Merajut Impian

286 72 248
                                    

Hari-hariku berlalu sepi sejak Oca pergi. Kudengar dia sudah kembali ke Palembang. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Belum lagi kudengar kabar berita darinya.

"Mungkin dia sedang menikmati sekolah barunya," pikirku. Dia, kan, baru masuk SMP.

Dalam benakku sering terlintas, kapankah aku bisa bertemu lagi dengan bidadari yang baik hati itu. Aku merasa saat bersamanya ada satu dorongan yang kuat dalam hatiku untuk meraih masa depan. Namun, kini aku kembali dalam hari-hariku yang menyedihkan.

Seperti biasa setiap pagi aku ke sekolah dan siangnya pergi ke ladang membantu Papah. Kakek Usman pun masih selalu memberikan banyak pandangan hidup yang berharga bagiku. Aku layaknya sebatang pohon yang tumbuh dengan sendirinya hanya dibantu oleh siraman air hujan. Sangat natural. Pengalaman demi pengalaman yang kudapat menjadikanku dewasa dengan cepat.

Sampai pada suatu hari, aku menerima dua pucuk surat yang berbeda warna. Pink untuk aku, dan surat lain bersampul hijau untuk Kakek Usman. Pengirimnya satu, tak lain yakni bidadari hatiku.

Tak sabar aku buka surat itu.

Dear abangku yang baik hati.

Pasti dirimu terkejut ya aku tulis surat ini buatmu terpisah sendiri. Setelah sekian lama numpang dalam surat atok. Kan seperti permintaanmu waktu sedang ngajari aku menembak burung dulu.

Ternyata dia masih ingat akan permintaanku. Aku pun kembali melanjutkan baca.

Mulai sekarang aku kabulkan permintaanmu, karena aku sangat sayang kamu, Bang. Terus semangat ya, Bang, aku doain cita-cita Abang bisa terwujud, jadi tentara sejati untuk berbakti pada ibu pertiwi, seperti idola Abang itu, siapa namanya, Bang? Agus Surya Bakti ya. Abang juga tolong doain aku ya, biar nanti bisa jadi dokter.

Udah dulu ya Bang. Oh iya, terima kasih pak posku yang baik hati. Terima kasih udah ngajarin aku nembak, udah bonceng aku keliling kota Tanjung Pura, udah bawa aku mancing dan naik sampanmu. Pokoknya semua yang indah yang Abang lakukan untukku. Daaah Abang.

Salam rindu dari Palembang

Oh Tuhan. Apa aku tak salah baca? Berkali-kali kubaca lagi dan lagi. Dia betul-betul bilang sayang sama aku.

Alamak.

Mimpi apa, ya, aku semalam. Baru kali ini ada perempuan bilang sayang sama aku. Dia juga rindu sama aku. Yang benar saja? Ternyata bukan aku saja yang rindu, dia pun sama.

Aku langsung menyambar sepedaku dan segera melesat ke rumah Kakek Usman untuk menyerahkan suratnya. Setelah Kakek Usman selesai membaca, dia bertanya menyelidik.

"Kenapa suratnya hanya satu, ya, Anta?"

Aku pura-pura tak mendengar, karena aku malu kalau ketahuan dapat surat sendiri. Lagi pula, aku juga takut Kakek Usman marah.

"O o o ... rupanya ada yang sedang bahagia, ya?" Kakek Usman tersenyum menggodaku.

"Pandai sudah cucu Atok surat- suratan, ya. Mulai sekarang kita tak usah saling membaca. Anta bisa langsung kirim saja surat buat Tilo. Tapi jangan pulak kau goda sering-sering dia, ya. Nanti terganggu belajarnya," kata Atok.

"Iya Tok." Aku hanya menunduk.

Ternyata, Kakek Usman tak marah. Tak sekejam yang aku bayangkan. Maklumlah, aku sangat takut sama Kakek Usman karena beliau ini purnawirawan TNI-AD berpangkat mayor.

Keluar dari rumah Atok, aku langsung pergi ke ladang untuk menyelesaikan pekerjaan rutinku. Aku ingat dulu Oca bilang tanganku penuh urat. Ya memang beginilah kehidupanku. Keras dan kejam. Aku melihat Papah dari jauh menghampiriku.

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang