Bidadari yang Baik Hati

309 75 257
                                    

Sejak bertemu dengan ibu itu, aku lebih banyak diam dan merenung. Selalu terngiang di telingaku suaranya yang menyebut namaku: Anta anak Umi. Pertemuan itu telah menambah panjang kesedihan dalam hidupku ini.

Kriiing!

Dering sepeda pak pos mengejutkanku. "Pos ... pos."

Aku berlari keluar seperti mendapat kekuatan baru.

"Surat dari Palembang, ya, Pak?" Setengah berteriak aku menghampiri pak pos yang menyodorkan surat bersampul kuning.

"Hohooo ... terima kasih, Pak!!"

Tepat sekali dugaanku, surat dari gadis kecil itu. Namun, bagaimana aku mengantarkan surat ini ke rumah Kakek Usman? Sementara aku sangat takut dengannya. Aduh ... bagaimana ini, ya? Ah setidaknya aku punya alasan untuk bertemu dengan Kakek Usman semenjak cucunya pulang ke Palembang. Memang sudah hampir 1 bulan aku tak pernah ke rumah Kakek Usman, apalagi sejak Papah sibuk menyelesaikan pekerjaannya di sekolah.

Segera kuambil sepedaku dan kukayuh kencang menuju rumah Kakek Usman. Tak sabar sudah aku ingin segera menyampaikan surat ini dan mendengar Atok membacanya.

"Yuhuuu ... asalamualaikum. Atok!!" Tak ada jawaban. Di manakah mereka? Aku bergegas ambil cangkul, ambil arit, lalu bersiap ke ladang. Rupanya, aku bertemu Kakek Usman dan istrinya sedang memberi makan lembu.

"Anta. Sudah lama tak ke sini. Mari bantu Atok, lembu ini banyak kali makannya. Rupanya papahmu sibuk betul, ya, sampai-sampai tak sempat nongol batang hidungnya kemari." Atok menyapaku.

"Aku " Belum sempat aku selesai bicara, Atok sudah menggandeng tanganku.

"Atok minta maaf, ya, terlalu cepat marah sama Anta." Aku masih diam. "Tilo kirim salam buat Anta."

Aku jadi ingat dan buru-buru mengeluarkan surat bersampul kuning dari kantong, "Ini ada surat, Tok. Baru tadi sampai."

Atok tertawa senang. "Pasti dari Palembang. Mari kita buka."

Kakek Usman mengajakku kembali ke rumah. Tak sabar juga aku mengikuti dari belakang. "Lho ... Anta, ini suratnya ada dua. Sepertinya yang ini buat kamu."

Atok memberikan satu lembar kepadaku, lalu dia baca surat buatnya dengan keras. "Apa kabar atokku tersayang? Kami semua sudah sampai di Palembang dengan selamat. Atok, aku minta tolong ya berikan suratku buat Bang Anta yang baik. Atok jangan marah lagi sama Abang ya. Dia itu nggak salah, lagi pula luka aku udah sembuh dan mataku nggak buta. Semoga Atok berdua sehat selalu." Atok tertawa dan minta aku baca juga suratnya dengan keras.

Aku pun mulai membaca. 

"Hai Abang ... Bang, jangan takut lagi ya sama Atok. Aku ingin sekali ketemu Abang sebelum pulang waktu itu. Tapi Atok melarangku ke rumahmu, karena kata Atok mamakmu galak. Abang jangan bersedih ya, nanti kita pasti ketemu lagi. Daah Abang."

Atok mendengarkan dan melihat perubahan di wajahku.

Aku jadi ingat ibu yang aku temui di Stabat.

"Tok ... sebenarnya aku ini anak siapa?" Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku dan cukup membuat Kakek Usman dan istrinya terbelalak kaget.

Atok Wan menghampiriku, "Kenapa Anta bicara seperti itu?" tanyanya dengan lembut.

Aku pun menceritakan pertemuanku dengan wanita yang mengaku ibuku, juga perbuatan dan kata-kata kasar yang sering aku terima dari Mamak di rumah.

"Wanita yang Anta datangi itu memang ibumu, Anta. Atok mau menceritakan semuanya karena mungkin sudah saatnya Anta tau banyak hal. Ipah, ceritakanlah sama si Anta." Kakek Usman meminta istrinya untuk bercerita.

"Anta, waktu kamu masih kecil sebetulnya umi Anta tinggal di rumah Papah." Atok Wan mulai bercerita. "Umi Anta itu dari keluarga yang disegani masyarakat di Stabat. Tapi mungkin karena ada banyak perbedaan di antara keluarga besar, sehingga sering membuat papah Anta marah dan Umi sering pulang ke rumah kakek Anta di sana."

Tangan Atok Wan masih memelukku.

"Tok, waktu Anta ke rumah Umi ada anak laki-laki namanya Wawan. Apa dia adik Anta?" tanyaku.

"Iya, dia adik Anta. Sejak umi Anta melahirkan Wawan, umi Anta dan Wawan tinggal di sana. Lalu papah Anta ke sana untuk menjemput Anta, karena Wawan masih sangat kecil jadi hanya Anta yang bisa dibawanya. Itu juga dengan keributan besar." Sejenak Atok Wan berhenti untuk membelai wajahku.

"Pantaslah selama ini Mamak sering mengusir Anta dari rumah. Tak ada rasa sayang dan selalu membedakan Anta dengan anaknya."

Kakek Usman berdiri, "Kesalahan terbesar papahmu yang kedua adalah menikahi perempuan itu," nadanya emosi saat aku menyebut mamakku.

Atok Wan meneruskan kembali, "Anta, sebetulnya banyak yang sayang sama kamu. Dulu pada saat umi Anta pergi, Anta pernah akan dibawa ke Palembang oleh Nda Diah, uminya si Tilo, tapi Ami Farhan tak mau karena Anta di sini kan masih punya orang tua. Mereka sayang sekali sama Anta, Anta dibawa jalan-jalan ke Brastagi. Maklum anaknya kan baru satu, perempuan pula."

Aku terkejut sekali mendengarnya. Ternyata sejak kecil aku sudah bertemu dengan gadis itu. "Dan waktu papah Anta masih repot mengurus Anta sendirian, juga untuk menghindari keluarga umi Anta datang mengambil Anta, Anta pernah dititipkan di Medan, di rumah Wak Lun anak Atok yang pertama. Di sana Anta banyak yang memperhatikan karena Wak Lun banyak anaknya. Anta juga sempat diasuh oleh Mamak Ita, anaknya Ayah Rasyid Lubis tetangga yang tinggal di sebelah rumah Wak Lun. Barulah sejak papahmu menikah dengan Mamak, Anta dijemput oleh Papah."

Semua yang aku dengar itu membuatku

semakin merasa tidak beruntung. Jadi begitulah ujian dalam kehidupanku, pantaslah selama ini aku merasa belum pernah bahagia. Aku tak tahu apa arti kebahagiaan dan aku merasa tak berarti apa-apa.

"Anta, kamu masih terlalu kecil untuk bisa paham semua yang terjadi dalam kehidupan manusia. Tapi Atok yakin sekali, Anta akan bahagia. Suatu hari nanti Anta akan hidup bahagia. Cucu Atok pasti kuat, ya. Pasti jadi orang hebat. Jangan patah semangat. Hidup itu perjuangan." Kakek Usman memberi semangat kepadaku. "Akan ada orang yang sangat menyayangi Anta. Percayalah sama Atok."

Hari itu menjadi hari yang paling berat buatku, dan malam itu menjadi malam paling menyedihkan untukku.

* * * *

Waktu terus berjalan. Sudah 4 tahun berlalu. Pedihnya kehidupan yang menerpaku membuat aku tumbuh menjadi remaja yang keras dan jauh dari keramaian. Atok Wan, istri Kakek Usman pun telah tiada, sudah pergi menghadap Yang Mahakuasa.

Aku lebih banyak menutup diri. Setiap hari aku hanya menghabiskan waktu bersama Papah. Hampir semua pekerjaan terbiasa kukerjakan sendiri. Mamakku tidak ada perubahan. Tetap kejam, bertambah kejam, tak ada bedanya dengan kisah ibu tiri seperti dalam film-film.

Sekolah, ladang, begitulah terus setiap hari. Aku harus mencari sendiri uang jajan tambahan dengan beternak ayam, jualan singkong hasil tanamanku, pokoknya apa pun yang bisa aku dapatkan dari hasil kerjaku membantu Papah di ladang di sela-sela waktu sekolahku.

Sesekali, aku mengunjungi Umi di Stabat. Namun, ada satu yang tak pernah berubah, cucu perempuan Atok yang setiap kali berkirim surat selalu menitipkan salamnya untukku. Aku juga masih setia mengantarkan surat-suratnya untuk Kakek Usman. Sampai suatu hari, dia mengirimkan surat yang di dalamnya berisi foto terbarunya saat acara perpisahan sekolah dasar. Dalam foto itu, dia agak berbeda, lebih anggun, lebih manis, tetapi mengapa dandannya seperti orang dewasa, ya? Ha ha ha. Sudah besar dia rupanya. Seperti biasa dia menitipkan salamnya untukku, juga mendoakan semoga semua cita-citaku bisa tercapai.

Alangkah baiknya bidadari ini, kata-katanya selalu terdengar tulus dan kasih sayangnya benar-benar dalam. Dia mengatakan akan berlibur ke kampung kalau nanti sudah diterima di SMP.

Diam-diam aku menantikan kedatangannya ....

Sobat readers percaya ga kalo sebel, benci itu bisa berbalik jadi suka bahkan cinta.?

Kita lanjutkan ceritanya yaaa...

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang