yuk.” Ajak mbak Wulan yang membangunkan lamunanku.

“Aku mau ke Jakarta mbak.” Pintaku dengan spontan.

Mbak Wulan terdiam sambil menghela nafas dalam-dalam,  “Buat apa non? Kita gak tahu mau cari bapak ke mana, yang ada kita percuma lagi pergi jauh ke sana.”

“Aku mau ke makam mama, Cuma itu satu-satunya caraku untuk merayakan lebaran ini bersama orang tua, kalau papa gak ada kabar, setidaknya aku bisa bertemu dan mendoakan mama.”

Mbak Wulan kembali diam, seperti ada sebuah beban yang ada pada dirinya.

“Kalau mbak gak bisa antar aku gapapa mbak, aku bisa pergi sendiri.”  Ucapku memaksa.

“Saya mau bicara sesuatu sama non.” Mbak Wulan menuntunku masuk ke dalam kamar putranya yang sementara ini di tempati olehku.

“Ada apa mbak?” tanyaku yang merasa penasaran.

“Sebenarnya sejak 2 bulan yang lalu bapak sudah tidak men-transfer uang ke saya untuk biaya pesantren non Hana.” Ucapnya dengan hati-hati.

Mendengar ucapannya membuat aku merasa terkejut, jadi papa memang sedang bermasalah dengan keuangannya selama ini? Sehingga untuk biaya hidupku saja papa tidak mampu?

“Jangan bilang selama ini mbak kirimi aku uang pakai uang mbak sendiri?” jawabku menduga dan ternyata ia mengangguk, “Astagfirullah mbak, kenapa mbak gak bilang sama aku?”

“Saya cuma gak mau ganggu fokus belajar non Hana.”

“Mbak gak mau antar aku lagi ke Jakarta karena uang dari papa sudah habis? Dan biaya transportasi semalam mbak tanggung sendiri?” sekali lagi aku memastikan dan ia kembali mengangguk.

Aku bangkit, kemudian berjalan mengambil sesuatu dalam lemari dan menunjukkannya pada mbak Wulan, “ini surat-surat perhiasan yang kupakai, ada kalung, cincin dan gelang. Nanti kita jual perhiasan ini di sana ketika selesai ziarah, uangnya untuk kebutuhanku selama di pesantren, mbak gak usah kirimi aku uang lagi. dan untuk ongkos sekarang, aku punya uang tabungan aku selama di pesantren.”

Mbak Wulan menolak pemberian perhiasan yang ku serahkan pada tangannya, “jangan non, ini pasti kenang-kenangan dari mamanya non.”

“Gapapa mbak, aku ikhlas, harganya juga cukup tinggi jika di jual, jadi cukup untuk biayaku sampai aku lulus di pesantren, aku gak mau merepotkan mbak lagi, mbak udah banyak banget bantu aku.”

“Tapi non-“ ucapnya yang belum selesai karena langsung aku sambung.

“Udah mbak, aku minta tolong yang terakhir kalinya untuk antar ziarah ke makam mama ya.” Pintaku memohon.

“Baik. Tapi non harus makan dulu ya”

***

Sekitar pukul 11 siang, aku dan mbak Wulan kembali berpamitan kepada keluarganya untuk kembali berkunjung ke Jakarta. Ketika kami berjalan menuju halaman rumah, tiba-tiba saja mas Fajar muncul dengan membawa motor kesayangannya.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang