Bab 44 - Dia melamarku

117 14 20
                                    

Malam hari, setelah acara tahlilan selesai, aku membantu merapikan karpet rumah dan piring-piring serta gelas yang digunakan untuk menyuguhi makanan dan minuman kepada pada warga yang ikut mendoakan almarhumah Zira, bersama dengan mbak Aish yang baru saja tiba tadi sore, aku mengerjakan semua ini berdua dengannya, karena sedari tadi ibu hanya diam dengan tatapan kosong, dan setelah rumah ini kembali sepi, ibu pergi keluar rumah sambil memegang baju milik Zira yang berwarna merah muda.

Aku menghampiri kesendiriannya kemudian duduk di samping sambil mengusap punggungnya, “ibu jangan lama-lama ya sedihnya, ibu ikhlaskan kepergian Zira, ibu pasti kuat.”

“Ibu sudah ikhlas nak, Cuma ibu kangen aja sama Zira.”

Tiba-tiba mbak Aish muncul dan ikut menenangkan ibu, “sebaiknya baju-baju Zira kita sumbangan ke panti asuhan aja ya bude, supaya bude gak sedih terus, dan bisa jadi amal zariah juga buat Zira.”

Sepertinya ibu menyetujui saran dari mbak Aish, memang benar, jika barang-barang milik Zira masih tersimpan di rumah ini hanya akan mengundang kerinduan mendalam yang tak akan ada obat yang menyembuhkannya, karena Zira tak akan pernah kembali ke dunia ini.

Kami berdua pun merasa lega setelah berhasil membuat ibu tertidur, dengan memikirkan hal yang sama karena kami berdua besok akan kembali meninggalkan ibu di sini, membuat hati ini terasa berat jika esok hari akan tiba, tapi apa boleh buat, suami mbak Aish tidak dapat meninggalkan pekerjaannya dengan waktu yang cukup lama, begitu pula denganku, karena bu Nyai sudah sangat baik memberiku izin menginap di sini walau hanya semalam, dan aku tidak akan mengingkari janji hingga membuatnya merasa kecewa.

“Suatu saat nanti, setelah kamu dan Fajar menikah, mbak minta kalian jangan tinggalin bude ya, setidaknya jika kalian punya rumah, jangan jauh-jauh dari sini, jangan sampai bude semakin tidak memiliki seorang putri di hidupnya.” Sebuah amanat yang sangat berharga yang di titipan oleh mbak Aish padaku, tidak akan berat rasanya karena saat ini pun aku sangat menyayangi ibu seperti rasa sayangku terhadap mama, dan aku berjanji akan selalu membuat ibu tersenyum dan melupakan kesedihan ini untuk selamanya.


***


“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Ucap mas Fajar ketika memintaku berbicara di halaman rumah berdua, tapi seperti biasa mbak Aish ia suruh mengamati kami dari dalam dengan pintu rumah yang terbuka.

“Kenapa mas?” tanyaku penasaran.

“Setelah lulus dari pondok, apakah kamu mau melanjutkan kuliah kamu?”

“Kayaknya enggak mas, pendidikanku sampai di sini saja, mas tau sendiri papa sudah lepas tanggung jawab dan aku gak punya pilihan lain, mungkin aku akan meneruskan langkah mbak Aish untuk sementara waktu mengabdi di pesantren sebagai khadimat.”

“Kalau setelah lulus dari pondok mas langsung menikahi kamu boleh?” Ucapnya dengan mata yang berbinar.

Benarkah ini yang di ucapkan pria yang amat kucintai? Benarkah ucapannya itu nyata, bukan lelucon semata? Aku diam terpaku sambil mencubit pinggangku, dan ternyata...

Aww..

“Kamu kenapa?” ucap mas Fajar cemas.

“Gak-gapapa mas.” Sahutku gagap.

Nyata. Ya, ini memang nyata adanya, dia benar-benar telah melamarku, impianku selama ini akan segera menjadi nyata, yang akan menjadi miliknya selamanya, dan cinta kita akan bersatu dalam ikatan yang Allah Ridhoi. Hanya tinggal menunggu kelulusanku dari pondok pesantren semua ini akan berakhir kebahagiaan, dan tak lama lagi aku akan memulai hidup baru yang akan kulukiskan suasana kebahagiaan setiap hari bersamanya.

“Insya Allah, aku selalu siap kapan pun kamu akan menikahiku mas.” Sahutku dengan senyuman yang sangat sulit ku tahan untuk kuperlihatkan padanya.

“Alhamdulillah..” serunya dengan lega, “ oh iya, doain mas ya semoga bisnis pakaian muslim karya mas berjalan dengan lancar,  sekarang produksi pakaian muslimnya semakin banyak karena mas udah coba kirim ke butik lain dan di terima, jadi semakin hari tabungan mas semakin bertambah, dan Insya Allah tahun depan mas bisa menikahi kamu.”

“ammiin... aku pasti selalu doain mas, tiap selesai shalat wajib, maupun sunnah. Aku akan selalu mendoakan semua yang terbaik untuk calon suamiku.” Entah mengapa kalimat itu tiba-tiba saja terucap dari bibirku, bukan salahku kan jika aku mengatakannya? Karena benar kini ia adalah calon suami yang tidak akan lama lagi ia akan menjadi suamiku, selamanya.

Jika ada yang bertanya tentang perasaan kami berdua saat ini seperti apa, mungkin kalian bisa merasakannya sendiri. Perasaan kedua sejoli yang dari dulu menyimpan rasa cinta namun mereka tidak dapat bertindak seperti kisah romantis sepasang kekasih pada umumnya di luar sana, jangankan melakukan hal yang boleh di lakukan pasangan halal, mereka dapat kesempatan bersentuhan pun cuma karena tidak sengaja saja.

Seperti contohnya ketika beberapa waktu lalu aku sempat mengalami kejadian yang sangat memilukan ketika aku hampir di lecehkan oleh penjahat dari dalam angkot, dan ketika kita terjebak pada hujan yang tiba-tiba saja turun, dengan spontan mas Fajar menarik tanganku agar dapat menghindar dari guyuran air hujan yang sangat deras.

Aku pun sangat mengagumi pria ini karena selama kami dekat ia tidak pernah berbuat macam-macam bahkan ia sedikit menjaga jaraknya dariku, hanya saja semakin lama kita dekat semakin sering ia menatap wajahku berlama-lama, tidak ada yang salah bukan jika hal itu sering terjadi pada kami. Bahkan bukannya semakin lama semakin aku merasa bosan, malah semakin aku sering merindukan tatapan mata itu sehingga sering muncul dalam setiap mimpiku.

“Ada apa nih pada senyum-senyum gini? Ngomongin soal rahasia kalian udahan kan?” Ucap mbak Aish yang tiba-tiba muncul sehingga membuat aku dan mas Fajar terkejut.

“Eh mbak, gapapa kok, obrolan kita sudah selesai.” Sahutku mencoba merasa tenang.

“Sebetulnya walaupun kalian merahasiakan obrolan tadi, mbak bisa menebak inti sari dari semuanya, kamu sudah melamar Hana kan?” tebak mbak Aish sambil mencolek dagu adiknya itu hingga ia tertunduk malu.

“Kok mbak bisa nebak? suara kita kegedean ya? Atau pemdengaran mbak sudah semakin tajam setelah terkena angin Makassar?” Ucapku dengan sedikit melempar candaan agar dapat menutupi sebuah kebenaran.

“Gak dua-duanya.” Singkatnya.

“Terus apa?” tanyaku.

“Kelihatan dari mata, gerakan mulut kalian, dan apalagi pipi kamu makin merah itu.” Ucapnya yang membuatku dengan spontan memegang kedua pipi.

“Ah masa, enggak kok.”

“Hemm.. ketahuan deh, kalau gini sih mending gak usah main rahasia-rahasiaan aja, sekalian aku ngelamar kamu depan mata mbak Aish.” Ucap mas Fajar sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak terasa gatal dan pandangan wajah yang ia buang ke sembarang arah.

“Bener kan,” ucap mbak Aish dengan bangga, “jadi kapan pastinya?”.

“Tahun depan mbak.” Sahutku.

“Setelah Hana lulus dari pesantren.” Tambah mas Fajar.

“Masya Allah,” seru mbak Aish yang langsung memelukku, “Alhamdulillah sebentar lagi kita akan menjadi saudara ya.” Ucapnya yang tentu saja membuat hatiku semakin berbunga-bunga.

“Alhamdulillah,  terima kasih ya kalian sudah sangat menyayangiku tanpa alasan, ketika aku kehilangan duniaku, kalian membuat dunia baru yang jauh lebih indah dari kehidupanku sebelumnya.”

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang