Kesempatan Kedua (2)

281 69 240
                                    

Aku kembali ke Dumai dengan tekad yang baru. Setelah nanti tiba di Dumai aku akan minta izin untuk pulang kembali ke Tanjung Pura. Aku akan kembali membantu papahku di ladang sambil mempersiapkan diri untuk seleksi tahun depan.

Sudah 2 bulan aku tinggal bersama Ayah di Dumai, dan sejujurnya aku tak sabar mengisi hariku dengan hal lain selain dari mengurus rumah tangga.

Aku ingin pulang. Hidupku berada di sana, di tengah ladang, di bawah terik matahari, bersama Papah. Aku rindu ladangku. Aku rindu canda Papah. Rindu tawa Atok, yang belum kusambangi pusaranya. Juga rindu cerita dan doa dari bidadariku.

Bagaimanakah dia sekarang? Apa dia sudah lupa padaku? Ah ... aku teringat foto yang kukirimkan kepadanya. Apa dia menyukainya? Atau sudah ada orang lain di hatinya? Mungkin bukan aku yang dia mau. Seandainya Kakek Usman masih ada, akan kuminta Atok mengatakan kalau aku bersedia menjaga dirinya sampai akhir hayatku. Namun terlambat, aku tak mungkin bertemu Atok lagi.

Tiba di rumah Ayah, aku langsung membereskan semua pakaianku. Umi dan Ayah sedang duduk di ruang tengah. Kuhampiri mereka,

"Umi, Ayah, mungkin Anta akan kembali ke kampung."

Umi terkejut,

"Kapan Ta?"

"Dalam waktu dekat ini, Umi."

"Kenapa Anta tiba-tiba mau pulang ke kampung? Bukannya Anta mau kerja di sini saja," tanya Umi.

Aku tak bisa menjawab karena itu mungkin hanya perkataan Umi saja, tidak demikian dengan Ayah. Sampai sekarang Ayah belum pernah berkata seperti itu. Mungkin saja tidak ada keinginannya agar aku bisa benar-benar bekerja di Syahbandar.

"Nanti Anta tinggalkan berkas-berkas Anta sama Ayah, kalau memang ada kesempatan nanti Anta kembali lagi ke sini."

Umi pun terdiam. Ayah juga tidak berkata apa-apa sedari tadi.

"Anta, makanlah dulu. Kan baru pulang. Nanti kita bicara lagi," kata Umi.

Malam itu Umi menghampiriku di kamar.

"Anta, kenapa tiba-tiba Anta punya pikiran untuk kembali ke kampung? Di sana Anta, kan, tak ada kegiatan apa-apa. Kalau di sini Anta bisa dekat dengan umi."

Umi duduk di samping tempat tidurku.

"Kasihan Ayah di sini tak ada siapa-siapa yang temani."

"Anta mau persiapan untuk ikut seleksi lagi tahun depan, Mi."

Aku pun menceritakan pertemuanku dengan Ami Fikar di Pekanbaru kemarin, dan juga rencana untuk melakukan operasi varises di kakiku supaya aku bisa ikut kesempatan kedua.

"Tapi kata Anta mau bekerja di sini sama Ayah," kata Umi.

"Ayah belum pernah bilang begitu sama Anta, Mi. Tak enak juga Anta terlalu mengharap sama Ayah. Lebih baik Anta cari masa depan sendiri saja. Lagi pula, Umi juga katanya mau mengurus untuk pindah ngajar ke sini. Lebih baik Umi yang tinggal di sini, kalau kasihan sama Ayah."

Umi tak lagi melanjutkan kata-katanya. Perkataan tadi sudah cukup mengingatkan Umi akan tugas seorang istri. Mungkin seperti inilah yang terjadi pada papahku dahulu. Umi meninggalkan Papah demi tinggal dekat dengan orang tuanya.

"Baiklah Anta, tapi Umi minta janganlah buru-buru, ya, tunggulah sampai Umi kembali lagi," pinta Umi.

* * * *

Dua minggu telah berlalu, Umi belum juga datang. Sepertinya, aku harus menahan kesabaranku sebentar lagi. Dari hari ke hari aku berusaha mengurus Ayah dengan baik. Aku mencoba ikhlas dan menganggapnya seperti ayahku sendiri. Aku putuskan untuk pulang bersama Umi, dan kuharap tinggalnya aku bersama Ayah menjadi sebagian amal ibadahku.

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang