Bab 53 - tanpa penyesalan

50 12 10
                                    

"Aku antar kamu ke kantor polisi ya Hana." Ajak Samudra yang membuat tangisanku mulai berhenti.

Aku tidak langsung menurutinya, malah membalikkan badan dan menghadap ke arah ibu, dia tampak diam tak bersuara, namun raut wajahnya menggambarkan bahwa ia pun terkejut juga merasa kecewa, entah ia hanya merasa kecewa pada papa atau mungkin padaku juga.

"Bu.." tanganku bergerak meraih tangan ibu, namun ternyata dia menepisnya lalu memalingkan wajah dengan kedua kelopak matanya yang berulang kali mengedip secara cepat.

"Kamu pergi sana." Ia pun segera berjalan mendekat ke arah tempat mas Fajar beristirahat tanpa sedetik pun menatap mataku, aku rasa ia marah padaku, lantas apa yang harus aku lakukan sekarang?

"Hana, ayo!" Ajak Samudra sekali lagi, dan aku pun tidak punya pilihan lain, karena aku memang harus menemui papa, tapi di sisi lain aku harus memohon maaf pada ibu agar tidak membenciku karena ulah papa.

Aku berjalan dengan gontai menyusuri setiap lorong rumah sakit yang cukup besar ini, sebetulnya tenagaku mulai melemah, mungkin karena makan dan tidurku yang tidak teratur, hal lainnya juga karena setelah mengetahui kebenaran ini, bahwa papa sudah tega membunuh mas Fajar, pria yang amat kucintai.

"Kamu pasti belum sarapan kan?" Samudra memberikan sebuah roti kemasan padaku ketika kami berada di dalam mobil.

"Aku gak lapar Sam." Ucapku dengan tatapan kosong.

"Jangan bohong, makanan semalam saja kamu gak habiskan, pasti setelah itu kamu belum makan apa-apa kan? Ingat Hana, kalau kamu sakit nanti siapa yang   jagain Fajar?"

"Aku gak yakin setelah ini mereka kasih aku izin buat ketemu sama mas Fajar lagi atau enggak, aku lihat ibu kecewa banget sama aku, ibu pasti sekarang benci sama aku." Sejujurnya mataku sudah sangat lelah karena sejak kemarin air mata ini tak berhenti muncul dari kedua mataku.

"Mudah-mudahan nanti mereka ngerti ya, karna perbuatan buruk papa kamu sama sekali tidak di ketahui oleh kamu, jadi kamu jangan cemas ya, aku yakin semuanya baik-baik aja." Ucap Samudra menenangkan.

Akhirnya kami pun tiba di sebuah kantor polisi kota Magelang, di sana aku melihat papa sudah terkurung dalam jeruji besi sementara sebelum ia di pindahkan ke lapas ketika nanti setelah menjalani persidangan.

Aku bingung harus berbuat apa, sejujurnya aku ingin menghampiri dan mencaci papa, tapi entah mengapa aku tak berdaya, aku hanya mengikuti langkah kaki Samudra dari belakang tubuhnya, kemudian ia mempersilakan aku untuk duduk di hadapan salah satu anggota polisi untuk menanyaiku beberapa hal.

Di sini juga ternyata masih ada Karim dan dua karyawan mas Fajar, namun kini aku melihat perubahan raut wajah pada Karim sangat berbeda, selama ini aku mengenalinya dengan sifat dan tingkah konyolnya, tapi kini ia tampak marah dan merasa tidak senang dengan keberadaanku.

Aku sadar, mungkin saat ini mereka juga ikut menyalahiku karena perbuatan papa, walau pun aku jelaskan bahwa aku tidak terlibat bahkan tidak pernah mengetahui rencana papa ini, tapi tetap saja mereka mungkin tidak percaya karena sudah terlanjur kecewa.

"Dengan saudari Hana mutiara sabrina, putri dari tersangka pembunuhan berencana yang menyebabkan korban luka parah, betul?" Pria berbadan kekar dengan seragam kepolisian itu mulai menanyaiku beberapa hal, aku hanya mengangguk menandakan bahwa benar apa yang ia katakan.

"Tersangka mengakui bahwa ia tega membunuh korban dengan motif karena tidak merestui korban berhubungan dengan anda, karena pelaku ingin menjual anda pada seorang bandar narkoba yang saat ini masih menjadi buronan polisi."

Aku terkejut lantas membulatkan mata kala pria itu berbicara, karena sebelumnya papa pernah berkata bahwa ia akan menjodohkanku pada pengusaha kaya raya yang sudah banyak membantunya, tapi ternyata ia malah membohongiku selama ini.

"Tersangka terlibat hutang pada bandar narkoba itu sebanyak dua ratus juta, dan uang hasil rampokannya terhadap korban sudah ia berikan pada bandar narkoba tersebut."

Aku tak kuasa lagi menahan air mata yang hendak keluar dari kedua mataku, sehingga aku terpaksa menangis di hadapan mereka karena sangat terkejut dan kecewa mendengar alasan yang di ceritakan oleh papa.

"Apa anda pernah mencurigai tersangka selama ini sehingga ia sampai berbuat nekat seperti sekarang?"

"Saya tidak tahu apa-apa pak, papa dan mas Fajar sudah saling sepakat bahwa dalam waktu 3 bulan harus datang ke rumah untuk melamar saya dengan membawa uang mahar sebanyak 200 juta, selama ini mas Fajar berusaha memenuhi syarat itu bahkan sebelum genap 3 bulan, dan saat saya beri kabar bahwa hari itu mas Fajar akan datang ke rumah untuk melamar, papa tiba-tiba saja pergi dari rumah bahkan tidak bisa di hubungi sampai malam."

"Saya bisa bersaksi, bahkan Hana mencoba untuk kabur dari rumah untuk menemui Fajar karena ternyata dia di kurung oleh tersangka." Ucap Samudra membuat pengakuan.

"Baik, terima kasih atas pernyataannya, selanjutnya kami akan menindak lanjuti kasus ini, anggota kami juga sudah menyegel rumah tersangka yang di Bandung untuk penyelidikan, dan untuk keluarga tersangka juga korban harap bersiap untuk menghadapi persidangan nanti." Pria itu segera bangkit dan pergi meninggalkan kami.

Aku menatap ke arah Karim, berharap aku bisa mendapatkan maaf darinya,  "Rim aku minta maaf ya, aku beneran gak tahu papa bisa setega ini sama mas Fajar."

"Ya, mau gimana lagi, semuanya sudah terjadi, kita juga gak tahu kan kapan Fajar sadar." Pria itu segera melangkah pergi bersama kedua temannya, sepertinya kini aku kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekat mas Fajar, lantas bagaimana aku bisa memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, sedangkan mereka pasti tidak akan mengizinkanku melakukan hal itu.

"Kita balik sekarang." Ajak Samudra untuk memintaku berdiri, namun bukannya aku keluar dari tempat ini, malah aku berjalan menemui papa.

Pria itu tampak tertunduk sambil memegang jeruji besi, bukannya raut wajah penyesalan yang nampak pada wajahnya,  yang kulihat malah ada sebuah rasa amarah pada wajahnya.

"Papa kenapa setega ini sama aku? Apa salah aku? Apa salah mas Fajar pa?" Ucapku dengan air mata yang berlinang.

"Salah kamu karena tidak pernah menuruti perintah papa, coba kamu nurut buat nikah sama pak Chandra, papa gak mungkin seperti ini, papa gak mungkin ada di sini sekarang, kita malah akan kembali hidup kaya raya."

"Hidup kaya raya karena uang haram hasil jual beli narkoba, itu maksud papa?!" Bentakku.

"Jangan munafik Hana, dari mana pun asalnya yang penting kita punya banyak uang."

"Aku gak nyangka ya sama papa, aku kira papa udah berubah, tapi apa? Papa malah lebih kejam dari apa yang aku bayangkan!" Aku pun segera pergi meninggalkan pria yang tidak dapat berkutik dalam kurungan itu, aku tak kuat lagi jika harus berdebat dengan dia, karena percuma saja dia tidak akan pernah merasa bersalah atas perbuatannya apalagi menyesalinya.

"DENGAR HANA, FAJAR BUKAN SIAPA-SIAPA BAGI KAMU, HARUSNYA KAMU MEMIHAK PADA ORANG YANG SUDAH JELAS-JELAS MEMILIKI HUBUNGAN DARAH SAMA KAMU!" Teriak pria itu yang sama sekali tak ku pedulikan, sungguh sebetulnya aku tidak ingin bersikap seperti ini pada orang tuaku, namun apa boleh buat, karena tingkah buruknya itu sudah sangat membuat aku kecewa.

"Kamu mau ke rumah sakit lagi?" Tanya Samudra.

"Aku gak yakin mereka akan beri aku izin menemui mas Fajar, mereka kelihatannya marah banget sama aku." Ucapku murung.

"Terus, kamu mau aku antar ke mana?"

"Gak usah Sam, makasih udah banyak bantuin aku, sebaiknya sekarang kamu balik lagi ke Bandung, bukannya kamu harus kuliah?"

"Aku udah minta izin gak masuk hari ini ke dosenku, dan dia udah kirimin aku tugas lewat e-mail, jadi sekarang aku bisa temenin kamu ke mana pun."

"Jangan Sam, aku sudah banyak repotin kamu."

"Tapi sekarang kamu gak ada arah tujuan, kamu juga sendirian, aku gak mungkin ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini." Ucap Samudra yang sebetulnya aku setujui.

Memang sekarang ini aku tidak tahu harus ke mana, karena kini aku benar-benar sendiri, sehingga aku pun meminta Samudra mengantarkanku untuk kembali menemui keluarga mas Fajar di rumah sakit.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang