Bab 38 - hanya perihal waktu

105 14 23
                                    

“Maaf mbak, kalau boleh, saya mau ajak Hana ke rumah saya ya? Soalnya adik saya sering nanyain.” Tanya mas Fajar ketika ia meminta izin pada mbak Wulan sebelum kita sampai di kota Magelang.

Wanita yang kini sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri itu pun menatap ke arahku seolah-olah ia pun meminta persetujuan dariku, “kalau saya terserah non Hana aja.”

“Mbak, sekarang jangan panggil aku ‘non’ lagi ya, sekarang kan mbak gak kerja sama papa.

“Tapi non-“

Aku meraih tangannya sambil membuat lekukan sabit di bibirku, “anggap sekarang aku adik mbak ya, sekarang di antara kira tidak ada perbedaan status, bahkan sekarang aku lebih gak punya apa-apa di banding mbak, sekarang aku bukan Hana yang dulu lagi, jadi panggil Hana aja ya.”

Wanita itu pun mengangguk sambil tersenyum, dan tanpa terasa kami sudah sampai di depan rumah mbak Wulan dan membiarkannya pergi masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku, tetap berada di dalam mobil karena perjalanan menuju rumah mas Fajar masih cukup jauh.

Sebelum menuju rumahnya, mas Fajar membawaku ke rumah pak kades untuk mengembalikan mobil yang telah kami pinjam, ternyata sebelum meminjam dan ketika mengembalikannya pun mas Fajar berkali-kali memberikan beberapa lembar uang pada pak kades sebagai biaya sewa, tapi tetap saja pak kades bersikeras menolaknya karena ia sangat tidak keberatan jika mas Fajar meminjamnya untuk kepentingan yang darurat. Beruntung aku tidak melihat keberadaan Karim di rumah ini, sehingga kami tidak perlu berlama-lama di sini dan mas Fajar pun segera mengajakku berjalan kaki menuju rumahnya, tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 300 meter dari rumah pak kades.

Setibanya kami berdua di rumah, aku menghampiri keluarganya yang masih berkumpul dan bersalaman meminta maaf karena masih dalam suasana lebaran, bahkan setiap tahunnya aku tidak pernah merasa terharu ketika momen ini, tapi untuk pertama kalinya aku menitikan air mata ketika aku mendapat pelukan hangat dari ibunya mas Fajar. Entah mengapa aku belum pernah merasakan ini sebelumnya bahkan pada mama sekali pun.

“Yang sabar ya nduk, insya Allah semua cobaan yang kamu alami ini akan menjadi jalan di tinggikan derajatmu oleh Allah.” Ucap wanita yang kini aku di perintahkan olehnya dan mas Fajar menganggap dirinya sebagai ibuku sendiri.

“Makasih ya Bu, kalian sudah banyak banget baik sama aku, aku gak tahu lagi harus balasnya bagaimana.”

“jangan berpikir seperti itu Hana, sekarang anggap saja kami keluargamu ya, kami akan selalu ada untuk kamu.” Kali ini mbak Aish ikut menanggapi yang membuatku kini kembali tersenyum.

Hanya sekitar 10 menit kami larut dalam haru ini, dan setelah itu aku di persiapkan untuk duduk di atas sofa sambil menikmati beberapa jenis kue lebaran yang di sediakan oleh ibu. Kesedihan beberapa waktu lalu kini berubah menjadi suka cita, tentunya karena si gadis kecil Zira yang tingkahnya selalu membuat aku tertawa.

Namun, aku merasa ada yang aneh pada sikap dari bapaknya mas Fajar, ia tampak serius menatap ke arahku sehingga tiba-tiba saja ia menarik tangan mas Fajar dan mengajaknya berbicara di tempat lain. Harusnya aku tidak terlalu mengkhawatirkan masalah itu, mungkin saja ada hal lain yang akan mereka berdua bicarakan yang tentunya orang asing sepertiku tidak seharusnya ingin tahu persoalan itu.

Dan setelah mereka selesai berbicara, akhirnya mereka berdua kembali dan ikut kumpul bersama kami di ruangan ini, “Hana, apa kamu benar-benar mencintai anak saya, Fajar?”

Sebuah pertanyaan yang mudah menemukan jawabannya, tapi sangat terasa berat di ucapkan.

Mengapa bapak memberikan pertanyaan seperti itu? Ini memang pertanyaan yang wajar, dan aku pun bisa dengan mudahnya menjawab ‘iya’, tapi entah kenapa rasanya sangat berat karena yang memberikan pertanyaan itu adalah orang tuanya dan di saksikan oleh seluruh anggota keluarganya.

Jantungku seolah tak berhenti berdetak, bahkan rasanya semakin kencang, aku menatap ke arah mas Fajar yang ternyata ia menghela nafas dalam-dalam kemudian mengedipkan kedua matanya ke arahku, lalu aku menoleh ke arah mbak Aish, ia pun melakukan hal yang sama seperti mas Fajar sambil menggenggam erat jari-jemariku.

“i-iya pak.” Sahutku gugup.

“Dan benar kamu akan menunggu Fajar membangun sebuah usaha sampai dia punya penghasilan sendiri agar siap melamarmu?” tanyanya lagi, dan kini aku hanya mengangguk.

“Maaf ya Hana, saya tidak ada maksud apa pun, perihal hubungan antara kalian berdua saya pasrahkan semuanya pada putra saya, saya yakin pilihannya ada keputusan yang terbaik baginya. Tapi masalahnya, kita berasal dari keluarga yang sederhana, kami tidak memiliki harta yang berlimpah, Fajar belum bisa menjanjikan kehidupan mewah untuk kamu nanti.”

“Pak, Bu. Bagi saya saat ini bukan harta kekayaan yang jadi tujuan kehidupan saya, tapi kasih sayang yang tulus dari seseorang yang saya kasihi juga, hidup saya sudah terbiasa berada dalam kesederhanaan, bahkan sekarang saya sudah tidak punya apa-apa lagi, harta papa sudah habis dan papa pun sekarang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Saya sudah hidup sebatang kara.” Sahutku yang langsung menunduk kemudian ibu kembali merangkulku.

“Jangan berbicara seperti itu ya nduk, nantinya juga kamu akan jadi anak ibu dan bapak, setelah kalian menikah nanti kamu akan memiliki keluarga yang lengkap, ada ibu, bapak, mbak Aish dan adik-adik juga.”

“Ibu benar Hana, sekarang kamu jangan pernah merasa hidup sendiri lagi ya, kamu anggap kita adalah keluarga kamu, dan kalian terus berdoa agar kalian berjodoh dan kamu resmi menjadi bagian dari keluarga kami.”

Ucapan yang mbak Aish lontarkan itu seketika membuat haruku kembali hadir, ada sebuah luka yang kini terobati dengan obat yang sangat ampuh, aku tidak menyangka mereka sangat menerima kehadiranku dengan baik. Aku sempat mengira mendapatkan restu dari orang tua terkasihku akan terasa sulit, akan banyak rintangan yang harus aku hadapi, tapi ternyata tidak, mereka adalah sebuah anugerah terbaik yang Allah berikan padaku di seumur hidupku.

Dan kini, aku semakin yakin dengan hubungan antara aku dan mas Fajar, karena kami berdua sudah saling meyakini dan membuat janji untuk saling menjaga dan merawat hubungan ini dengan baik, tidak akan ada pengkhianatan di antara kami berdua, karena aku pun sudah meyakini diriku sendiri bahwa tidak akan ada pria lain yang aku cintai selain mas Fajar.

Dan semua ini hanya perihal waktu, kami berdua masih sama-sama menimba ilmu untuk masa depan nanti, tidak ada satu pun gangguan yang dapat merusak fokus belajar kami, terutama mas Fajar, ia akan lebih serius lagi menekuni keahlian menjahitnya, agar setelah lulus sekolah nanti dia dapat menjual produk pakaian hasil karyanya sendiri, dan itu akan menjadi awal mula perjalanan karir mas Fajar untuk mempersiapkan diri memulai hidup baru bersamaku setelah menikah nanti.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang