Kami meninggalkan rumah Pak Engkus dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hati. Sudah lama sekali kami tidak bertemu apalagi jalan-jalan berdua seperti ini. Sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang kami bertemu lagi dengan suasana hati yang berbeda seperti dahulu.
"Ca ... Abang mau pulang dulu ke rumah teman Abang, ya. Dekat sini kok."
"Aku ikut, ya?"
"Tentulah. Masa Abang tinggalkan di jalanan." "Sejak kapan Abang punya teman di Bandung?"
"Dia ni temen sama-sama kalah Akabri. Hanya saja dia belum sampai ke Magelang. Abang diajaknya numpang nginep di rumah temannya yang ngontrak satu rumah di situ."
"Ooo."
"Dia bilang mau kenalan sama kamu juga. Nanti jangan terlalu banyak bicara dengannya, ya." Aku memperingatkan.
"Kenapa rupanya, Bang?"
"Soalnya dia agak genit," jawabku. Oca menganggukkan kepalanya.
Sebetulnya, aku memang mau kenalkan Oca sama si Kiting itu, karena dia sering kali bilang kalau belum ada cewek yang mau sama aku sampai umur segini berarti tak laku alias bujang lapuk.
"Hei, genk! Wah siapa itu, Ta? Sudah jumpa rupanya kau dengan pacarmu, ya, genk? Mari sini masuk, Dek." Oca mengangguk. "Dia cewekmu rupanya, Ta. Pantaslah kau tak pernah melirik cewek lain. Sudah berapa lama rupanya kaukenal dia?"
"Coba kautanya saja langsung sama dia."
Adi Kiting menghampiri Oca dan bertanya,
"Sejak kapan Adek ini jadi cewek si Anta?"
"Sejak kecil." Jawaban Oca membuatku kaget. Tak kusangka dia bilang begitu.
"Wuih! Mantap kali kau, genk. Tipe setia rupanya kau, ya."
Aku tak mau menunggu berlama-lama, "Kiting, aden nak jalan dulu, ya."
"Aden tak diajak?" tanya si Kiting "Tidaklah, 6 tahun kami sudah tak jumpa."
"Jaga anak orang tu, ya." Begitulah kelakuan si Kiting kalau bercanda suka keterlaluan. Aku langsung mengajak Oca menyingkir dari tempat itu.
"Nah sekarang Abang mau tanya sama engkau, mau dibawa ke mana Abang ini?" Aku mengulang pertanyaan dahulu, saat aku bonceng dia dengan sepedaku di kampung.
"Ke mana saja yang Abang mau?" jawabnya sambil tertawa. Rupanya, dia masih ingat cerita masa kanak-kanak kami dahulu.
"Selama di Bandung udah jalan ke mana aja, Ca?"
"Aku hanya tau taman lalu lintas, gedung sate, alun- alun, nah Abang mau ke mana?"
"Abang mau duduk santai di tempat yang teduh di tengah kota, tapi jangan terlalu jauh."
"Taman lalu lintas aja, ya, Bang." Oca langsung menyetop angkot jurusan Ledeng-Kebon Kelapa, dan kami berdua naik ke dalamnya. Tak berapa lama, kami turun di sebuah taman yang penuh dengan anak kecil dan segala macam permainannya.
"Kamu pernah ke sini, Ca?" tanyaku menyelidik.
"Belum pernah, Bang."
"Lalu, kenapa tau tempat ini?"
"Abang gimana, sih. Ini, kan, jalur angkot pulang pergi aku berangkat ke sekolah. Tiap hari aku lewat sini."
"Ooo. Abang pikir kau sering kemari sama Bang Amir."
Oca menghentikan langkahnya. "Udah deh, Bang.
Nggak usah ngomongin dia bisa nggak?" protesnya.
Aku tersenyum. Sebetulnya, aku hanya ingin menggodanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Ficção Adolescente🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...