Aku berjalan keluar dari Mushola setelah selesai mengikuti kajian bersama ning Nabila, kita berdua asyik mengobrol, melempar candaan, seolah-olah kita sudah kenal lama, tapi tiba-tiba Salwa menghampiri dan membuatku terkejut karena aku masih berprasangka bahwa Salwa ikut membantu Nisa dalam melaksanakan misinya untuk memisahkan aku dan mas Fajar.
“Assalamu’alaikum, Hana,” sapanya dengan nafas terengah-engah karena habis berlari, ia pula membungkuk dan memberi salam pada Nabila.
“Wa’alaikumussalam.”
“Hana, aku mau minta maaf atas apa yang sudah Nisa lakukan sama kamu, aku nggak tahu dia sampai setega itu fitnah kamu dan mas Fajar supaya saling membenci, aku baru tahu ini barusan Hana, awalnya aku tidak tahu apa-apa”.
“kamu nggak tahu?” tanyaku memastikan dan ia mengangguk.
“Gapapa Sal, aku sudah maafin Nisa kok, karena hubungan aku dan mas Fajar sudah kembali membaik.”
“Kamu dekat dengan Fajar? Fajar Abdullah?” Kali ini giliran ning Nabila ikut bersuara sehingga membuat aku dan Salwa sempat merasa panik karena kita yang tanpa sadar sedang berada di dekat putri pemilik pondok pesantren ini.
“Astaghfirullah maaf ning, saya keceplosan.” Ucap Salwa bersalah.
“ning, saya mohon jangan beri tahu soal ini sama pak kiyai dan Bu nyai ya.” Aku memohon.
“kalian tenang aja, selagi hubungan kamu dan mas Fajar masih wajar dan tidak melanggar peraturan pesantren, tidak akan jadi masalah besar kok, aku nggak akan beri tahu hal ini sama abi dan umi, aku juga manusia biasa kok, memiliki perasaan terhadap lawan jenis itu hal yang normal, tapi harus dengan syari’at agama.”
“aku dan mas Fajar tidak memiliki ikatan untuk saat ini ning, karena itu mungkin kesempatan buat Nisa membuat pernyataan bohong sehingga aku dan mas Fajar salah paham.”
“memangnya apa masalahnya kalau boleh tahu?” Nabila bertanya, tapi aku dan Salwa saling diam menukar pandangan.
“kalau kalian gak mau cerita juga gapapa kok."
“Sebenarnya Nisa bilang kalau mas Fajar mau di jodohkan dengan ning, dan aku percaya itu karena selama ini kita sahabatan, dan Nisa membuktikannya ketika melihat ning pulang dari bandara dengan di antar mas Fajar.” Jelasku.
Ning Nabila tertawa lepas ketika mendengar perkataanku sambil menutup mulut, “ternyata ada yang cemburu dengan hari itu? Maaf ya Hana aku nggak ada maksud kayak gitu, bahkan aku saja belum kenal Fajar, abi bilang Fajar menggantikan mas Danu yang sedang pulang kampung mendadak, dan saat itu abi hanya bertemu dan mas Fajar yang kebetulan bisa mengendarai mobil, kita berdua tidak saling menyapa gimana bisa sampai sejauh itu.”
“Iya ning, maafi saya sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang ning.” Sesalku menundukkan kepala.
“Tidak apa-apa Hana, yasudah ayo balik lagi ke asrama.”
***
Hari penutupan kegiatan di pondok pesantren telah tiba, hari ini kami di bubarkan serentak dan di beri libur selama satu minggu selama hari raya idul fitri, aku sudah mengabari mbak wulan, agar tidak menjemputku karena aku akan pulang bersama mbak Aish untuk mengikutinya menghadiri undangan acara buka puasa bersama keluarga mas Fajar, tentunya hal itu sangat membuatku bersemangat karena aku akan ikut berkumpul dengan keluarga pria yang aku cintai.
Kami berdua pergi dengan menggunakan angkutan umum, aku sempat bertanya kepada mbak Aish mengenai mas Fajar, ia bilang bahwa pria itu akan pulang bersama karim yang di jemput oleh pak kades menggunakan mobil pribadinya. Tentunya tidak menjadi masalah bagiku karena nanti aku akan bertemu dengannya di rumah.
Sesampainya kami di rumah, sekitar pukul 2 siang, aku mendapat sambutan hangat dari Zira yang sudah menanti kedatangan kami di ambang pintu rumahnya. Tapi, bukannya ia berlari dan memeluk mbak Aish, gadis itu malah memelukku.
“Oh Jadi sekarang bukan mbak Aish nih? Yasudah nanti nggak akan mbak belikan permen lolipop besar lagi.” Ucap mbak aish manja.
“gapapa, kan bisa minta sama mbak Hana, wleee.” Tingkah gemas Zira yang menjulurkan lidah membuatku semakin menyukai gadis kecil ini.
“eh nggak boleh minta sesuatu sama orang lain ya Zira, nggak sopan.” Ucap ibunya yang tiba-tiba datang menghampiri kemudian kami berdua segera mencium punggung tangannya.
Dan ternyata tak lama mas Fajar tiba bersama karim dengan mengucap salam dan karim yang berteriak menyapa keluarga ini.
“Kata siapa orang lain? Mbak Hana kan pacarnya mas Fajar, nanti mbak Hana tinggal di rumah ini kan?” ucapan dari Zira itu sontak membuat mataku membelalak, aku memberi isyarat pada gadis kecil itu dengan mengedipkan mata dan menempelkan jari telunjuk pada bibir.
Namun, hal itu rasanya percuma karena semua orang yang berada di sini sudah terlanjur mendengarnya dengan jelas hingga membuatku dan mas Fajar menunduk tersipu malu. Apalagi karim, si jail yang sudah ku duga ia pasti tak akan berhenti menggoda aku dan mas Fajar.
“Masya Allah... hidup menantu!!” teriaknya yang meski tubuhnya dapat pukulan dari mas Fajar dari belakang tapi ia tetap tidak berhenti meledeknya.
“bu, jangan dengerin Karim ya, dia emang suka ledekin orang terus.”
“Ya, beneran juga kan gapapa,” celetuknya yang membuatku diam mematung, “Ya sudah ayo istirahat di dalam, kalian pasti capek kan.”
“Cie udah dapat lampu hijau nih.” Ledek mbak Aish yang menyenggol bahuku.
Senyumku semakin tak karuan, karena sulit jika harus di sembunyikan, apalagi ketika mas Fajar melewati dan menyapaku, pasti kalian tahu sendiri bagaimana rasanya muda-mudi ini sedang di mabuk cinta, ‘kan?
“lampu hijau? Lampu petromak kali” Sambung Karim yang ikut melewatiku, “pegangin hidungnya, takut kembang-kempis.”
***
Aku dan mbak Aish membantu ibu memasak di dapur untuk persiapan buka bersama nanti, sedangkan mas Fajar ikut bapak bersama Karim ke kebun untuk memanen beberapa jenis buah yang mereka tanam di kebunnya.
“Ibu janji kan, kalau hari ini puasa Zira sampai magrib nanti di belikan boneka beruang yang bersaaar sekali.” Pinta Zira.
“Zira udah belajar puasa?” tanyaku dan gadis kecil itu mengangguk.
“Tapi Cuma dapat tiga sama hari ini, soalnya aku suka laper kalau pulang sekolah.”
“3 hari juga sudah hebat banget loh, nanti mbak bawain boneka beruang besar ya, di rumah mbak ada banyak banget.”
“beneran mbak? Bu kita main ke rumah mbak Hana yuk, rumahnya pasti besar soalnya boneka beruangnya ada banyak.” Zira merengek sambil menarik baju ibunya.
“Memangnya kamu tahu rumah Mbak Hana dimana?”
“Gatau bu.”
“rumah mbak Hana itu jauh sayang, bisa dari pagi sampai malam sampainya ke sana kalau naik mobil, nanti kamu pusing di mobilnya.”
“rumah mbak Hana di luar negri ya? Kata temanku, kalau kita keluar negri bisa seharian di mobilnya.”
Ucapan dari gadis kecil menggemaskan itu membuat kita yang sedang sibuk mengerjakan tugas memasak sontak menjadi tertawa lepas, bagaimana mungkin gadis sekecil ini bisa tahu banyak hal dengan polosnya, tapi aku suka dengan tingkahnya yang ceria dan banyak bicara, seperti Hana kecil yang selalu menjadi putri cantiknya mama.
“kamu gak perlu jauh-jauh ke rumah Mbak ya, nanti bonekanya mbak bawain ke sini.”
“beneran mbak?” Gadis itu meyakinkan dan aku mengangguk, kemudian ia melompat-lompat tak beraturan karena saking senangnya.
“terima kasih ya Hana.” Ibu tersenyum sambil memegang tanganku.
“sama-sama bu.”
Akhirnya aku kembali merasakan kehangatan dari seorang ibu, aku seperti melihat sosok mama dalam dirinya, seorang wanita yang sangat tulus dan lembut menyayangi putrinya tanpa batas.
Ya Allah.. semoga ini adalah jawaban dari semua do’a-ku yang mengharapkan keluarga yang sempurna, dan kini ku temui dalam rumah ini.
Semoga saja engkau men-takdirkanku menjadi salah satu bagian dari keluarga ini.
Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...