Aku tiba di kampus agak telat. Aku pikir Abang akan menjemputku sebelum berangkat.
"Sule ... Abang mana?"
"Eleuh eleuh ... si Oca. Pagi-pagi tos hayang panggih wae."
"Bukan gitu. Abang tu belum makan, soalnya aku lupa kembaliin uangnya."
"Nggak tau. Tadi aku nggak lihat si Abang. Mungkin masih tidur."
Ah ... nggak mungkin Abang tidur sampai siang begini. Itu bukan kebiasaannya. Aku tak sabar menunggu kelas berakhir. Bergegas aku menuju tempat Sule. Tiba-tiba, ada yang menarik tanganku dari belakang. Kulihat Abang sudah berada di sampingku
"Abang dari mana aja? Rapi bener."
"Besok Abang sudah mulai kerja."
"Oh ya! Di mana?"
"Tadi Abang masukin lamaran ke swalayan yang di sana itu." Abang menunjuk ke arah McDonald's di ujung jalan raya.
"Trina Swalayan?"
"Iya."
"Dekat sekali dari sini, Bang."
"Abang butuh kemeja putih dan celana hitam. Karena harus pakai itu selama 2 bulan."
"Aku antar beli yuk."
"Kemeja putihnya aja, celananya Abang sudah punya."
Kami langsung ke Kebon Kelapa tempat toko-toko pakaian.
"Yang ini bagus bahannya nggak panas, Bang." Aku memilihkan baju kemeja putih berkerah dengan bahan yang lembut.
"Jangan yang terlalu mahal, ya. Nanti uangnya nggak cukup."
"Uang Abang masih banyak aku simpan."
"Biar aja kau yang pegang."
"Nanti buat ongkos sama makan Abang gimana?"
"Abang jalan kaki aja. Kan, dekat dari kos."
"Kita makan dulu, ya, Bang. Aku belum makan juga dari pagi."
"Kenapa kau tak makan?"
"Tadi pagi aku pikir Abang jemput aku, jadi aku tungguin."
"Kayak anak kecil aja minta dijemput."
Mukaku berubah cemberut. "Loh, kan, aku pikir Abang mau sarapan dulu sama aku. Kan, uang Abang lupa aku kasih."
"Abang puasa hari ini."
"Kenapa Abang nggak bilang. Kalau mau puasa, kan, aku juga bisa ikut." Kali ini aku benar-benar marah.
"Jangan ngambek begitu dong, Sayang. Nanti hilang manisnya."
"Tinggal hitamnya gitu, ya," sambungku. "Ya udah nanti aku makannya bareng Abang buka puasa aja. Yuk kita ke masjid situ. Udah hampir azan."
Kami pun salat Magrib lalu makan di tenda soto Lamongan sebelum pulang.
Di teras rumah indekosku, kami sempat ngobrol sebentar. "Besok Abang masuk kerja jam 07.00 pagi. Jadi, seminggu pagi mulai jam 07.00-15.00, seminggu siang jam 14.00-22.00. Liburnya seminggu sekali tak boleh hari Minggu. Jadi mungkin Abang tak bisa tiap hari ke sini, ya."
"Iya nggak apa-apa."
"Boleh Abang minta jadwal kuliahmu?"
"Besok aku kasih, ya. Tapi buat apa, Bang?"
"Supaya Abang tau kau ada di kampus atau di kos."
"Kalau Abang mau ketemu aku di kampus tunggu aja tempat si Mamih."
"Iya. Tapi Abang tak suka kalau ada teman-temanmu.
Apalagi si Yana."
Aku sedikit terkejut, "Abang kenal sama Yana?"
"Tidak. Tapi dia pernah nanyakan kamu sama Mamih."
"Nggak usah diladeni, Bang. Dia itu bandel."
"Suka ganggu kau, ya?"
"Nggak, sih. Aku sering kesel aja sama dia, karena dia sering tanya aku sudah punya pacar belum? Aku bilang sudah, dia nggak percaya. Nanyain terus. Sampai aku tunjukin foto Abang sama dia, baru dia diem."
"Foto yang mana?"
"Memang Abang kasih foto aku berapa? Ya yang pakai baju loreng itu. Aku bilang pacarku tentara."
Dia terdiam sesaat sambil memperhatikanku.
"Maaf, Bang. Maaf, ya. Itu dulu sebelum Abang datang ke sini."
"Tak apa. Tapi sekarang Abang tidak jadi tentara. Apa kau malu?"
"Nggak, Bang. Malah aku senang Abang ada di sini dekat aku. Supaya kalau rindu tinggal lihat aja, nggak usah tulis surat lagi." Kami tersenyum. "Bang ... boleh aku lihat dompet Abang?" kataku penasaran.
"Abang nggak punya uang."
Aku menggeleng, "Aku nggak mau minta uang."
Lalu diberikanlah dompetnya padaku. Aku buka dan mencari-cari sesuatu. Sebuah foto. Aku tersenyum menemukannya. "Abang masih simpan foto aku, ya?"
"Iya. Kau selalu Abang bawa ke mana pun pergi."
"Aku nggak mau."
Dia terkejut. "Kenapa? Tak bolehkah?"
"Aku mau fotonya jangan simpan yang itu." Aku masuk ke kamarku, mengambil sebuah foto kecil dengan senyum paling manis lalu memberikannya padanya . "Abang simpan yang ini aja."
"Manis, ya. Tapi yang lama itu jangan diambil. Karena Abang lebih suka yang itu."
"Kenapa? Katanya yang ini lebih manis."
"Dari dulu kalau rindu, Abang selalu lihat foto itu." Sepertinya aku tersipu.
Kuberikan lagi foto kecilku padanya. "Sekarang kalau rindu gimana? Aku sudah bukan anak kecil lagi. Sekarang udah gede."
"Sekarang kalau rindu Abang langsung lihat orangnya aja." Mendengar itu, aku tertunduk sambil tersenyum.
Dia simpan kedua fotoku dalam dompetnya. "Kalau foto Abang disimpan di mana?"
"Ada. Bentar, ya." Aku kembali masuk dan keluar lagi sambil membawa fotonya yang sudah hampir remuk.
"Kenapa tak disimpan di dompet." Aku menggeleng. "Aku nggak mau."
"Kamu malu, ya, tak mau kalau ada yang lihat foto Abang."
"Bukan begitu. Aku selalu simpan di bawah bantal supaya aku bisa selalu baca tulisan di belakangnya kalau rindu sama Abang." Dia tertegun.
"Memang ada tulisan apa di balik itu?" Sepertinya dia pura-pura lupa.
"Abang baca aja sendiri," kataku sambil menyodorkan fotonya.
Foto itu dia ambil lalu diberikan kembali kepadaku, "Abang tak pernah bohong, Abang cinta kamu dari dulu." Kami saling diam.
Malam itu kami berbincang tentang banyak hal, mengingat kembali kenangan masa kecil saat kami menghabiskan waktu berkeliling kota kecil Tanjung Pura dengan sepedanya, di atas perahu kecil, dan di ladang Atok.
Tiba-tiba, Abang menunjuk bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. "Coba lihatlah bintang-bintang itu, Sayang. Mungkin kita harus mengulang kembali keinginan kita," katanya.
"Ayo Bang kita berdoa lagi untuk masa depan kita nanti," pintaku.
Kami memejamkan mata beberapa saat. Kurasakan tanganku digenggamnya erat. Aku menoleh.
"Apa yang kamu inginkan?" tanyanya.
"Rahasia," jawabku sambil tersenyum malu. "Semoga suatu saat bintang itu menjatuhkan semua impian ke pangkuan kita, ya, Bang."
"Iya, Sayang. Semoga impian kita berdua sama, ya." Abang membelai rambutku. "Abang pulang dulu, ya. Sudah malam."
Aku mengangguk. Kupandangi kepergiannya sampai Abang melambaikan tangan di tikungan. Malam itu kami sudah saling mengerti bahwa memang ada rasa cinta di antara kami. Rasa itu sudah tertanam lama sekali. Sungguh malam yang tak terlupakan.
* * * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Roman pour Adolescents🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...