Bab 41 - Perpisahan Mbak Aish

92 12 15
                                    

Aku berjalan kembali menuju kamar, dengan langkah kaki di iringi rasa bahagia dalam hati, membuat senyuman di wajahku enggan untuk pergi. Tapi, ketika aku membuka daun pintu kamarku, aku melihat Mbak Aish sedang mengeluarkan pakaian miliknya dari dalam lemari, kemudian merapikannya ke dalam tas besar berwarna hitam.

Aku terheran, sehingga dengan segera aku berjalan mendekat ke arahnya untuk menanyakan atas apa yang telah terjadi padanya, “Mbak mau bawa barang-barang ini ke mana?”

Ia menghentikan kegiatannya, kemudian berbalik badan lalu memegang kedua tanganku sambil mengajakku duduk di atas tempat tidurnya, “Mbak mau pamit ya.”

Aku melengung, tapi tetap berusaha berpikir positif dan berharap bahwa tidak akan ada sesuatu yang harus ku khawatirkan, “m-maksudnya?” tuturku gagap.

“Mulai sekarang mbak sudah berhenti tinggal di sini, mbak mau pulang.” Jelasnya dengan tenang.

“tapi kenapa mbak? Ada apa? Ibu dan bapak baik-baik aja kan?” tanyaku dengan nada cemas.

Tapi ternyata ia tidak menjawabnya dengan perkataan, malah hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, sehingga aku semakin merasa cemas dan penasaran dengan apa yang telah terjadi padanya.

“jawab mbak, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba mbak mau berhenti kerja di sini?”

“Gak tiba-tiba kok, mbak sudah merencanakan ini sejak beberapa hari yang lalu.”

Aku mengerutkan kening lantas menyipitkan mata sambil menatapnya lebih dalam lagi, “maksudnya.”

“Maaf ya mbak belum sempat cerita sama kamu, sebenarnya malam ini ada yang mau melamar mbak, dan 2 minggu ke depan mbak akan menikah.”

Aku terkejut lantas membuka mata lebar-lebar, sebuah kejutan besar terdengar dari mulut wanita yang ku kagumi sosoknya, yang ku ketahui ia tidak pernah membahas perihal hatinya ataupun memiliki ketertarikan pada lawan jenis, tapi tiba-tiba saja dia memberi kabar bahwa malam ini akan menerima lamaran dari seorang pria yang dalam waktu cepat akan menikahinya.

“Nikah? Sama siapa mbak? Mbak selama ini belum pernah cerita sama aku kalau mbak lagi deket sama cowok.” Ucapku meyakini dugaanku.

“Mbak memang tidak pernah dekat dengan siapa pun, bahkan mbak baru akan bertemu pria itu malam ini pas acara lamaran.”

“Apa? belum pernah ketemu berarti mbak belum kenal orang ini?” tanyaku memastikan, dan ia hanya mengangguk, “terus, kok bisa mbak nerima lamaran dia? Kalau pas ketemu orangnya mbak gak suka gimana? Soal-.”

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, mbak Aish pun segera memotongnya, “soal muka? Ganteng atau engga?”

“Bukan gitu mbak, masa iya mbak langsung nikah tanpa kenal sama orang yang nikahi mbak? Kita kan belum tahu sifat asli dia kayak gimana? Aku takut Mbak nyesel nantinya.”

“Kamu gak perlu khawatir Hana, beliau ini pria baik-baik kok, dia anak dari sahabatnya pakde, mbak yakin jodoh pilihan pakde itu gak akan salah, pasti yang terbaik untuk Mbak, mbak percaya itu, lagi pula masalah pengenalan karakter satu sama lain, perlahan kita bisa saling mengenal setelah acara lamaran ini, dan bukannya lebih indah dan menyenangkan jika pacaran setelah menikah kan?”

Sejenak aku terdiam, berpikir dan membenarkan apa yang mbak Aish katakan. Bukan salah lagi jika aku mengagumi sosok wanita ini, dia benar-benar menjaga kehormatannya untuk suaminya kelak, berbeda denganku, mungkin aku juga merasa bersalah karena telah mengajak adiknya terjebak dalam perasaan ini, perasaan yang seharusnya tidak lebih dulu muncul di usia kami yang masih belia.

“Mbak sudah izin sama pak kiyai dan Bu nyai?”

“Sudah kok, tadi pagi pas kamu lagi di kelas.” Sahutnya yang kembali melanjutkan kegiatannya.

Aku membantunya merapikan pakaian yang masih tersisa di dalam lemarinya, kemudian mbak Aish mengambil sebuah jilbab berwarna dasar merah muda dengan motif garis-garis putih membentuk pola kelopak bunga dengan jumlah banyak, jika di lihat dari kejauhan motif bunga ini seperti tidak terlihat, tapi jika kita mengamatinya dari dekat, motif bunga mawar ini sangat cantik.

“Simpan ini sebagai kenang-kenangan ya, supaya kamu gak lupa sama mbak.” Ucapnya dengan senyuman manis yang biasa terhias di wajahnya.

“gak lupa? Memangnya setelah menikah mbak gak tinggal di rumah ibu dan bapak?” tanyaku heran.

“mbak kan sudah bilang, mbak gak akan hidup merepotkan pakde dan bude, mbak akan ikut suami mbak kelak, dan kebetulan beliau  memiliki usaha sendiri di Makassar, jadi nanti mbak akan ikut tinggal di sana.”

“Apa? Makassar? Yah, kita jadi beda pulau dong mbak.” Sahutku yang langsung murung.

“Ya, makanya itu kamu jangan lupain mbak ya, jilbab itu akan selalu bikin kamu inget selalu sama mbak.”

“Iya mbak, pasti,” ucapku sambil melebarkan senyumku ke arahnya, “oh iya, mbak sekarang pulang sendiri?”

“Enggak, sebentar lagi pakde jemput, sekalian mau mampir ke pasar dulu buat belanja bahan masakan untuk suguhan tamu nanti malam.”

“Oh gitu, aku doakan semoga semuanya lancar, dan mbak dapat suami yang baik, saleh, perhatian, pokoknya bikin mbak bahagia dunia dan akhirat.” Ucapku yang kemudian memeluk wanita yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.

“Amin....” sahutnya sambil mengusap lenganku dengan lembut.

“tapi aku tinggal sendiri dong di sini, sedih banget.” Ucapku murung.

“Gapapa, nanti kalau ada santri baru yang gak kebagian kamar di asrama lagi tinggal di sini sama kamu, jadi sekarang kamu sudah bisa bimbing Junior kamu.”

“Mbak, bisa aja, tapi aku gak akan mungkin bisa sebaik dan sebijak mbak, mbak itu bukan hanya sekedar guru buat aku, tapi juga bagai malaikat yang Allah kirim untuk menuntunku menuju perubahan yang baik seperti sekarang ini.”

“Mbak tidak sebaik yang kamu kira, dan kamu tidak seburuk yang kamu katakan, setiap manusia punya porsi kebaikan dan keburukannya masing-masing... ya sudah Mbak pamit sekarang ya, kayaknya pakde udah nunggu di depan.” Pamitnya yang langsung bangkit sambil mengangkat tas besar miliknya yang sudah terisi penuh oleh barang-barang pribadinya.

“iya mbak, tapi maaf ya aku gak bisa ikut nganterin ke depan, soalnya sekarang jadwal setrika pakaian santri.”

“Iya gapapa, mbak pamit ya, Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumussalam”

Dengan berat hati aku merelakan kepergian orang yang selama ini selalu menamani suka dukaku di tempat ini, tanpa terasa air mata ini terjatuh membasahi pipi, memang berat rasanya jika merasakan kehilangan seseorang yang amat kita sayangi, biarpun nantinya jika aku sudah menjadi anggota keluarganya, tetap saja aku tidak akan sering bertemu dengannya karena ia akan pergi jauh dari Magelang.

Lagi-lagi aku merasa sendiri, setelah bahagiaku perlahan pudar dengan kepergian mama untuk selamanya,  lalu papa yang menghilang tanpa kabar, dan kini aku di tinggalkan oleh rekan satu tempat tinggalku di sini, apa memang aku takdirnya untuk hidup sendiri? Menata kehidupan tanpa di temani orang lain? Tapi semua ketakutan itu dapat aku tepis dengan kenyataan, bahwa aku telah memiliki cinta yang juga di miliki oleh pria yang ku cintai, jika ragaku di takdirkan untuk menyendiri, tapi tidak dengan hatiku.

Dan aku hanya di tuntut untuk sabar menanti kebahagiaan yang selama ini aku nanti, selangkah lagi aku tidak akan hidup menyendiri lagi, aku akan hidup bersama pria yang akan memberiku kehidupan yang lebih indah dari hidupku sebelumnya.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang