Kurang lebih 4 bulan telah berlalu aku berada di dalam lingkungan pondok pesantren ini. Suka duka telah semua aku lalui, ketika aku pernah merasakan sakit demam hingga harus izin tidak ikut kegiatan mengaji, ketika jari tanganku terluka terkena pisau saat membantu mbak aish memasak hingga hari hari ku yang penuh dengan cerita tentang keindahan mas fajar membuat warna baru di hidupku saat ini.
Besok adalah hari pertama ujian akhir semester, untuk pertama kalinya aku mengikutinya. Aku dan seluruh santri di pesantren ini sama-sama giat belajar agar kami dapat melaksanakan ujian ini dengan baik. Bukan tanpa alasan, karena kami ingin mendapatkan nilai terbaik dan membuat orang tua kami bangga. Dan satu hal lagi yang membuat kita sangat bersemangat adalah karena sebentar lagi libur semester akhir selama 2 minggu, tentunya hal ini yang semua santri nantikan karena kami akan pulang ke rumah masing-masing dan melampiaskan rindu pada seluruh keluarga.
Dan di hari terakhir akan ada ujian hafalan yang harus disetorkan setiap santri pada ustadz dan ustadzah pengawas minimal satu juz yang sudah mereka hafalkan selama dua semester ini. Dan aku? Alhamdulillah kini aku telah menghafal satu juz ‘amma penuh. Walaupun pelafalan ayatku belum fasih sempurna tapi setidaknya hafalanku sudah sangat baik, itu kata mbak aish.
Karena selama ini aku sangat giat belajar bersama mbak aish ketika kita sedang bersantai di dalam kamar, faktor lainnya juga karena aku ingin seperti mas fajar yang ternyata kini ia sudah menguasai hafalan sebanyak 25 juz, padahal tahun ini ia baru naik kelas 3. Tapi dia sangat hebat.
Ya, aku memang salah mematokkan alasan menghafal al-qur’an karena seorang pria yang bukan mahrom ku. Namun menurutku ini bukan salah besar jika mengarah pada suatu kebaikan.
Hari demi hari telah ku lalui selama kegiatan ujian akhir semester ini berjalan. Dan terakhir, akhirnya aku selesai menyetor hafalan ku pada ustadzah nada dengan perasaan penuh kelegaan.
“masya allah hana, ibu salut sama kamu, kamu bisa menghafal juz ‘amma dengan baik dalam waktu kurang dari satu semester. Kamu hebat hana”. Pujinya.
“syukron bu ustadzah”. Ucapku sambil membungkukkan badan. “saya juga tidak akan pernah seperti ini jika ibu tidak sungguh sungguh menuntun saya belajar menghafal ayat al-qur’an”.
“tapi saya hanya mengajari sepintas saja, sewajarnya seperti pada santri yang lainnya. selebihnya karena kamu yang gigih belajar, Selamat ya hana. Semoga di kelas dua nanti kamu lebih giat lagi menghafal agar lebih banyak lagi hafalan kamu ya”.
“insya allah bu ustadzah. Kalau begitu saya permisi keluar ya. Assalamu’alaikum”.
“baik hana. Wa’alaikumussalam”.
Di luar ruang ujian praktek ternyata salwa dan nisa sudah menungguku dan menyambut kedatanganku dengan senyum gembira. Bahkan mereka tak ragu berteriak memanggil namaku sambil melompat lompat dan melambaikan tangan. Karena memang umumnya para gadis melakukan hal serupa jika bertemu dengan sahabatnya bukan?. Lagi pula wilayah kami khusus santri putri, guru pembimbing nya pun hanya ada ustadzah saja. Jadi tidak masalah jika kami bertingkat konyol seperti ini karena tidak ada pria di lingkungan ini yang mengharuskan kami menjaga adab dengan keberadaannya.
Aku pun berlari menghampiri mereka dengan gembira dan langsung memeluk keduanya. “alhamdulillah akhirnya semua ujian selesai dan ujian hafalan juga udah beres, aku merasa lega”.
“alhamdulillah ya hana, kita udah selesai belajar, ujian dan akhirnya kita akan libur yeeey”. Teriak salwa.
“hey, mana ada selesai belajar. Masih ada kelas dua, tiga, terus kuliah. Mana ada beres nya” ketus nisa.
“ya.. maksud aku kan sementara, setidaknya dua minggu ini kita bebas tanpa pusing belajar. Kita bisa jalan jalan Jajan di luar, Belanja. Pokoknya kita harus healing bertiga titik”. Sahut salwa.
“Emang kalian juga suka jalan jalan? Nge-mall gitu?”. Tanyaku.
“ya suka lah. Kan ada masnya salwa yang super ganteng dan kaya raya itu. Yang suka nganterin kita jalan jalan plus di jalanin juga. Pokoknya paling enak deh ngajak salwa main”. Ucap nisa meledek.
“itu mah emang maunya kamu aja kan biar bisa deket deket sama mas adam?”. Sahut salwa.
“Ya gapapa kan. Orang mas adam masih jomblo kok. Lagi pula mana ada yang ga naksir sama mas adam, seorang pengusaha muda kaya raya, ganteng pula. Sayangnya dia belum punya pacar, mungkin dia nunggu aku lulus sekolah dulu”. Ucap nisa dengan percaya diri.
“Idih, ga sudi ya aku punya kakak ipar kayak kamu”. Ucap salwa.
“Kita lihat aja nanti”. Ucap nisa yang menjulurkan lidah.
“Eh tapi kamu pasti pulang ke jakarta ya hana? Kita ga bisa main bareng dong”. Kali ini salwa berbicara padaku.
Ya, memang seharusnya setelah hari libur tiba semua santri pulang ke rumahnya masing-masing untuk melepas rindu bersama keluarga, saudara dan kampung halamannya. Namun dalam hatiku tidak sedikit pun keinginan untuk pulang ke rumah. Ya, bahkan aku lupa jika hari libur tiba pondok pesantren akan di kosongkan untuk santri.
Mungkin karena aku sudah terlalu nyaman tinggal di sini hingga aku pun lupa kemana aku harus pulang setelah ini? Rumah yang mewah itu, kota Jakarta yang penuh dengan kemoderenan dan gaya hidup yang mewah tidak membuat tumbuh rasa rindu yang membuatku ingin kembali ke sana. Justru lingkungan inilah yang menjadi tempat ternyaman yang membuat aku tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini walau pun sebentar.
Aku sudah muak dengan rumah yang kini sudah di kuasai oleh ibu tiri. Dengan lingkungan yang penuh persaingan. Tidak seperti di sini yang penuh dengan kasih sayang dan kebersamaan.
“Hana, kok bengong!”. Ucap salwa yang menepuk bahuku hingga membuatku sedikit terkejut.
“Eh iya kenapa?”.
“Kamu kenapa? Sakit?”.
“engga ko gapapa. Tenang aja hari libur aku ga pulang ke jakarta ko, aku pulang ke rumah susterku yang dekat alun alun kota”.
“wah, bagus dong. Jadi kita bisa main bertiga. Kapan-Kapan kita ajak mbak aish juga yah biar makin rame”. Ucap salwa.
“nah betul banget, aku setuju” sahut nisa.
“permisi hana, ada telepon untuk kamu. Katanya dari papamu”. Ucap sri yang merupakan teman sekalasku.
Papa? Bahkan aku sempat lupa bahwa aku masih memiliki orang tua. Karena sampai hampir 5 bulan ini papa tidak pernah mengunjungiku bahkan menelepon ku. Hanya ada mbak wulan yang selalu menenangkanku dengan selalu berkata ‘bapak sedang sibuk, tidak bisa di ganggu’.
Namun tetap saja aku pergi menuju ruang telepon dan segera menjawab panggilan dari papa dengan tanpa perasaan apa pun.
“Assalamu’alaikum, hana. Apa kabar kamu? Kamu sehat di sana?”.
“Wa’alaikumussalam, alhamdulillah hana sehat pa”.
“syukur kalau kamu sehat. Oh iya papa minta maaf ya besok papa ga bisa hadir di acara kenaikan kelas kamu. Tapi papa sudah suruh mbak wulan buat wakilin papa, soalnya malam ini papa harus terbang ke makassar buat nemuin calon rekan bisnis papa”.
“oh gitu. Iya gapapa pa”.
“oh iya, kamu kalau mau pulang nanti bareng sama mbak wulan saja ya. Nanti ada mama elis di rumah. Papa di nginep di makassar selama satu minggu kemungkinan”.
“Ga usah deh pa, aku pulang ke rumah mbak wulan saja.”.
“Oh begitu, ya sudah kamu baik baik ya di sana, Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikumussalam”.
Benar dugaanku. Papa tidak akan pernah mungkin menemui ku di sini, sekalipun dalam acara besar yang jelas jelas dia sudah di beri undangan resmi dari pesantren yang sengaja aku kirim lewat jasa pengiriman ekspedisi. Namun ia selalu memberikan alasan sibuk karena pekerjaannya yang membuatku semakin tidak menyukai dengan alasan itu.
Lagi pula aku tidak masalah jika acara besok wali ku adalah mbak wulan, dia sudah aku anggap seperti kakak ku sendiri. Karena hanya dia yang selalu menanyakan kabarku, mengkhawatirkan keadaanku dan selalu memberi perhatian padaku. Peran papa selama ini hanya memberikanku uang yang menurutnya sudah lebih dari cukup.
Dan keputusanku yang akan pergi tinggal di rumah mbak wulan selama libur sepertinya sudah tepat. Sampai kapan pun aku tidak akan sudah tinggal satu atap dengan ibu tiri. Walaupun di sana penuh dengan kehidupan yang mewah aku tak peduli. Karena kini aku sudah terbiasa dan merasa nyaman hidup dalam penuh kesederhanaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Ficção AdolescenteHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...