Bab 31 - jodoh terbaik untukku

101 16 32
                                    

“Tunggu Hana!” Mbak Aish mengejar dan dapat meraih kembali tanganku, “kamu mau ke mana?”

“Aku gak usah berobat aja mbak.”

“Kamu harus berobat, Bu nyai yang suruh Fajar buat antar kita.” Paksa mbak Aish yang terus menarik tanganku hingga aku terpaksa mengikutinya walaupun tanpa menatap ke arah mas Fajar.

Selama perjalanan di dalam mobil tidak ada sebuah percakapan dari kita, karena ketika mas Fajar terus saja bertanya padaku tentang keadaanku, aku bersikeras untuk tetap diam dan berpura-pura tidak mendengar.

Rumah sakit yang kami tuju ternyata tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar 10 menit menggunakan laju mobil ini, baguslah, jadi mas Fajar bisa berhenti menanyakan sesuatu yang tidak akan aku jawab. Dan ketika aku keluar dari pintu mobil sepertinya mas Fajar ingin membantuku berjalan, tapi hal itu tidak bisa ia lakukan karena bukan haknya.

***

Pov author

“Mbak, Hana kenapa? Kenapa dia jadi cuek sama aku?” Tanya Fajar dengan cemas.

“itu karena kamu sendiri, bahkan dia sakit juga karena kamu!”. Tegas Aisyah dengan menunjuk ke bagian dada tubuh Fajar.

“Aku? Maksud mbak apa?” tanyanya kebingungan.

“Kamu kenapa gak cerita sama mbak kalau kamu akan pak kiyai jodohkan dengan ning Nabila?”.

“di jodohkan? Siapa yang di jodohkah dengan ning Nabila? Gak ada mbak, pak kiyai aja belum mikir ke arah situ, ning Nabila masih belum cukup umur, mbak tahu ini dari mana sebenarnya?” Kali ini Fajar sedikit menaikkan volume suaranya karena ini merasa tuduhan itu sangat tidak benar.

“Semalaman mbak lihat Hana nangis di atas sajadah, dia sampe gak tidur karena dia berharap minta ketenangan hati pada Allah, dan ketika mbak tanya masalah dia apa, dia bilang kemarin lihat kamu antar pak kiyai dan Bu nyai jemput ning Nabila dari bandara karena kamu adalah santri yang di pilih pak kiyai untuk di jodohkan dengan ning Nabila.”

“Astaghfirullahal ‘adzim, Hana tahu itu dari mana mbak? Itu semua bohong.”

“dari Nisa.”

“Terus dia percaya?”.

“Dia percaya karena kamu gak balas surat dia, dia pikir kamu kecewa karena kamu pikir Hana terima lamaran ustad Iqbal sehingga kamu mungkin mau balas dendam.”

“Ya allah mbak, aku gak kayak gitu. Aku balas surat dari Hana kok, bahkan dua kali, malah aku juga nunggu balasan surat itu tapi gak ada, tadi siang aku ketemu dia di danau dan mau nanyain surat itu tapi dia malah kabur”.

“tapi Hana gak pernah terima surat dari kamu, memangnya kamu kasih surat itu ke siapa?”.

“Nisa mbak.”

“Nisa?” Aisyah terkejut karena mendengar nama itu berulang kali dalam debat ini.

“Ya, aku sering mencari keberadaan Hana buat kasih surat itu, tapi gak pernah ketemu, terus pas ketemu Nisa dan Salwa aku titip mereka, aku pikir mereka berdua adalah sahabat dekat Hana jadi bisa bantu aku buat kasih surat itu ke Hana. Dan soal kemarin aku di perintah pak kiyai untuk antar beliau ke bandara, karena mas Danu lagi pulang kampung, ibunya meninggal dan pak kiyai tahu kalau aku bisa nyetir mobil, jadi pak kiyai suruh aku tanpa ada maksud apa pun.” Jelas Fajar yang membuat Aisyah sempat diam untuk mencerna semua perkataannya.

“Mbak jadi curiga sama Nisa,” ucap Aisyah sambil menyimpan kedua tangan pada dada, “jangan bilang kamu tahu ustad Iqbal ngelamar Hana juga dari Nisa?”.

“Iya mbak, dia bilang ustad Iqbal datang ke pesantren dan ngobrol sama Hana di ruang kepala yayasan, dan dia bilang Hana di beri waktu sampai lulus dari pesantren, dia gak bilang kalau Hana nolak lamaran itu. Aku percaya, karena aku melihat kedatangan ustad Iqbal ke pesantren waktu itu.”

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang