Kisah Taruna Merah 4

339 76 281
                                    

Pagi itu semua penghuni barak sudah bersiap memanggul ransel masing-masing, sampai salah seorang mengguncangkan tubuhku.

"Anta! Engkau mau terus tinggal di sini." Dedi KJ membangunkanku. "Kita semua sudah rapi cuma tinggal engkau saja. Bergegaslah. Sebentar lagi kita harus sudah berbaris di lapangan."

Aku segera membersihkan diri dan langsung bergabung dengan para calon taruna itu menuju ruang makan. Semua orang sudah memanggul ransel masing-masing, lalu meletakkannya di depan kaki mereka sendiri.

Kami bergegas menghabiskan makanan kemudian kembali memanggul ransel menuju lapangan.

"Bro, semalam engkau tampak seperti orang pingsan. Sampai-sampai tak bangun dengan bunyi terompet pagi." Dedi KJ mendekatiku.

Aku hanya diam saja. Tidak ada orang yang tahu bahwa aku pun melihat sang Taruna Merah berwajah pucat tanpa telinga itu.

"Beruntung kali mereka berdua, ya. Katanya, siapa pun yang bisa melihat atau bertemu dengan Taruna Merah, mereka pasti akan bertahan di sini sampai lulus pantukhir," Priabudi menjelaskan.

"Sepertinya, Hamonangan dan Ferdinand termasuk orang yang lulus itu. Karena mereka sempat melihatnya." Dedi KJ menambahkan.

Dua minggu sudah kami masuk ke area Akademi Militer Magelang. Setelah menjalani beberapa tahap seleksi administrasi, kesehatan, akademik, psikotes, dan mental ideologi, kami dikumpulkan di lapangan untuk mendengarkan pengumuman hasil seleksi. Di sinilah kami kehilangan banyak teman. 1500 calon taruna yang gagal dipulangkan ke daerah pengiriman masing-masing, termasuk aku dan kedua teman seperjuangan Dedi Kesuma Jaya dan Priabudi. Kami terpaksa harus meninggalkan kawah Candradimuka, melepaskan semua harapan menjadi prajurit taruna. Kami mendengar nama kelima sahabat kami dipanggil menuju matra masing-masing sesuai hasil psikotes yang mereka peroleh. Rio Sukamto matra Angkatan Laut, Raja Bonatugu matra Angkatan Udara, Hamonangan Lumban Turuan matra Angkatan Darat, Winardi matra Angkatan Laut, Ferdinan Ginting matra Kepolisian.

Aku hampir tidak bisa memercayai semua yang terjadi. Kisah Taruna Merah yang begitu diyakini sebagai mitos akan lulus bagi siapa saja yang melihatnya tidak terbukti untukku. Dengan langkah gontai terpaksa kami berjalan meninggalkan Candradimuka menuju bus yang akan membawa kami kembali ke daerah masing-masing. Kami berbaris rapi mengambil berkas masing-masing

dan menerima amplop untuk bekal pulang yang disebut uang menangis oleh calon taruna yang belum berhasil lolos menjadi prajurit taruna. Puluhan bus itu menuju ke berbagai wilayah yang berbeda. Kami menempati bus yang menuju Yogyakarta. Sedangkan belasan bus lainnya ada yang berangkat ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Kuperiksa semua berkas dalam mapku. Terlampir semua hasil tes yang sudah kuperoleh. Hasil pemeriksaan minat dan bakat dalam rangkaian psikotes itu memperlihatkan bahwa aku cenderung akan menempati matra pertama Angkatan Laut dan matra kedua Angkatan Darat, seandainya aku bisa lolos secara total keseluruhan.

Sepanjang jalan tidak ada seorang pun yang berbicara. Semua penumpang hanyut dalam kesedihannya masing- masing. Ada yang menangis sepanjang jalan, ada pula yang tertawa sendiri, ada yang bersenandung, bernyanyi, dan ada pula yang hanya terdiam dengan pandangan kosong. Namun, memang suasana terasa berduka. Dalam setiap bus dikawal oleh dua orang tentara.

Setibanya di Yogyakarta barulah kami mendengar berita dari pengawal ternyata ada salah seorang calon taruna yang memilih untuk tidak akan pernah kembali. Mungkin karena keputusasaan yang dalam, dia mengakhiri hidupnya di salah satu kamar mandi barak dengan memotong nadi tangannya. Pengawal kami memberi beberapa nasihat pada kami untuk menjaga diri masing-masing.

Memang berat. Kegagalan itu bahkan membuat kami tidak bisa menikmati damainya Malioboro dan manisnya gudeg di Yogyakarta. Aku berpamitan pada kedua sahabatku, Dedi KJ dan Priabudi, karena akan pergi ke Bandung. Sedang mereka berdua akan menuju Bandara Adisutjipto untuk kembali ke Pekanbaru. Kami berpelukan dengan sisa-sisa semangat yang masih tinggal dalam diri.

Sungguh kami masih harus berjuang. Kami harus berjuang untuk masa depan sendiri. Tidak ada yang pernah tahu mau jadi apa aku dan teman-temanku nanti. Karena sampai saat ini pun kami masih gagal. Berbeda dengan sahabatku yang lain yang sudah lebih dulu lolos, dan lanjut dalam basis Candradimuka. Namun begitu, hal itu tidak menyurutkan semangatku menuju Kota Kembang. Belahan jiwaku ada di sana.

****

Kasian banget Anta ya... Jangan putus asa bro!!

Apa yang terjadi pada Anta setelah kegagalannya ini?

Akan terjawab menjelang akhir cerita.

Ikuti terus ceritanya, dijamin semua pembaca tambah penasaran karena kita akan kembali mundur lagi ke tahun2 yang yg telah lalu.

Selamat melanjutkan membaca yaa...

Jangan lupa komen, like dan share-share-share sebanyak-banyaknya ke semua orang....

Trimakasih semuanya... 

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang