Bab 35 - lelucon yang menyenangkan

89 14 35
                                    

“Kamu belum ngantuk?” Tanya mas Fajar tiba-tiba. Ia muncul ketika Aku sedang memandang angkasa bertabur ribuan bintang.

“Belum mas.” Jawabku menggelengkan kepala.

“Lebaran nanti kamu mau pulang ke Jakarta?” tanyanya, yang seperti kulihat ada sebuah kecemasan pada wajahnya.

“Iya mas, tapi aku belum dapat kabar dari papa, takutnya pas aku ke rumah papa lagi gak ada, mungkin besok pas sudah di rumah mbak Wulan.”

“Jadi sekarang kamu sudah berdamai dengan keluarga kamu?”

Aku mengangguk, kemudian membuat lekukan sabit di bibir. Tapi yang ku lihat, mas Fajar terus saja menampakkan wajah cemasnya hingga aku bertanya perihal keadaannya.

Aku mencondongkan tubuhku ke arah mas Fajar, “Kamu kenapa mas? Ada masalah? Kok cemberut gitu?”

“Iya, ada, sedikit sih, tapi kayaknya banyak juga.”

Aku menatap kedua matanya yang indah dengan dalam-dalam, “masalah apa mas?”

“Aku jadi jauh dari kamu, nanti kangen lagi.” Seketika ekspresi wajahnya berubah, bentuk bibir yang ia kerutkan kini menjadi senyuman yang meledek.

Aku memundurkan posisi tubuhku kembali, dan mengalihkan pandanganku ke sembarang arah sambil menahan senyuman yang sebetulnya sulit untuk di tahan.

“Kamu sekarang udah pinter nge-gombal ya mas.”

“Emang iya? Oh mungkin karena aku terlalu banyak bergaul sama karim ya. Yaudah besok-besok aku ganti teman aja deh.”

“Ganti? Emang bisa secepat itu? Siapa yang mau gantiin karim?”

“siapa ya? Pak kades mungkin.”

Aku tertawa lepas mendengar tutur kata mas Fajar yang tak biasa, aku pikir selama ini dia adalah seseorang yang pendiam tak banyak bicara, tapi ternyata dugaanku salah, bahkan leluconnya lebih asyik di banding temanku Nisa dan Salwa.

“Kan ada handphone,  kita ,   bisa sering berkomunikasi.” Ucapku.

“Kalau kamu gak sempat angkat telepon gimana? Aku takut kamu di sana bertemu sama penjual cilok yang tiba-tiba jatuh cinta sama kamu.”

“Mana ada tukang cilok yang suka sama aku!”

“Bahkan ustad Iqbal saja jatuh cinta kan sama kamu?”

Ekspresiku jadi berubah ketika ia membahas hal itu, “ah, kamu gak seru, kenapa masih di bahas sih, aku kan udah nolak lamaran dia.”

“Harusnya pada saat itu aku ada di ruangan pak kiyai, aku mau bilang sama ustad Iqbal kalau dia percuma datang ke pesantren buat temui kamu.”

“Apa alasannya?”

“Karena kamu takut dia gak bisa nemenin kamu bengong di pinggir danau.”

Dengan spontan kami tertawa bersama, aku pikir mas Fajar akan tersinggung jika sewaktu-waktu aku membahas soal lamaran itu, tapi ternyata dia malah membuat lelucon yang membuatku yakin bahwa dia sudah tidak menanggapi hal itu serius lagi.

“Mas udah ya, cape tau ketawa terus.”

Pria itu menatap mataku dalam-dalam sambil membuat lekukan sabit pada bibirnya, “kamu senang?”

Aku membalas senyumannya, lalu mengangguk.

“Makasih ya mas, udah selalu buat aku bahagia.”

“Tapi aku takut ini cuma sementara Hana.” Kini wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi murung.

“Maksud kamu apa mas?”

“Hana, jarak usia kita cukup dekat, aku belum berani memperistri kamu jika aku belum mapan, aku khawatir kamu tidak bahagia denganku, karena aku sadar selama ini orang tua kamu sudah berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan kamu, bahkan lebih dari cukup.”

“Tapi aku sanggup menunggu kamu siap, kapan pun itu.”

“Tapi jika terlalu lama, nanti usiamu terlalu dewasa, sedangkan setiap wanita pasti ingin menikah di usia muda bukan?”

Aku menatap matanya dalam-dalam, dan berusaha meyakini keraguan dalam hatinya, “mas, itu teori lama, kalaupun masih berlaku, mungkin hanya ada di daerah pedesaan seperti di sini, di tempat tinggalku, banyak wanita yang menikah di usia matang karena banyak dari mereka yang lebih dulu mengejar cita-citanya sebelum menikah, dan jika aku menikah di usia 25 tahun pun, aku rasa itu bukan sebuah Aib.”

Aku masih melihat keraguan dalam wajahnya, aku mengerti apa yang ia takutkan saat ini, tapi aku akan terus berusaha agar ia yakin bahwa kami bisa melewati semua  ini sama-sama.

“Lagi pula, aku sudah tidak membutuhkan harta yang berlimpah, aku sudah nyaman hidup sederhana seperti ini mas, untuk apa hidup di rumah seperti istana itu tapi di dalamnya hanya banyak duka dan masalah, aku ingin seperti ini, rumah penuh kebahagiaan dan kehangatan.”

Akhirnya aku berhasil meyakinkannya, ia pun kembali tersenyum dan merasa lega.

“Terima kasih ya Hana, semoga kamu sanggup menunggu sampai aku siap.”
“Insya Allah.”

***

“Diskusinya sudah selesai?” Mbak Aish yang tiba-tiba muncul entah dari mana, sangat membuat aku terkejut.

“Eh, mbak sejak kapan ada di sini?”

“Barusan kok, tapi maaf ya tadi mbak perhatikan kalian di dalam, Fajar yang minta.”

Aku melebarkan pandangan mata ke arah mas Fajar sambil mengerutkan alis.

“Maaf ya Hana, aku minta tolong mbak Aish buat nemenin aku tapi jangan terlalu dekat, karena gak mungkin juga kan kita ngobrol cuma berdua.” Ucapnya menyeringai.

“Mbak Aish dengerin kita ngobrol?” tanyaku.

“Tenang aja Hana, mbak cuma lihatin kalian aja, gak sampai nguping.” Ucapnya sambil menutup kedua telinga.

Aku yang terlanjur merasa malu pun memilih membuang muka pada sembarang arah sambil tersenyum yang ternyata sulit jika harus di tahan.

“sudah jam 10 malam, tidur yuk!” ajak mbak Aish.

***

Keesokan harinya aku berpamitan pada keluarga mas Fajar untuk pulang ke rumah mbak Wulan, awalnya mas Fajar menawarkan diri untuk mengantarkanku, tapi aku menolak karena sudah meminta suami mbak Wulan untuk menjemputku.

Besok sudah memasuki tanggal 1 Syawal pada bulan Hijriyah, menandakan bahwa hari ini ibadah puasa akan berakhir dan besok adalah hari perayaan besar seluruh umat Islam.

Mbak wulan menawarkanku untuk pulang ke Jakarta agar dapat berlebaran di sana, aku pun memiliki pemikiran yang sama karena aku merasa memiliki kesalahan pada papa yang harusnya besok adalah hari yang tepat untuk aku meminta maaf atas semua kesalahanku.

“Tapi maaf non, sudah satu minggu ini saya telepon nomor hp bapak tidak aktif, saya khawatir bapak sedang tidak ada di rumah.”

“Gak aktif? Mbak gak punya nomor handphone Art atau satpam di rumah?”

“Enggak non, waktu itu kan saya masih baru kerja di rumah bapak, walaupun ada perlu dengan pekerja rumah yang lain, saya sering menggunakan telepon rumah.”

Sejenak aku terdiam, memikirkan sebuah persoalan yang sangat janggal, apa papa sudah mengganti nomor handphone-Nya? Lantas mengapa ia tidak mengabari mbak Wulan? Perasaanku rasanya ada yang aneh, tapi aku tetap mencoba tenang dan berpikir positif.

“Ya sudah, siang ini kita siap-siap pergi ke Jakarta aja mbak, semoga papa Cuma sibuk kerja, besok juga libur kan?”

Mbak Wulan menurut. Kemudian kami mempersiapkan diri dan semua perlengkapan yang akan kami bawa selama beberapa hari berada di Jakarta.

***

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang