Bab 34 - Buka puasa pertama

114 14 53
                                    

Sekitar pukul 5 sore, mas Fajar kembali dari kebun bersama bapaknya dan karim, juga adik laki-lakinya yang baru pertama kali ini aku bertemu dengannya. Dia sangat mirip dengan mas Fajar, dari perawakannya tinggi sedikit berisi, bedanya mas Fajar sudah memiliki sedikit rambut yang tumbuh di atas bibir atas karena memang itu adalah Faktor hormon bagi pria yang mulai beranjak dewasa.

Ia juga sedikit pendiam, atau memang karena baru bertemu aku yang notabene-Nya orang asing dalam rumah ini.

Mereka datang dengan membawa buah pisang dan kelapa, sangat cocok di jadikan menu berbuka puasa karena ibu mas Fajar berencana akan membuat es kelapa muda dan kolak pisang yang sebagian buahnya akan di buat gorengan supaya memiliki banyak menu untuk di makan, biarpun begitu, ini hanyalah camilan sementara sebagai pengganjal sebelum nanti malam setelah shalat tarawih kita akan melaksanakan makan malam bersama.

Suara adzan telah berkumandang, dengan rasa bahagia kami menyambutnya sambil memanjatkan do’a syukur atas nikmat yang Allah berikan selama kami menjalankan ibadah puasa, hidangan yang sudah di sediakan di depan mata pun kami santap bersama dengan saling bergantian mengambil porsinya.

“Alhamdulillah buka puasa kali ini ramai ya, bapak berasa punya anak banyak.” Ucap bapak mas Fajar yang memecah kesunyian.

“Ya sudah bapak anggap ini semua anak bapak, banyak anak bukannya banyak rezeki juga kan, kecuali Karim tuh, nggak mungkin anak bapak kelakuannya kayak dia gitu.” Sambung ibu.

“Bukle jangan salah, orang seperti saya ini idaman semua orang tua, apalagi wanita.” Celetuk karim yang menatap ke arahku sambil menggerakkan kedua alisnya.

“Idaman wanita sampai sekarang belum punya pacar, Kariiim Kariiim.” Timpal bapak.

“stay halal bro.”

***

Setelah selesai melaksanakan buka puasa bersama, kami melaksanakan Shalat magrib berjamaah, walaupun rumah ini terlihat tidak terlalu besar, tapi mereka menyediakan sebuah ruangan khusus berukuran 6x3 meter yang hanya cukup jika di jadikan 3 shaf saja.

Seperti yang mbak Aish katakan, jika biasanya bapak yang meng-imami Shalat, kali ini mas Fajar yang menggantikannya ketika ia sudah berada di rumah, aku sangat merasa bahagia, karena untuk pertama kalinya Shalat-ku di pimpin oleh pria yang ku cintai, jika sekarang dia adalah imam Shalat-ku, aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi imam di kehidupanku setelah melepas masa lajang.

Ya Allah, maaf jika kali ini Shalat-ku tidak terlalu khusyuk, karena aku sangat terpukau mendengar lantunan ayat-Mu yang mengalun merdu berasal dari bibirnya. Hatiku bergetar, dan senyumku sulit untuk pudar. Sepanjang pelaksanaan ibadah ini, tak henti-hentinya aku memuji keindahan makhluk yang kau ciptakan dengan banyaknya kesempurnaan.

Seusai Shalat, dan berdoa, kami saling bersalaman sebagai penghormatan. Walaupun salaman aku dengan mas Fajar belum bisa bersentuhan tangan, tapi setidaknya hal ini dapat aku rasakan yang bahkan di pesantren tidak akan pernah terjadi hal seperti ini.

Dan untuk pertama kalinya, aku bisa bersama dalam satu ruangan bersama mas Fajar tanpa ada jarak, tidak ada pagar pembatas di sini, tidak ada larangan bagi santri putra dan putri saling bertukar opini.

Ia mengajak kami bermain kembang api di halaman rumah, karena Karim sengaja membelikannya untuk adik mas Fajar sebagai hiburan sebelum waktu untuk Shalat tarawih tiba, aku senang karena di rumah ini banyak warna kebahagiaan yang selalu tercipta, yang tidak pernah ku dapatkan setelah kepergian mama.

“kamu mau coba pegang ini?” ucap mas Fajar yang menyodorkan petasan besar ini ke arahku, tapi aku menolak dan menggelengkan kepala karena sesungguhnya aku sedikit merasa takut jika aku yang menyalakan petasan dengan tanganku sendiri.

“Gak usah mas, aku takut.”

“Gapapa, cobain dulu deh.” Paksanya yang menyerahkan petasan ini pada tanganku tapi ternyata tangannya pun tidak ia lepaskan sehingga kami memegang petasan ini bersama.

Duwaarrrrr....

Aku memalingkan wajah sambil menutup mata ketika petasan ini menyambar, dan setelah selesai mas Fajar pun Tertawa dengan lepas karena melihat tingkahku yang ternyata penakut, “sudah habis Hana.”

“Huh.. alhamdulillah.”

“Gak ada masalah kan?”

“Enggak sih, Cuma kaget aja kalau terlalu dekat.”

“mau coba lagi?”

Aku menggelengkan kepala sambil berjalan mundur mendekati Mbak Aish ketika mas Fajar menyodorkan lagi petasan kembang api yang lainnya.

“10 menit lagi masuk waktu isya, ayok kita pergi ke masjid.” Ajak ibu yang baru keluar dari rumah sambil mengaitkan lipatan mukena pada lengannya.

Kami pun merapikan peralatan bermain petasan ini, kemudian masuk ke dalam untuk mengambil peralatan Shalat yang kemudian mengikuti ibu dan bapak menuju masjid yang berada tak jauh dari rumah ini.

***

Ketika aku dan mbak Aish keluar dari masjid setelah selesai melaksanakan Shalat tarawih, aku melihat Nisa yang berlenggang jauh di hadapanku, aku pun menarik tangan mbak Aish dan memintanya untuk ikut mengejar Nisa agar ia tidak berada lebih jauh lagi.

“Nisa, tunggu!”

Namun ternyata Nisa yang menyadari keberadaanku, ia pun mempercepat langkah kakinya agar aku kesulitan mengejarnya. Dan ternyata, mas Fajar dan Karim yang entah timbul dari mana tiba-tiba muncul dan mencegat Nisa sehingga ia terpaksa berhenti melangkah.

“Jangan dulu pergi, Hana mau bicara sesuatu sama kamu.” Ucap mas Fajar dengan tegas.

Gadis itu menampakkan wajah ketakutannya, terlihat saat ia menatap wajah mas Fajar dan Karim yang diliputi rasa cemas, akhirnya aku dan mbak Aish dapat mendekat ke arah Nisa berdiri. Namun, belum sempat aku berbicara, Nisa langsung lebih dulu meraih tanganku sambil memohon.

“Maafin aku Hana, aku khilaf, aku mohon kamu jangan hukum aku.”

Aku melepaskan tanganku dari Nisa dengan pelan sambil mendongakkan wajahnya agar segera menatapku, “aku sudah maafin kamu Nis, kamu jangan takut ya, aku cuma mau bilang kamu jangan pernah jauhin aku, kita harus tetap berteman ya?”

“Dih, gampang banget maafin perempuan munafik kayak dia, harusnya kamu beri pelajaran dulu supaya dia kapok.” Ucap karim dengan wajah penuh kebencian, membuat Nisa semakin terpojokkan.

“Aku mohon Hana, maafin aku, aku yang gelap mata karena cemburu sama kamu yang deket sama mas Fajar.”

“Cemburu sih cemburu, tapi jangan fitnah orang juga, kamu tahu kan fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.” Tambah karim yang semakin merasa jengkel.

“Udah rim, gapapa. Setiap manusia pasti punya kesalahan, gak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tugas kita sekarang bagaimana caranya untuk berubah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

“Masya Allah, kamu baik banget Hana, aku salah besar sudah bikin hubungan kalian sempat hancur padahal mas Fajar memang sangat beruntung dapetin kamu.” Ucapnya menyesal.

“Jadi sekarang kita berteman lagi ya.” Ucapku sambil melengkungkan jari kelingking yang kemudian di sambut oleh Nisa dengan kembali tersenyum.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang