Bab 10 - pepes ikan mas

138 14 3
                                    

“Fajar pulang sama siapa bukle?”. Tanya mbak aish pada bibinya ketika sedang memotong beberapa buah cabai.

“katanya berdua sama temannya yang anak pa kades itu siapa ya namanya? Bukle lupa”.

“Oh si karim ya bukle”.

“Iya nduk. Katanya dia pengen makan pepes ikan mas buatan bukle, dia sering ikut fajar pulang kesini karena bukle suka masakin mereka pepes ikan mas ini”.

“Emang dasar ya itu si karim, seenaknya aja minta makan sama ibunya orang lain, kayak dia ga punya ibu saja”.

“Ya memang dia sudah punya ibu kan, dia mana mau minta sama ibu tirinya itu”. Ucap bibinya mbak aish yang membuat obrolan antara mereka berdua terasa menyenangkan.

Ya persis sepertiku. Mana ada anak yang dekat dengan ibu tirinya? Jangankan meminta di buatkan makanan, untuk duduk berdua bersamanya saja di meja makan aku rasa tak sudi.

“oh iya hana kamu sudah lama mondok di sana?”. Kali ini bibinya mbak aish bertanya padaku.

“Baru satu minggu bukle”.

“Oh baru satu minggu, tapi kamu betah toh mondok di sana?”.

“alhamdulillah betah bukle”. Ucapku singkat.

“ya pasti betah lah, kan satu kamar sama aku. Aku kan orang baik hati, ga sombong ga suka makan sabun lagi”. Ucap mbak aish menyahuti yang membuat kami bertiga tertawa dengan lepas di ruangan dapur ini.

***

“Assalamu’alaikum”. Ucap pamannya mbak aish yang telah pulang dari masjid.

“wa’alaikumussalam”. Ucap kami bertiga. Kemudian bibinya mbak aish pun berjalan menuju ruang tamu untuk menghampiri suaminya.

“Fajar jadi pulang buk?”. Tanya pakle pada istrinya.

“Katanya sih jadi, kita tunggu saja pak, mungkin mereka masih di perjalanan ”. Ucap bukle yang menghampiri pakle sambil membawa satu cangkir kopi bersama beberapa buah kue yang di taruh pada piring.

Sedangkan aku dan mbak aish pergi ke kamar setelah berwudhu untuk melaksanakan shalat zuhur. Aku seperti merasa tidak sabar ketika kedua orang tua itu membahas tentang kedatangan putranya. Sungguh ini sebuah keberuntungan besar untukku karena mempunyai kesempatan untuk bertemu langsung dengan pria itu.

20 menit berlalu setelah aku dan mbak aish selesai melaksanakan shalat zuhur ternyata pria itu belum juga tiba. Aku sempat merasa khawatir jika ia membatalkan niatnya untuk pulang, sehingga kesempatanku untuk bertemu dengannya mungkin sudah hilang.

“Hana, kenapa kamu diam saja dari tadi?”. Ucap mbak aish yang membuyarkan lamunanku.

“eh gapapa ko mbak”. Ucapku dengan senyuman terpaksa.

“kamu laper ya? Ya sudah kita makan duluan yuk”.

“eh jangan mbak. Aku ga laper ko”.

“Beneran hana?”.

“iya mbak, nanti saja makannya bareng bareng sama bukle dan paklenya mbak”.

“Assalamu’alaikum,  ibu dan bapak apa kabar?”. Suara pria itu dapat ku dengar dengan jelas. Ya, aku yakin itu pasti anaknya bukle dan pakle nya mbak aish. Tiba-tiba saja jantungku berdegup cukup kencang dari biasanya.

Tenang hana, tenang. Kamu harus bisa mengontrol diri kamu ketika berhadapan dengan pria itu, jangan sampai kamu berbuat hal konyol yang membuat pria itu merasa ilfeel sama kamu.

“eh kayaknya itu fajar deh, sebentar ya mbak samperin dulu”. Pamit mbak aish yang langsung pergi meninggalkanku sendiri di dalam kamar.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang di sini? Kenapa Mbak aish tidak mengajakku bertemu dengan adik sepupunya itu? Padahal ini adalah momen yang aku nantikan dari tadi. Mungkin karena mbak aish tahu kalau aku tidak mengenali mereka jadi aku tidak perlu bertemu dengan pria itu, sedikit kecewa namun aku pun tidak bisa berbuat apa pun.

Assalamualaikum, Hana! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang