Bab 29 - Sebuah pengkhianatan

105 14 18
                                    

Hari ini kegiatan belajar di kelas sementara di liburkan, karena seluruh santri di Perintahkan oleh pak kiyai dan Bu nyai untuk bergotong royong membersihkan seluruh area pondok pesantren karena lusa sudah memasuki bulan suci Ramadhan, sehingga bukan hanya hati yang di persiapkan kebersihannya tapi lingkungan sekitar pondok pesantren juga.

Dan ketika memasuki bulan suci Ramadhan nanti kegiatan mengaji akan lebih padat lagi sehingga mungkin aku tidak memiliki banyak waktu menyendiri di tepi danau untuk sekedar menuliskan seluruh isi hatiku pada buku diary.

Namun, ada satu yang yang membuatku sedikit tidak bersemangat menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan ini, alasannya karena sudah empat hari sejak aku menitipkan surat untuk mas Fajar melalui mbak Aish tapi belum mendapat balasan darinya.

“Mbak, mas Fajar kok belum balas surat aku ya? Mbak udah pastiin kan surat itu di terima mas Fajar?” Tanyaku yang sudah semakin merasa cemas.

“Sudah Hana, kan mbak sendiri yang kasih surat itu ke Fajar, malah mbak juga bilang ke dia bahwa kamu gak pernah nerima lamaran ustad Iqbal, mungkin dia belum sempat balas, kamu tunggu saja Hana.”

“Tapi gimana kalau gak di bales sama dia? Aku takut mas Fajar udah ga percaya lagi sama aku.”

Mbak Aish pun mendekat dan memeluk tubuhku sehingga kepalaku di jatuhkan dan bersandar di bahunya, “Kamu tenang ya, di tanggal 28 Ramadhan nanti seluruh santri di liburkan selama satu minggu, jadi lebaran nanti kamu bisa ketemu sama Fajar dan meluruskan semuanya.”

“Tapi kan masih lama mbak.”

“Sabar Hana, kalau kalian berjodoh Allah juga gak akan bikin kalian jauh kok.”

Beruntungnya aku bisa dekat dengan saudara dari pria yang ku cintai, apalagi Mbak Aish sangat peduli padaku dan perasaanku, sehingga aku tidak pernah merasa sendiri di kala sedihku bahkan ketika teman-teman menjauhiku.

Hari-hari selama Ramadhan ku lalui dengan sedikit rasa semangat, karena aku belum juga mendapat jawaban dari mas Fajar apakah ia sudah memaafkanku atau tidak, tapi apa benar mas Fajar sengaja tidak membalas surat dariku? Jika hal itu benar terjadi, apa mungkin perasaannya sudah hilang terhadapku?

Sekitar pukul 11 siang, dimana kebanyakan santri memanfaatkan waktu istirahat sebelum masuk waktu zuhur untuk tidur siang, aku malah pergi mengunjungi tepi danau di taman pondok pesantren, dalam hati kecilku ada sebuah harapan bahwa aku akan menemukan mas Fajar yang berada di seberang sana, tapi nyatanya aku tidak menemukan siapa pun di tempat ini.

Mataku terus saja tertuju pada objek yang ada di seberangku, rasanya sunyi, hanya terasa embusan angin dari arah timur dan permukaan air danau yang tenang menambah suasana di tempat ini semakin sunyi, tidak ada suara bising yang menyertainya.

Namun tak lama, terdengar suara klakson mobil yang cukup menarik perhatianku untuk menoleh ke arah sumber suara itu.

Aku melihat pak kiyai dan Bu nyai keluar dari dalam mobil itu, tapi ada sebuah pemandangan yang cukup menarik perhatianku, seorang gadis yang mungkin usianya tidak jauh dariku yang juga ikut keluar dari dalam mobil itu. Dia terlihat sangat cantik, anggun dan menarik di lihatnya.

Betapa terkejutnya aku, ketika melihat seorang keluar dari pintu depan sebelah kanan yang ternyata dia adalah mas Fajar, dalam benakku muncul sebuah pertanyaan, ‘bagaimana bisa mas Fajar ditugaskan mengendarai kendaraan pak kiyai karena yang ku tahu biasanya bukan dia’.

Karena rasa penasaran ini muncul, aku pun berjalan lebih mendekat ke arah parkiran halaman depan, aku berharap dapat menemukan jawaban atas apa yang aku pertanyaan.

“Masya Allah ning Nabila makin cantik banget ya, cocok banget deh sama mas Fajar.” Ucap seseorang yang ku kenali suaranya.

Aku menoleh ke arah belakang dan sedikit terkejut bahwa itu adalah Nisa, tapi mana Salwa? Lagi-lagi aku bertemu dengan dia tanpa bersama Salwa.

“Maksud kamu apa Nis?” tanyaku yang merasa bingung.

“Memangnya kamu belum tahu, kalau pak kiyai sama Bu nyai itu mau menjodohkan ning Nabila dan mas Fajar, buktinya pak kiyai minta bantuan mas Fajar buat jemput ning Nabila dari bandara yang baru pulang dari Mesir, itu karena pak kiyai mau bikin mas Fajar dan ning Nabila semakin dekat.”

Rasanya seperti terkena sambaran petir ketika mendengar perkataan Nisa, tubuhku melemas, jantungku berdegup semakin kencang, suhu tubuhku memanas seperti akan keluar keringat.

“Di jodohkan?” ucapku memastikan.

“Iya, anak-anak pak kiyai itu pasti di jodohkan sama santri lulusan dari pondok pesantren ini yang paling berprestasi, mungkin mas Fajar yang terpilih untuk anak bungsunya, karena anak sulung pak kiyai, ning Aulia juga di nikahkan dengan santri lulusan dari sini yang paling berprestasi, beruntung banget ya mas Fajar nanti akan jadi menantu pimpinan besar pondok pesantren Darussalam dan meneruskan sebagai pemimpin di sini.”

“Hah!” nafasku mulai sesak, aku tak tahu lagi harus berkata apa karena Nisa sudah menjelaskan semuanya. Kemudian ia pun pergi tanpa aku sadari, aku masih berdiri mematung di sini dengan masih perlahan mencerna perkataan dari Nisa.

Apakah benar mas Fajar akan di jodohkan dengan putri bungsu pak kiyai? Dan benarkah dia menerima tawaran itu? Walaupun memang alasan utamanya tidak bisa menentang permintaan pak kiyai, tapi apa mungkin dia berani mengkhianati cintaku?

Apa mungkin ini alasan dia tidak membalas suratku? Apa ia sudah tidak memiliki perasaan apa pun padaku karena telah memiliki wanita lain di hatinya? Jika memang hal itu benar, aku sungguh sangat tidak menyangka.

Bagaimana bisa dia mengkhianatiku? Karena yang ku tahu selama ini dia yang sering merasa takut jika aku akan mengkhianatinya, tapi mengapa kenyataannya malah sebaliknya?

Air mataku menetes dan semakin lama semakin deras, dada ini rasanya semakin sesak dan sungguh sangat menyakitkan.

Aku menatap ke atas langit, dengan berharap Allah menurunkan mama kembali ke bumi dan berada di hadapanku untuk ku peluk erat tubuhnya saat ini.

Ma, aku butuh mama. Aku rindu mama. Aku mau di peluk mama.

Suara adzan terdengar lembut menyapa ke gendang telingaku, membuatku tersadar bahwa aku tidak boleh berlama-lama di sini dan segera mempersiapkan diri untuk pergi menuju mushola untuk melaksanakan shalat zuhur berjamaah.

Ya Allah, beginikah rasanya sakit hati yang amat mendalam? Hingga aku seperti kehilangan separuh ragaku yang membuat diri ini tak sanggup berbuat apa pun.

Untuk pertama kalinya aku sujud di hadapan sang maha pencipta dengan berlinang air mata, setelah sekian lama aku merasa sesakit ini setelah kepergian mama.

Ya, dulu memang sedihku tidak ku tuangkan dengan mengadu pada sang pencipta, karena aku sadar dulu aku sangat jauh dari yang maha memberi kehidupan di dunia ini.

Apakah ini hukuman atas dosa yang ku perbuat selama ini? Apakah ini imbas dariku yang selama ini lupa pada agamaku? Jika memang ini benar, aku hanya minta agar selalu di beri kekuatan agar hati ini dapat menerima kenyataan.

Kini, impian sudah musnah seketika, cinta yang ku bayangkan akan berakhir bahagia dengan pria yang ku cintai ternyata sudah ia hancurkan tanpa memberikan sebuah alasan.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang