Hari besar ini telah tiba, acara kenaikan kelas 1 dan 2 sekaligus kelulusan bagi kelas 3. Untuk pertama kalinya para santri putra dan putri di satukan dan di pertemuan dalam satu acara. Masing masing dari mereka di perbolehkan mengajak anggota keluarga untuk datang menghadiri acara ini atas undangan resmi dari pihak pondok pesantren.
Terlihat dari raut wajah yang terpancar dari setiap santri putra dan putri yang sepintas aku temui, mereka tampak terlihat bahagia sambil berbincang dan bercanda tawa bersama melepas rindu pada ayah dan ibu. Wajar saja, selama kurang dari enam bulan mereka berada di sini dan jauh dari keluarga membuat rindu mereka semakin menumpuk dan terbalaskan di hari ini.
Mereka sangat beruntung ketika pada acara ini di hadiri oleh kedua orang tua yang sangat menyayangi mereka, bahkan aku sempat iri pada salwa dan nisa. Walau pun sudah ku ketahui bahwa salwa juga salah satu orang yang lahir dalam keluarga berkecukupan dan kedua orang tua nya pun sibuk dengan pekerjaannya, tetapi mereka masih bisa menyempatkan untuk hadir di acara yang bahkan hanya di adakan satu tahun sekali di rasakan di pondok pesantren ini.
Terkecuali aku.
Tanpa terasa air mata ku jatuh pada pipi ketika menyaksikan kebahagiaan teman-teman ku, hingga mbak wulan yang menyadarinya pun langsung mengusap air mata dan memeluk ku segera.
“loh, non jangan nangis dong, kan saya sudah ada di sini”.
“papa jahat ya mbak, sampai ga bisa ngusahain dateng kayak papa nya salwa, papa udah ga sayang sama aku ya” ucapku yang ternyata semakin tak bisa membendung air mata yang terus keluar.
“ga gitu non, bapak sibuk juga buat non kan, supaya apa pun yang non mau terpenuhi”. Ucap mbak wulan sambil terus mengusap punggungku.
“Aku ga butuh uang banyak mbak, aku butuh kehadiran orang tua di acara kenaikan kelas kayak teman ku yang lain”.
“gapapa non, kan ada saya. Mudah-mudahan semester selanjutnya bapak bisa hadir ya” ia pun melepas pelukanku dan menatap wajahku. “udah dong jangan nangis, nanti cantiknya ilang lo”.
Namun ku hanya membalasnya dengan senyuman kecik terpaksa dan segera mengusap air mataku agar segera berhenti mengalir.
Aku memang munafik. Aku yang sering berkata sendiri pada diriku bahwa aku benci dan sudah tidak mengharapkan kehadiran papa ternyata aku bohong. Nyatanya aku masih berharap orang tua kandungku satu-satunya dapat hadir menjadi waliku pada acara ini. Namun ternyata aku terlalu berharap lebih, aku semakin merasa takut bahwa papa memang benar sudah tidak memedulikan ku.
Mbak wulan menghadiri acara ini dengan mengajak suami dan anak laki-laki-nya yang masih berusia sekitar 8 tahun. Mereka datang lebih awal karena memang jarak dari rumah mereka menuju pesantren ini cukup dekat. Hanya memakan waktu 15 menit dengan menggunakan sepeda motor.
“Non, sebentar ya saya mau keluar dulu, ini anak saya ngambek pengen beli mobil-mobilan di sana. Gapapa saya tinggal ya non?”. Ucap mbak wulan yang terus merayu putranya agar berhenti menangis.
“Iya mbak, pembagian buku raport masih lama kok. Mbak ajak main anak mbak dulu aja”. Sahutku.
“Baik non. Permisi ya”. Ia pun segera pergi ke luar area pesantren untuk mencari pedagang mainan anak anak yang berjualan di luar gerbang pesantren. Sedangkan aku tetap duduk di kursi tamu tanpa menikmati acara ini.
Sebetulnya acara utama hanya kelulusan santri kelas 3 saja. Bagi santri kelas 1 dan 2 tidak ada yang di tampilkan di atas panggung. Hanya saja ada beberapa perwakilan yang mengisi acara seperti grup marawis yang mengalunkan shalawat syahdu beriringan dengan Alunan musik yang mereka gunakan. Atau ada juga yang melantukan shalawat tanpa menggunakan alat musik. Semua mereka persembahkan agar acara pada hari ini lebih berkesan.
Berbeda denganku. Aku yang tidak memiliki kemampuan apa pun. Tidak memiliki minat dan bakat apa pun sama sekali tidak mendaftar sebagai salah satu perwakilan santri yang mengisi acara di atas panggung. Namun ini bukan sebuah masalah besar, lagi pula aku lebih nyaman menyendiri seperti ini di banding harus berekspresi di depan ribuan orang yang hadir dalam acara ini.
Oh iya. Karena hari ini acara kenaikan kelas dan mulai besok santri di liburkan ternyata kedatangan orang tua santri ke pesantren juga untuk menjemput para santri agar ikut pulang setelah acara ini selesai. Dan tentu saja karena proses belajar sudah selesai sementara ini maka santri di perbolehkan menggunakan handphone mereka yang mereka simpan di rumah masing-masing dan kini telah di bawa oleh orang tua mereka.
Dan aku tentunya tidak terlalu fokus pada pengisi acara di panggung, aku hanya sibuk dengan mengaktifkan handphone ku yang sudah 5 bulan aku titipkan pada mbak wulan dalam keadaan di matikan. Tentu saja ketika handphone ini sudah menyala banyak sekali notifikasi pesan maupun pemberitahuan lainnya yang masuk. Dan salah satunya banyak pesan dan panggilan masuk dari samudra.
Samudra rasendria. Dia merupakan teman sekelasku di sekolah SMA jakarta. Kita memang tidak kenal akrab, karena aku yang selalu menjauh dari kerumunan teman sekelas dan lebih banyak menyendiri. Terkadang samudra sering mendekati ku ketika ada tugas dalam kelas, namun aku sering menanggapinya biasa saja tanpa ada perasaan apa pun. Lagi pula sikap pada pria mana pun sama saja, tidak pernah seperti orang yang asyik dalam berbincang.
Mungkin samudra juga tidak terlalu menonjolkan diri dalam kelas, sehingga ia pun tidak terlalu gigih dalam mendekatiku. Hanya saja dia lebih sering menghubungi lewat sambungan telepon maupun mengirim pesan singkat, karena aku tidak terlalu cepat merespon kabar darinya, membuat dia selalu berulang kali menelepon dan mengirim pesan padaku hingga aku segera merespon-nya.
Dan kini sepertinya ia mencari keberadaanku, karena memang aku pindah dari sekolah lama sangat mendadak, bahkan aku tidak sempat berpamitan pada teman-teman sekelasku. Apalagi dengan kabarku yang tiba-tiba saja menghilang membuat mereka semua pasti banyak yang bertanya tanya dengan kondisi ku saat ini.
Memang panggilan telepon dan pesan singkat masuk terbanyak adalah dari samudra. Aku pun terus menatap kosong layar ponselku dan ternyata tak lama muncul panggilan masuk dari samudra.
Namun aku tidak langsung menjawab panggilannya, malah aku langsung menutup panggilan teleponnya. Bukan karena aku tidak ingin berbicara dengan samudra, tetapi aku merasa tidak nyaman jika berbicara lewat sambungan telepon dengan suasana fi sekitar ku bising dengan suara dari pengisi acara di sini.
Dan tak lama datang pesan singkat whattsapp dari samudra yang kemudian aku pun segera membacanya.
‘hana, ini gue samudra. Lo masih save nomor gue kan? Lo masih inget sama gue kan? Lo kemana sekarang? Gue cariin lo selama ini’
Tanpa menjelaskan apa pun aku pun segera membalas pesan dari samudra agar dia mengerti keadaanku saat ini
‘gue masih inget lo, dan nomor lo juga masih ada di kontak hp gue.’
‘ya tapi lo kemana sekarang? Angkat telepon gue sekarang’
Tanpa menunggu lama ternyata samudra kembali menelepon ku, namun kembali ku matikan dan langsung kembali mengirim pesan padanya.
‘Jangan hubungi gue sekarang, gue lagi ada acara, di sini berisik banget. Percuma ngobrol juga ga akan kedengeran’ .
Pada akhirnya aku pun mematikan kembali handphone ku agar samudra tidak lagi mengganggu ku dengan terus saja menelepon ku. Tunggu saja nanti setelah acara ini selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Ficção AdolescenteHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...