Bab 45 - malaikat penolong

115 14 11
                                    

“Assalamualaikum, Hana, kamu di panggil bu nyai, suruh ke ruangannya sekarang.” Ucap Intan ketika aku mempersilahkan masuk ke dalam kamarku.

“Iya, nanti aku ke sana ya, terima kasih.” Sahutku dengan membuat lekukan sabit di bibir pada teman satu angkatanku.

Ada sebuah kekhawatiran ketika aku akan menemui bu nyai kali ini, alasannya karena aku belum membayar uang semester akhir dan biaya lainnya yang menyangkut kelulusanku yang akan di laksanakan 2 minggu mendatang.

Bu nyai pasti akan menanyakan soal itu, bagaimana sekarang? Padahal sudah aku usahakan untuk menghemat agar uang hasil menjual perhiasanku cukup sampai aku lulus, ternyata aku tidak mampu membayar biaya kelulusanku karena tabunganku sudah semakin menipis.

Dengan langkah yang cukup berat, aku tetap berjalan menuju ruangan pemilik yayasan, “Assalamualaikum. Ucapku sambil membuka daun pintu ruangan ini.

“Wa’alaikumussalam, silahkan masuk Hana.” Sahut bu nyai.

Ternyata di dalamnya sudah ada mbak Wulan, sudah hampir dua bulan dia tidak menjengukku karena kesibukannya berdagang dan ibunya yang mulai sakit-sakitan sehingga ia tidak memiliki waktu luang untuk datang kesini, aku pun segera mendekat ke arahnya sambil mencium punggung tangan mbak wulan.

“Mbak Apa kabar? Keluarga di rumah sehat semua kan?”.

“Alhamdulillah sehat Hana.” Ucapnya dengan senyuman hangat.

“Mbak tumben ketemu aku di sini? Kenapa gak di halaman pesantren aja?” tanyaku berbisik karena sedikit canggung ketika obrolan kami di dengar oleh Bu nyai.

Mbak Wulan hanya diam, kemudian bu nyai berjalan mendekat ke tempat kami duduk sambil membawa beberapa lembar berkas penting,  “silahkan di tanda tangan, bu.”

Aku menatap heran ke arah bu nyai lalu beralih pada mbak Wulan, “maaf bu, ini tanda tangan apa ya?”. Tanyaku penasaran.

“Ini tanda tangan pelunasan biaya kelulusan kamu, bu Wulan bilang orang tua kamu sudah menyerahkan tanggung jawabnya pada bu Wulan ini.” Jelas bu nyai yang masih membuat otakku masih di selimut beberapa pertanyaan tentang ini.

“Maksud ibu, biaya kelulusan saya sudah selesai semua?”. Tanyaku memastikan.

“Betul Hana, barusan bu Wulan sudah membayar semuanya, kamu yang fokus belajarnya ya, semoga nilai kamu nanti memuaskan.”

Setelah semua proses tanda tangan berkas itu selesai, aku dan mbak Wulan berpamitan untuk keluar dari ruangan ini, kemudian aku mengajaknya kembali berbicara di sebuah kursi taman dekat gedung pesantren.

“Mbak kenapa bayarin semua biaya aku? Mbak pasti bohong kan ke bu nyai soal papa yang suruh mbak bayar semua ini?” Tanyaku dengan menatapnya serius.

“Maafin mbak ya, mbak Cuma gak mau ceritain hal yang sebenarnya soal bapak ke bu nyai.”

“Tapi aku jadi repotin mbak, harusnya mbak jangan bayarin semua itu, pasti biayanya besar kan?”.

Ia meraih tanganku sambil mengusap punggung tangan, “alhamdulillah mbak punya sedikit rezeki, cukup untuk membayar semua ini, yang terpenting kamu bisa lulus dari sini tanpa tunggakan biaya apa pun.”

Tanpa terasa air mata ini hadir, kelopak mata dan bibirku bergetar, ketika urusanku terasa sangat rumit akan keuangan yang semakin menipis, ternyata Allah kirimkan malaikat penolong yang sangat dengan ikhlas membantuku, padahal yang kutahu ia tidak terlalu memiliki harta yang berlimpah, tapi ia pasti sengaja menyisihkan uang untuk membantu biaya sekolah pesantrenku di akhir, sungguh ini pertolongan dari sang maha kuasa pada waktu yang tepat.

“Terima kasih ya mbak, aku janji akan mengganti semua uang yang sudah mbak keluarkan untuk biayaku selama di pesantren.”

“Jangan Hana, mbak ikhlas, kamu sudah seperti adik mbak sendiri, jadi kamu jangan mikir kayak gitu lagi ya.” Ucapnya yang sangat membuatku merasa lega hingga akhirnya aku memeluk tubuhnya dengan erat dan dengan air mata kebahagiaan yang tumpah pada pelukan ini.


***


Setelah semua proses ujian akhir sekolah telah kulalui, beserta ujian praktik di pesantren yang cukup membuat aku serta teman-teman satu angkatanku merasa lega, akhirnya kami merayakan semua ini dengan acara perpisahan yang sangat mengesankan, dan terakhir, aku dapat menghafal 20 juz al-qur’an saat ini, sebuah pencapaian terbesar bagiku karena tidak pernah terbesit dalam benakku jika aku akan menguasai kitab suci Al-Qur’an selama ini.

Aku tidak pernah berharap menjadi santri lulusan terbaik tahun ini, karena aku sadar masih banyak mereka yang memiliki kemampuan di atasku, sehingga aku merasa cukup dengan prestasi yang kudapat saat ini.
Semua anggota keluarga mbak Wulan hadir pada acara ini, aku sangat merasa senang serta bersyukur karena aku tidak kehilangan peran orang tua serta keluarga, justru aku menemukan kesempurnaan di keluarga ini, dan tentunya mas Fajar menyempatkan diri untuk ikut hadir pada acara ini, tentunya hal itu membuat rindu yang telah lama menggebu akhirnya tercurahkan pada sang pemilik hati.

“Selamat ya, alhamdulillah sekarang kamu sudah lulus dengan nilai yang baik.” Sapanya ketika menghampiriku dengan kedua tangan yang ia sembunyikan di balik tubuhnya.

Aku menampakkan barisan gigi dengan pipi yang mulai terlihat kemerahan yang mendefinisikan sebuah kebahagiaan, “alhamdulillah, terima kasih ya mas, kamu sudah menyempatkan hadir.”

“Sama-sama,” kemudian ia menunjukkan sesuatu yang ia sembunyikan di balik tubuhnya itu, “untuk kamu.”

Aku melebarkan pandangan mata dengan sempurna, kemudian kedua mata ini mulai berkilaun ketika menerima hadiah yang mas Fajar berikan padaku saat ini, sebuah buket bunga mawar berwarna merah muda yang sangat cantik, ini sangat indah, apalagi yang memberikannya adalah orang terkasih, sungguh kalaupun hanya sekedar satu helai daunnya saja pun aku sangat merasa bahagia.

“Buat aku?” Aku melengkungkan garis bibirku ke bawah.

“Siapa bilang? Ini buat mbak Wulan.” Ucapnya sambil menarik kembali buket bunga itu.

Ekspresi wajahku seketika berubah, kini senyumanku tiba-tiba saja menghilang, “kok mbak Wulan?” sahutku sedikit murung.

“ya kamu pake nanya lagi, kan udah di bilang dari pertama ini buat kamu”. Ia kembali menyerahkan buket bunga itu padaku.

“kan Cuma mastiin.” lalu aku pun segera meraih benda itu dari tangannya.

Setelah acara ini selesai, mas Fajar meminta izin pada mbak Wulan untuk ikut berkunjung ke rumahnya, karena ia akan mengatakan sesuatu hal penting, sebetulnya aku sudah tahu maksudnya, karena memang aku belum menceritakan perihal mas Fajar akan segera menikahiku setelah aku lulus dari pesantren ini, dan setelah mbak Wulan menyetujui, akhirnya kami pulang bersama menuju rumah mbak Wulan.

“Saya mohon maaf jika maksud keinginan saya terdengar sangat buru-buru, tapi saya meminta izin pada mbak Wulan dan mas sebagai orang tua Hana saat ini, untuk merestui hubungan kami berdua, karena saya ingin menikahi Hana secepatnya.” Jelasnya dengan sangat tegas hingga membuat hatiku kembali berbunga-bunga walau pun aku sudah mengetahui ia akan mengatakan hal ini.

Tentunya mbak Wulan pun terlihat sangat senang dengan permintaan dari mas Fajar, kedua matanya berlinang seolah-olah ia akan menangis saat itu juga, “ saya serahkan semuanya sama Hana, karena dia yang akan menjalani kehidupan rumah tangga ini, saya hanya mendoakan saja untuk kalian agar selalu di berikan kemudahan oleh Allah dalam mencapai keinginan kalian berdua.”

“Ammiin.. insya Allah mbak, saya tidak berjanji tapi saya akan terus berusaha untuk selalu membuat Hana bahagia bersama saya.”

“Alhamdulillah,  jadi kapan kamu siap melamar Hana?” .

“Doakan secepatnya ya mbak, mas, saat ini saya sedang mengembangkan bisnis produksi pakaian muslim saya, beberapa hari yang lalu saya mendapat penawaran dari investor untuk membuat pabrik dan membuka butik untuk penjualannya, saya mohon doanya agar semuanya lancar, jika pabrik dan butik saya sudah mulai berjalan, insya Allah saya langsung menikahi Hana, paling lama 3 bulan ke depan.”

“Masya Allah, kamu memang sangat berjuang untuk mempersunting Hana ya.” Ucap mbak Wulan dengan rona wajah bahagia.

“Alhamdulillah, saya hanya ingin memberikan kehidupan yang baik untuk wanita yang saya cintai.” Seketika pandangan matanya berpindah ke arahku, hingga membuatku sedikit tersipu.

“3 bulan bukan waktu yang lama mas, aku siap menunggu kamu sampai waktu itu tiba.” Sahutku tersenyum padanya.

Rasanya waktu sangat cepat berlalu, baru kemarin ia menjanjikan akan menikahiku 5 tahun mendatang, tapi kini ternyata hanya 3 bulan waktu itu akan tiba, tidak masalah bagiku, karena selama menunggu aku akan membantu mbak Wulan berjualan sebagai balasan atas semua kebaikannya terhadapku selama ini, dan pastinya aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk mas Fajar agar setiap langkah yang akan ia tempuh akan selalu mendapat kemudahan serta keberkahan dari sang khalik.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang