Aku kembali menerima kegagalan keduaku. Ini merupakan pukulan berat bagiku. Di saat aku sudah sangat yakin dengan kepercayaan diri yang tinggi dan semua kemampuan yang kumiliki, aku tetap harus menerima kegagalan untuk kedua kalinya. Namun, aku teringat sahabatku si Adi Kiting yang sudah gagal lebih dulu
di daerah. Dia menungguku di Bandung.
Kami harus mengucapkan selamat kepada Rio Sukamto, Raja Bonatugu, Hamonangan Lumban Turuan, Winardi, dan Ferdinan Ginting. Sakit sekali rasanya mendengar namaku terpanggil untuk segera meninggalkan Lembah Tidar.
Bersama teman-temanku yang gagal, aku meninggalkan Kota Magelang. Kembali aku harus menelan pil pahit karena kegagalan yang kedua ini. Sebagai seorang yang memiliki jiwa patriot, aku harus terima kekalahan. Betapa beratnya perjuangan hidup untuk meraih impian. Apa mungkin aku akan bisa lewati ini? Dua kali aku gagal. Aku sudah berjanji kepada belahan jiwaku yang juga sedang berjuang mencapai cita-citanya untuk datang menjemputnya. Namun, sekarang apa? Apa yang terjadi? Aku tak bisa wujudkan impianku.
Aku putuskan untuk pergi ke Kota Bandung. Akan kucari kekasih hatiku itu. Kebetulan, ada beberapa temanku yang juga akan ke Bandung. Sebelum aku berangkat ke Magelang waktu itu aku sempat menghubunginya dan Oca sudah memberikan alamat di mana dia tinggal. Sekarang dia tinggal di rumah orang tua temannya yang sama-sama akan melanjutkan kuliah.
Sepanjang malam di kereta api itu, wajah kekasihku selalu terbayang.
* * * *
Dua hari sudah aku mencari alamatnya, tetapi tak kunjung kutemui gadis pujaan hati. Kata temanku si Adi rumahnya itu tak jauh dari Jalan Cipaganti. Sepanjang pagi sampai siang tadi kususuri jalan di Kota Kembang Bandung ini, mulai dari Cipaganti sampai melewati Rumah Sakit Hasan Sadikin. Namun, akhirnya aku hanya berputar-putar di Jalan Cibarengkok.
Aku pun pulang kembali ke tempat indekos Adi Kiting. Memang itulah panggilannya. Karena rambut di kepalanya keriting, maka kami semua memanggilnya si Kiting. Aku bertemu dengannya di rumah Ami Fikar saat dia dan ibunya mendaftar untuk seleksi taruna di daerah. Sayang Adi belum bisa lolos untuk seleksi ke pusat. Aku sudah berjanji akan pulang ke Bandung menemuinya. Sekarang Adi ikut menumpang di rumah Cipi dan saudara-saudaranya yang sedang kuliah di Bandung. Mereka mengontrak satu rumah dengan banyak sekali kamar di belakang Masjid Cipaganti.
"Gimana kau ini, genk. Mana mungkin ketemulah kalau kau mencarinya seperti itu," kata si Adi.
"Jadi harus gimana lagi? Susahnya mencari alamat itu. Pantaslah namanya Cibarengkok, banyak kali bengkok- bengkoknya. Sampai pusing kepala aden lewat jalan bebelok- belok macam tu, Di. Besoklah aden cari lagi," jawabku.
"Pantang menyerah kali kawansatu ni, sampai penasaran aden. Macam apa gadis pujaan hatimu itu? Kalau bertemu bolehlah kaukenalkan sama aden, genk." Adi menggodaku.
Sebetulnya, aku tak suka dia bicara seperti itu, karena Adi pun sudah punya Cipi, kekasihnya yang sekarang sedang kuliah di Bandung.
"Genk ... kalau mau mencari alamat di Bandung sini, tak bisa hanya kautunjukkan kertas alamatnya. Harusnya langsung kautanyakan nama pemilik rumahnya. Jangan pula engkau tanya nama cewek kau itu. Pasti semua tak kenal sama dia. Apa perlu aden temani engkau?" Benar juga kata si Kiting ini.
Langsung aku melompat, kuambil ransel dan sepatuku. "Tak usah, Kiting. Aden cabut dulu."
"Wooy ... ke mana lagi, genk? Pantang menyerah kali rupanya kau, ya. Semoga beruntung, genk!" teriaknya.
Tak kuhiraukan teriakannya. Akan kucari lagi dia. Kulihat lagi alamatnya. Ada nama Bapak Engkus di situ. Sampai di jalan berbelok-belok itu lagi, aku tanyakan rumah Bapak Engkus yang tertulis di alamatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Teen Fiction🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...