Surat dari Palembang

485 93 303
                                    

Semua perjalanan kisahku berawal dari sini. Do'a dan cinta.

"Atooook......!! Tok....!! Ini ada surat dari jauh..." Tergopoh-gopoh aku berlari mencari kakek Usman hanya untuk mengantarkan surat dari cucunya yang tinggal di Palembang.

Anta, begitu orang-orang memanggilku dengan nama pemberian dari ibuku. Ya ibuku, yang aku hampir tidak pernah merasakan lembut belaian tangannya seperti yang dirasakan anak-anak lain seusiaku, 6 tahun.

"Ada apa Anta?" Kakek Usman muncul dari sumur belakang menghampiri aku.

"Ini ada surat Tok, dari jauh. Tadi pak pos titipkan di rumah." Anta memberikan sepucuk surat bersampul biru. "Dari Palembang ya Tok?" Kakek Usman menerima lalu segera membuka dan membaca surat itu sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Dari siapa Tok?" Aku bertanya sambil menahan rasa penasaran. Tak pernah aku melihat kakek Usman seperti itu, baru kali ini dia senyum-senyum sendiri sambil sesekali melihat ke dinding tempat beberapa gambar yang terpajang disana.

Dengan sedikit kesal aku sudah bersiap-siap meninggalkan kakek Usman, sebelum tiba-tiba dia berteriak.

"Mau kemana Anta?!"

Seketika kakiku berhenti terdiam sesaat. Aku hafal betul tabiat kakek Usman yang keras, walaupun sesungguhnya beliau memiliki hati yang sangat lembut. Selama ini aku sudah mendapat tempaan dari kakek Usman. Beliau adalah orang kedua setelah papah yang memperkenalkan padaku kerasnya kehidupan ini.

"Ini surat dari cucu atok. Dia janji kalo sudah lancar nulis mau kirim surat buat atok. Nah ini surat pertamanya." Atok menyodorkan surat itu kepadaku.

Aku melihat lembaran kertas surat wangi berwarna biru dengan tulisan yang begitu jeleknya.

"Ko uda bisa nulis tapi jelek begitu Tok?" Aku melihat surat itu sambil mencibir.

Kakek Usman tertawa keras.

"Ha..ha..ha.. Yaa bagaimana mau bagus, kan baru belajar nulis. Aduh macam mana pula kau ini Anta.. ha..ha.. Emang Anta sudah bisa nulis bagus? Coba atok lihat tulisan kamu. Kan sebentar lagi Anta masuk SD ya?" Kakek Usman membimbingku ke meja depan sambil memberiku selembar kertas dan pulpen.

"Aku mesti tulis apa Tok?" Bingung juga melihat kertas sambil pegang pulpen seperti itu. Diam-diam ada penyesalan dalam hatiku sudah menilai jelek tulisan cucu atok Usman ini.

"Kalo Anta mau sekolah, harus bisa menulis dulu, baru bisa masuk SD kelas 1. Cucu atok ini belum masuk SD. Dia baru sekolah Taman Kanak-kanak. Masih kecil, lebih kecil dari Anta sedikit, tapi sudah bisa kirim surat buat atok, walaupun tulisannya masih jelek. Seperti yang tadi kamu bilang." Kakek Usman terus memuji cucunya sambil tersenyum.

"Taa..!! Disini rupanya engkau.. Pantaslah dari tadi tak muncul-muncul. Bantulah papah angkut pisang di belakang tu." Tiba-tiba papah muncul dari samping rumah kakek Usman.

Tak terasa sudah lama juga ya aku berbincang dengan kakek Usman. Dan kedatangan papah membuat aku terbebas dari perintah menulis kakek Usman. Bergegas aku berlari angkat cangkul, ambil arit lalu mengerjakan pekerjaan rutin yang mungkin tidak semua anak seusiaku biasa melakukannya.

Beduk ashar bertalu-talu dari mushola kakek Usman saat aku mulai menyeret rumput-rumput untuk makanan lembu-lembu papah. Memang ladang papah berada di belakang tempat tinggal kakek Usman. Jadi hampir setiap hari aku membantu papah membersihkan ladang dan merawat lembu-lembu papah yang berjumlah tiga ekor. Setelah itu aku dan papah menuju ke mushola kakek Usman tempat biasa kami beristirahat sebelum pulang ke rumah. Seperti biasanya sore hari begini setelah sholat Ashar berjama'ah, atok wan, istri kakek Usman membawakan kami penganan ringan khas dapur atok wan. Senja hampir turun saat aku bersama papahku pulang menuju rumahku yang seperti neraka bagiku. Vespa tua berwarna putih tahun 1970-an selalu setia menemani papah kemana pun pergi.

Kami tiba di rumah disambut suara azan maghrib. Aku dan papah langsung pergi ke kamar mandi membersihkan badan yang kotor karena seharian dari ladang tadi. Setelah itu aku dan papah langsung sholat magrib bersama. Mamakku jarang mau ikut sholat bersama, aku juga tidak tau kenapa. Setiap selesai sholat papah selalu memintaku mendekat kepadanya agar bisa mengelus kepalaku dan mendo'akan diriku agar kelak menjadi orang yang berguna di muka bumi ini. Setelah itu papah melenjutkan membaca Al-Qur'an.

Aku terus menunggu papah sampai ia selesai karena ada yang ingin aku tanyakan. Rupanya papah sangat mengerti terhadap anaknya. Dia hanya membaca surat-surat pendek saja.

Setelah itu dia bertaya kepadaku "Ada apa Anta?"

Aku langsung menceritakan tentang surat yang aku berikan kepada kakek Usman tadi siang. Surat itu memang dialamatkan ke rumahku karena pos belum sampai ke ladang Kakek Usman.

Papah terseyum, dan langsung mengambil selembar kertas dan pinsil. Dan saat itu juga papah memintaku untuk segera menulis

"Aku harus menulis apa, Pah?" Aku bertanya dengan kebingungan.

"Papah mau ajarkan kamu cara menulis surat, terus nanti kamu kirimkan ke cucunya kakek Usman ya." Aku menulis sambil diajarkan cara merangkai kata oleh papah dalam kertas itu.

Tak berapa lama setelah aku belajar menulis surat, terdengar suara ketukan pintu. Tok tok tok.

"Assalammu'alaikum",

Papahku menjawab "Wa'alaikum salam."

Papah turun kebawah dan membuka pintu,

"Selamat malam Pak" sapa tamu tersebut.

Papah membalas sapanya "Selamat malam".

Aku berlari menghampiri Papah karena ingin tau siapa yang datang. Ternyata itu anak murid Papah dengan menggunakan seragam AKABRI yang sangat gagah. Papah terdiam sejenak, segera tamu tersebut langsung menyebutkan namanya

"Saya Agus Surya Bakti pak. Murid bapak yang diberi gelar bintang film India itu". Lantas mereka berdua tertawa dan saling berpelukan.

"Masya Allah.. Tak jadi artis engkau ya, tapi jadi tentara. Gagahnya. Lebih ganteng dari bintang film India. Mari duduklah." Papah mengajaknya masuk dan memanggilku.

Aku diperkenalkan papah padanya. Selama satu jam guru dan murid itu bercerita masa-masa sekolahnya yang lucu. Papahku memang guru favorit bagi semua muridnya. Hampir semua murid hormat dan sayang dengan Pak Pes, begitulah papah disapa oleh semua orang termasuk murid-muridnya.

Agus Surya Bakti salah satu murid yang hormat dengan papah. Dia menceritakan semua pengalaman bagaimana dia bisa berhasil lolos di daerah maupun di barak. Termasuk kisah Sang Taruna Merah.

****


Apa dan siapa taruna merah itu?

Nantikan jawabannya pada bab selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya lagi.

Ditunggu komen2nya,

Dukung terus dengan baca sampai selesai ya.

Go.. go.. go... Jangan lupa bagikan di media sosialmu ya....

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang