“Assalamualaikum..”. Ucap bu nyai ketika membuka pintu kamar yang akan ku tempati.
“Wa’alaikumussalam” sahut seorang wanita yang usianya tidak jauh dariku. Ia segera mencium punggung tangan bu nyai dan mengajak aku dan mbak wulan bersalaman.
Sejenak aku mengamati setiap objek yang berada di dalam ruangan ini. Ya, sangat jauh berbeda di banding kamar ku. Ruangannya cukup sempit hanya ada 2 ranjang tempat tidur yang masing-masing ukurannya cukup untuk satu orang saja. Dan ku rasa kasurnya tidak terlalu empuk seperti punya ku.
Benda lainnya di dalam ruangan ini hanya lemari susun yang cukup kecil berjumlah 2 lemari dan 2 meja belajar. Serta satu buah kipas angin dan jam yang menempel di dinding tepat di atas kasur tidur. Dan selain itu tidak ada fasilitas lainnya yang tidak seperti kamarku yang memiliki banyak hiasan dan berbagai fasilitas.
“Aisyah, perkenalkan ini hana, siswa pindahan dari jakarta. Dia ibu tempatkan di sini karna kamar untuk santri sudah penuh. Jadi ibu titip dia ya”. Ucap bu nyai pada wanita itu.
“baik bu nyai”. Ucapnya sambil sedikit menundukkan kepala.
“Hana, perkenalkan ini mbak aish, dia salah satu alumni yang sekarang mengabdi di sini sebagai khadimat. Kamu di sini sama mbak aish ya”. Ucap bu nyai lagi.
Kemudian wanita yang bernama aisyah itu mengajak ku berjabat tangan yang kemudian aku menyambutnya. “assalamu'alaikum, hana. Saya aisyah panggil saja aish”.
“Waalaikum salam, aku hana”.
Aku menoleh pada mbak wulan, kemudian aku kembali berbisik padanya. “mbak ko kamar ku kayak gini?”.
“Kamar santri yang lainnya juga sama ko non, kamar seperti ini bagi santri udah paling nyaman loh non”. Sahut mbak wulan.
“mbak yakin?”.
“Yakin 100 persen non”.
“Mari hana, saya bantu beresin pakaian kamu”. Ucap mbak aish sambil menadahkan kedua tangannya.
Kemudian aku menyerahkan koper ku kepada mbak aish dan aku ikut serta membantunya memindahkan pakaianku ke dalam lemari.
Sekitar 20 menit berlalu, aku dan mbak aish selesai merapikan barang bawaanku, kemudian handphone mbak wulan berdering dan ia pun segera menjawab panggilan telepon yang sepertinya dari papa.
“Non di suruh bapa ke ruangan pak kiyai lagi, katanya sekalian mau pamit”. Ucap mbak hana padaku.
Pamit? Apakah benar papa akan meninggalkan ku sendiri di sini? Bahkan jarak kami kini sangat jauh, apakah papa akan sering mengunjungi ku di sini?.
“Hana, papa pulang dulu ya. Kamu tenang saja, rumah mbak wulan tidak jauh dari sini ko. Kapan kapan kalau hari libur kamu boleh berkunjung ke rumahnya atau mbak wulan juga nanti akan sering mengunjungi kamu di sini”. Ucap papa pada ku.
“Papa sendiri gimana? Papa ga akan sering jengukin aku di sini?”.
Sejenak Papa terdiam, kemudian ia menghela nafas cukup dalam. “nanti papa usahakan kalo ga sibuk ya nak”.
Apa? Nanti di usahakan? Apa ga bisa menyempatkan sedikit waktu untuk menjenguk putrinya di sini? Aku merasa kurang setuju dengan jawaban Papa, lebih tepatnya aku tidak suka dengan jawaban itu.
Mendengar Papa berkata seperti itu membuat ku merasa kecewa dan tidak lagi berkata apa pun pada papa. Bahkan ketika papa berpamitan hingga pergi meninggalkan ku di tempat ini membuat perasaanku rasanya biasa saja. Tidak ada kesedihan yang ku rasa ketika di tinggal papa.
“mbak pamit ya non, non baik baik di sini, semoga non betah dan mendapat ilmu yang bermanfaat. Kalau nanti ada apa apa non tinggal telepon saya pakai telepon kantor, nomor saya udah saya simpan di tas kecilnya non”. Ucap mbak wulan yang memelukku sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Hana! (Tamat)
Teen FictionHana tidak menyangka setelah kepergian mamanya hidupnya terasa semakin sulit, bahkan ketika kehadiran mama baru di rumahnya membuat suasana jadi semakin buruk. wanita itu sering berbicara buruk tentang Hana pada papa. bahkan dia sering menuduh hal b...