Bab 11 - gadis cantik dan sederhana

127 16 4
                                    

Pov fajar


Namaku fajar Abdullah, aku salah satu santri di pondok pesantren darussalam. Sudah hampir 2 tahun aku menimba ilmu di sana. Alasannya adalah karena aku ingin banyak belajar mengenai kitab suci Al-Qur’an,  Menjadi salah satu penghafalnya dan bisa mengamalkan dari isi yang ada di dalamnya.

Dari sejak awal aku masuk untuk belajar di sini, aku tidak sekalipun mencoba mencari kesenangan dengan sering menjahili santri putri yang berada di sini seperti temanku yang lain, karena tujuan ku di sini hanya untuk fokus belajar mengaji.

Alasan utamanya karena aku sangat bercita-cita ingin mengejar beasiswa untuk melanjutkan sekolah perguruan tinggi di Turki. Karena aku sadar aku lahir di keluarga yang sederhana membuat ku termotivasi agar tidak bergantung pada orang tua dalam hal mengejar apa yang aku inginkan.

Tidak seperti sahabatku, karim. Dia terkadang sering mendekati beberapa gadis cantik yang berada dalam lingkungan pondok pesantren maupun yang ada di kampung halaman kami. Terkadang aku sering menggelengkan kepala ketika melihat kelakuannya yang sering berkata kepada setiap wanita yang ia temui bahwa wanita itu adalah satu satunya wanita cantik yang pernah ia temui, padahal yang sebenarnya kalimat itu ia katakan pada semua wanitanya.

Bapakku hanya seorang tukang ojek becak yang sering mangkal di pasar tradisional. Dan ibu kadang sering menjual aneka kue basah setiap pagi sambil berkeliling kampung. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara, adikku malik yang masih berumur 10 tahun dan adik bungsu ku zira yang berumur 4 tahun.

Namun beberapa tahun lalu kakak dari bapak mengalami kecelakaan hebat bersama istri dan anak bungsunya yang menyebabkan mereka wafat. Dan mereka meninggalkan satu anak sulungnya yang bernama aisyah. Usianya 3 tahun di atasku, dan setelah itu bapak dan ibu memutuskan untuk membawa mbak aisyah tinggal bersama di rumah kami agar ia tidak merasa sendiri.

2 tahun lalu setelah mbak aish lulus dari pesantren, ibu dan bapak sempat menawarkan agar ia melanjutkan sekolah pada perguruan tinggi yang masih berada di kota Magelang. Namun mbak aish menolak,  alasannya ia sangat nyaman tinggal di pesantren dan akan mengabdikan diri menjadi khadimat sampai ia menikah nanti. Padahal alasan sebenarnya ia tidak ingin terlalu banyak merepotkan bapak dan ibu yang memiliki penghasilan pas-pasan.

Dan itu juga menjadi alasanku bersungguh sungguh belajar agar mendapat beasiswa, cita-cita ku memang sangat tinggi, namun aku tidak ingin menyusahkan kedua orang tua ku yang sampai saat ini sudah cukup jauh berkorban untuk pendidikan ku.

Suatu ketika, ketika aku selesai melaksanakan pengajian malam di mushola,  aku menemukan sebuah buku yang tergeletak di bawah pagar besi pembatas di luar pintu mushola. Tanpa sengaja aku melihat buku itu dalam posisi terbuka dan aku melihat sebuah foto gadis remaja yang di peluk oleh ibunya dengan penuh senyuman bahagia.

Aku merasa asing dengan wajah ini, jika pemilik buku ini adalah salah satu santri putri yang ada di sini. Aku rasa aku baru mengenalinya, atau memang karena aku belum mengenal seluruh santri yang berada di sini apalagi santri kelas satu.

Namun ketika aku menoleh ke semua arah, tiba-tiba saja aku melihat seorang gadis berkerudung hitam yang sedang berjalan tertunduk seperti mencari sesuatu. Sejenak aku memperhatikannya, dan ketika dia berbalik aku mendapati wajahnya yang ternyata sangat persis dengan foto yang ada pada buku ini.

Aku pun segera berjalan ke depan untuk menghampirinya, dan menyerahkan buku ini pada gadis itu melalui sela-sela pagar. “afwan ukhti, apa kamu sedang mencari buku ini?”.

Gadis itu langsung menoleh kepadaku dan mengambil buku ini, namun aku yang tidak terbiasa beradu pandang dengan lawan jenis yang bukan mahrom ku sedikit canggung dan memilih untuk menunduk.

“Buku ku? Ya itu buku ku”. Ucap gadis itu dengan sangat gembira.

“tadi saya temukan di lantai bawah pagar pembatas, dan saya lihat ukhti seperti sedang mencari sesuatu jadi saya pikir ukhti sedang mencari ini”.

“Oh iya, terima kasih sudah menemukan buku saya”. Ucapnya lagi sambil terus memeluk buku itu.

“sama sama, kalau begitu saya permisi, Assalamu’alaikum”. Ucapku yang langsung saja pergi tanpa menunggu jawaban salam dari gadis itu.

Awalnya aku merasa biasa saja. Namun ternyata ketika aku sampai di dalam kamarku entah dari mana munculnya aku melihat bayangan gadis itu hadir kembali saat aku mencoba menutup mata untuk tertidur.

Tidak. Bagaimana mungkin aku dapat mengingat kembali seseorang yang bahkan aku baru saja bertemu dengannya hanya sekali. Bahkan malam ini aku merasa tidak terlalu mengantuk karena bayangan gadis itu terus selalu saja hadir di pikiranku.


***


Ternyata bukan hanya di malam itu, hari selanjutnya pun aku kembali mendapati gadis itu yang sedang menyendiri di tepi danau jauh di seberang tempat aku bertepi namun masih dapat ku lihat. Ternyata dia juga punya kebiasaan sama sepertiku yang menghabiskan waktu istirahat belajar di tepi danau.

Terkadang hafalan ku sering buyar ketika tiba-tiba saja bayangannya muncul, namun karena karim selalu menggangguku membuat aku terpaksa harus menghilangkan bayangan gadis itu dan kembali fokus pada hafalanku.

Suatu hari, aku mendapat pemberitahuan dari pak kiyai bahwa nanti di hari minggu akan ada perlombaan tahfiz yang akan di adakan di Balai kota dengan mengirimkan beberapa peserta dari masing masing lembaga pendidikan pesantren. Dan aku terpilih sebagai perwakilan dari pesantren darussalam.

Pak kiyai berkata untuk acara nanti peserta di haruskan memakai pakaian berwarna biru muda, aku ingat bahwa aku memiliki kemeja lengan panjang berwarna itu namun saat ini masih berada di rumah.

Sehingga aku meminta izin kepada pak kiyai untuk mengambil baju itu di rumah pada hari libur mengaji yaitu hati jum’at, dan aku pulang setelah melaksanakan shalat jum’at bersama karim karena memang kita merupakan teman satu kampung.

Ketika aku sudah sampai di rumah, aku cukup merasa terkejut melihat gadis itu ternyata ada di rumahku. Aku baru tahu ternyata dia adalah santri baru pindahan dari jakarta yang sementara ini tinggal satu kamar bersama mbak aish karena ketersediaan kamar untuk para santri putri sedang penuh.

Aku tidak mengerti mengapa hari-hari ku selalu ada gadis ini, bahkan kini dia berada di dekatku.

Namanya Hana, nama yang sangat cantik seperti pemiliknya.

Aku cukup merasa senang ketika dia dekat dengan adik bungsuku, zira. Aku rasa dia memang menyukai anak kecil sama seperti ku, namun walaupun aku kini berada di dekatnya aku masih belum berani menatap lama gadis itu karena aku tidak memiliki keberanian yang besar, tidak seperti karim yang mempunyai keberanian menggoda wanita sekalipun baru ia temui.

Bahkan ketika kami melaksanakan makan bersama pun aku selalu diam tanpa bersuara, hanya karim, ibu, bapa dan mbak aish yang saling melempar candaan. Gadis itu pun ikut lebih banyak diam karena memang mungkin dia adalah tamu jadi  masih merasa canggung.

Menurutku, dia cantik, manis dan penyayang. Dapat ku lihat dari buku diary yang pernah ku temui beberapa hari yang lalu. Dia sangat menyayangi ibunya. Penampilannya pun sangat apa adanya, tidak berlebihan seperti anak kota pada umumnya.

Dan ketika dia dan mbak aish berpamitan akan kembali ke pesantren sebetulnya aku ingin menemui mereka di teras, namun lagi lagi aku tidak memiliki keberanian ketika berhadapan dengan gadis itu. Apalagi karim yang ternyata malah tertidur di kamar ku, membuat ku mengurungkan niat untuk keluar dari kamar ini sendirian.

Sungguh aku tidak bisa membohongi hati kecilku ini, gadis kota itu ternyata sudah cukup memikat hatiku. Dia sangat sederhana, namun dia mampu membuat hati kecil ku tersenyum bahkan tidak bisa merasa tertarik kepada siapa pun kecuali dirinya.


***


“bu, kami juga pamit kembali lagi ke pesantren ya”. Pamit ku pada ibu setelah hari sudah mulai gelap.

“ga sekalian nginep saja di rumah?”. Ledek ibu.

“masa nginep bu, orang aku izinnya aja Cuma sebentar, eh si karim ini malah ketiduran di kamar. Jadinya kita pulang kesorean”.

“ya, kapan lagi aku tidur nyenyak tanpa mikirin hafalan kan”. Ucap karim sambil menguap.

“Ya sudah kalian hati-hati ya, mau diantar sama bapak?”. Tawar ibu.

“Boleh bukle, jam segini angkot pasti udah ga ada iya kan?”. Ucap karim padaku.

“Itu sih memang kamu saja pengen yang gratisan”. Ketusku.

Karim hanya menyeringai dan bapak akhirnya muncul setelah dari kamar mandi.

“Ya sudah ayo bapak antar kalian”.

Akhirnya kami pun pergi kembali menuju pesantren dengan di antarkan oleh bapak menggunakan becak, dan ketika aku menduduki kursi ini aku mencium aroma parfum wanita yang sangat wangi, aku yakin ini adalah aroma parfum milik gadis itu, karena aku tahu kalau mbak aish tidak suka memakai parfum.

Dalam hati kecil ku tersenyum, aku senang dapat menghirup aroma wangi gadis itu, entah kenapa perasaan bahagia ini sering muncul ketika mengingat sesuatu hal tentangnya.

Apakah ini rasanya jatuh cinta seperti yang sering karim ceritakan padaku? Sebelumnya aku tidak pernah merasakan ini pada siapa pun, bahkan aku tidak pernah merasa tertarik pada wanita mana pun, tetapi dengan gadis yang baru aku kenal itu rasanya berbeda. Ada rasa bahagia yang selalu aku rasakan akhir akhir ini hingga membangkitkan semangat belajar ku setiap harinya.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang