Malam ini bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan yaitu nuzulul qur'an, di mana malam ini di peringati sebagai malam pertama kalinya ayat al-qur’an di turunkan sebagai wahyu untuk Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendengar banyaknya keutamaan dan pahala yang di dapatkan ketika kita melaksanakan ibadah pada malam ini, sehingga aku memutuskan untuk membaca ayat suci Al-Qur’an setelah selesai pengajian malam.
Aku menggelar sajadah dan ku tunaikan shalat malam, kemudian aku tumpahkan semua tangisan dalam sujudku, aku sadar aku hanyalah manusia hina yang sebab mendapat ujian hanya mampu menangis dan meminta kekuatan.
Aku melihat Mbak aish sudah tertidur, karena nanti dia harus bangun lebih dulu untuk menyiapkan makan sahur.
Sejak aku bertemu dengan mbak Aish setelah kejadian itu, aku belum juga mengajak mbak Aish berbicara, walau pun berulang kali ia menanyakan keadaanku dan alasanku lebih banyak diam, tapi aku hanya menjawabnya dengan kalimat ‘aku tidak apa-apa’.
Sebetulnya aku butuh seseorang untuk meluapkan rasa kecewaku ini, tapi kali ini mbak Aish bukan orang yang tepat, karena aku berpikir mbak Aish mengetahui tentang perjodohan anak pak kiyai pada santri lulusan pondok pesantren ini yang berprestasi. Tapi ia malah tidak pernah menceritakan hal itu dan mungkin ia juga tahu jika mas Fajar adalah orang yang pak kiyai pilih.
Aku hanya dapat mengadu pada sang khalik, karena tidak ada lagi tempat mengadu untuk mencurahkan sakit dan sedihku selain padanya. Bahkan aku tidak merasa mengantuk malam ini, mataku sudah terlalu lelah karena banyak menangis sehingga aku tidak membutuhkan tidur untuk meredakannya.
Malam semakin larut dan suasana semakin sepi, tidak ada suara lagi selain aku yang mengaji dengan suara yang di kecilkan karena khawatir mbak Aish terbangun. Dan tak lama aku mendengar suara dari dalam mushola, seseorang yang membangunkan para santri untuk bersiap melaksanakan makan sahur.
“sodaqallaahul ‘adziiim...”
Aku menutup kalam illahi ini setelah aku selesai membacanya sebanyak sepuluh juz, aku mencium dan memeluk kitab Al-Qur’an ini sambil terus meneteskan air mata, setidaknya sudah sedikit lebih tenang tapi entah mengapa air mata ini belum juga berhenti berderai karena aku masih teringat kejadian kemarin.
“Kamu kenapa Hana?” ucap mbak Aish yang tiba-tiba mengagetkanku dengan memegang pundakku.
Aku pun segera mengusap air mata yang membasahi pipi lalu mengatur nafas agar cara bicaraku kembali normal, “Aku gak apa-apa mbak”.
Mbak Aish langsung menarik tubuhku lalu mendekapnya sehingga tangisanku semakin menjadi-jadi.
“Kamu puaskan nangisnya, luapkan semua rasa sakitnya lalu ceritakan semuanya sama mbak, jangan rahasiakan apa pun dari mbak, kamu sudah mbak anggap sebagai adik mbak sendiri Hana.”
“mas Fajar jahat mbak.” ucapku sambil menangis terisak-isak.
“Fajar kenapa? Apa yang dia buat sehingga kamu nangis semalaman gini Hana?”
Aku masih tidak kuat menahan tangisanku, sehingga aku belum leluasa jika berbicara panjang lebar terhadap mbak Aish.
“kamu tenang dulu, tarik nafas.. lalu buang,” perintahnya yang mengajakku mengatur nafas agar sedikit merasa tenang, “Ayo istighfar dulu”.
“astaghfirullahal ‘adziim...” ucapku dengan suara bergetar, kemudian mbak Aish memberiku satu gelas air minum untuk aku teguk.
“Sudah lebih tenang?” tanyanya, dan aku mengangguk.
“Kemarin aku lihat mas Fajar turun dari mobil habis mengantar pak kiyai dan Bu nyai menjemput ning Nabila dari bandara, terus tiba-tiba Nisa bilang kalau sekarang pak kiyai sedang mendekatkan mas Fajar dengan ning Nabila untuk di jodohkan nantinya, pasti itu alasan dia gak balas surat aku kan mbak? Mas Fajar sudah mencintai wanita lain.”
“ning Nabila? Oh iya mbak tahu kemarin dia sudah pulang dari Mesir karena telah selesai sekolah di sana, tapi mbak gak tahu kalau Fajar ikut mengantar pak kiyai ke bandara.”
“Makanya, biasanya bukan dia, tapi sekarang? Mungkin omongan Nisa itu benar mbak, mas Fajar jahat sudah gantungin perasaanku tapi dia malah tiba-tiba ninggalin aku tanpa kabar.”
“Nanti mbak ngomong sama si Fajar, semoga saja ini semua gak bener ya.” Ucapnya yang terus mengusap punggungku.
“Gak usah mbak, aku ikhlas, ning Nabila bukan tandinganku, mas Fajar itu setara dengan ning Nabila yang sama-sama penghafal Al-Qur’an, dia dari keluarga baik-baik sedangkan aku jauh dari itu semua, aku memang gak pantas buat mas Fajar mbak.” Ucapku yang kembali menangis.
“jangan begitu Hana, jodoh itu bukan tentang setara atau tidak, justru jodoh itu saling melengkapi kekurangannya satu sama lain, kamu jangan khawatir ya, nanti mbak cari kebenarannya.”
Kini aku sedikit merasa tenang, akhirnya sedihku dapat ku ceritakan pada seseorang, dan dengan baiknya mbak Aish melarangku keluar kamar karena ia membawakan makan dan minum untuk sahurku di dalam kamar ini bersamanya.
Setelah kami berdua selesai menyantap makanan sahur, mbak Aish membantuku menghilangkan kantung mata yang terlihat sembab akibat menangis semalaman, ia mengambil mangkuk berisi air dingin dan perlahan-lahan mengompresnya ke area mata yang sembab sehingga sedikit membaik.
“setidaknya sedikit mengurangi sembabnya, soalnya kasihan kalau orang cantik kelihatan nangis terus.” Ejek mbak Aish yang membuatku kembali tersenyum.
“makasih ya mbak, udah baik sama aku, aku beruntung bertemu mbak Aish di sini.”
“Gak ada alasan mbak jahat sama orang gak jahat sama mbak, iyakan?”.
***
Keesokan harinya aku kembali mengikuti kegiatan mengaji di pondok, walaupun sebenarnya aku masih kurang percaya diri dengan kondisi mataku, tapi bagaimana pun juga aku tidak bisa meninggalkan kegiatan ini.
Dan ketika waktu istirahat tiba aku kembali mencari ketenangan di tepi danau, karena di sini memang salah satu tempat favoritku ketika ingin menyendiri.
“Hana!” panggil seseorang yang kemudian aku menoleh ke arahnya yang ternyata ada seberang danau ini.
Mas fajar.
Untuk apa dia memanggilku? Ada urusan apa dia menyebut namaku? Aku rasa ini hanya angan-anganku saja yang masih belum bisa melupakan mas fajar, dan karena itu membuatku merasa tidak nyaman maka aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini.
Ayo hana, kamu pasti bisa lupain mas fajar, kamu pasti bisa.
“Astagfirullah Hana, kamu sakit?” ucap mbak aish yang memegang dahiku ketika aku tertidur di siang hari.
“Mbak Aish,” aku yang sedikit terkejut pun segera bangun dari tidurku, “enggak kok mbak.”
“Enggak gimana? Ini badan kamu panas gini loh, ini pasti gara-gara kamu banyak pikiran dan semalaman kamu begadang ya.”
“Aku gak kenapa-napa mbak, mungkin Cuma butuh istirahat aja.”
“Gak bisa, pokoknya kamu harus berobat, mbak antar kamu ke rumah sakit ya.” Ucapnya yang segera bangkit lalu pergi keluar.
“Mbak mau kemana?”.
“Mau izin bawa kamu ke rumah sakit ke Bu nyai.” Ucapnya yang langsung pergi tanpa memberiku kesempatan untuk memberikan penolakan.
Tak lama mbak Aish kembali kemudian membantuku untuk berjalan menuju parkiran halaman pondok pesantren.
“kita pergi naik angkot mbak?” tanyaku.
“Enggak Hana, Bu nyai suruh mbak antar kamu pake mobil pribadi pak kiyai yang satunya lagi, yang sering di pakai untuk kebutuhan santri jika mendesak.”
Aku pun hanya menurut dan mengikuti langkah mbak Aish menuju parkiran, tapi langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat seseorang yang menunggu kedatanganku di samping mobil itu. Dengan spontan aku melepaskan bantuan mbak Aish dan aku mencoba putar arah karena yang ku lihat di dekat mobil itu adalah mas Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...