Pertengkaran Hebat 2

265 62 228
                                    

Kami tiba di rumah indekos Oca pukul 03.00 dini hari. "Abang langsung pulang, ya. Jangan lupa salat Subuh

baru tidur. Besok malam Abang datang lagi," pamitku.

"Daah Abang." Oca melambaikan tangannya padaku.

Aku kembali ke tempat indekosku yang sangat sederhana. Tak kusangka Umi sampai hati kepadaku, tak mau memberiku bantuan biaya untuk masuk ke pelayaran. Padahal, aku hanya bilang pinjam dan akan aku kembalikan kalau sudah kerja.

Umi mungkin telah melupakan segala pengabdianku selama di Dumai dulu saat mengurus suaminya. Namun, sudahlah. Mau diapakan lagi? Selama ini Umi memang hanya merasa punya anak satu, Wawan.

Setelah salat Subuh aku mencoba memejamkan mata. Mulai hari ini aku harus mencari pekerjaan baru untuk bisa bertahan hidup di Kota Kembang ini.

Malam harinya mampir ke tempat Oca membawa dua porsi pecel lele. Dia sudah menungguku, lalu kami berdua menyantap makan malam sederhana itu di teras depan kamarnya.

* * * *

Aku bersiap-siap ke rumah indekos Oca untuk menyampaikan berita bagus tentang pekerjaan baruku padanya.

"Ca ... ada satu hal yang mau Abang sampaikan." "Aku juga ada, Bang."

Aku kaget. "Apa itu?"

"Abang dulu dong. Kan, yang tadi bilang duluan." "Abang udah dapat kerjaan baru. Tadi pagi "

"Oh, ya. Di mana, Bang?"

"Kauingat biliar depan tempat kita makan soto Lamongan tempo hari, kan? Tadi Abang ke situ dan ternyata di sana butuh security. Jadi, Abang langsung diterima di sana dan besok Abang sudah memutuskan untuk pindah ke situ."

"Yang di Jalan Kerapitan itu, ya, Bang?" "Iya."

"Lalu, maksudnya Abang pindah ke situ?"

"Iya, Abang juga bisa sekalian tinggal di sana karena disediakan kamar untuk security dan OB. Jadi, Abang nggak perlu bayar kos lagi. Gaji Abang juga lumayan 150 ribu."

"Baguslah, Bang. Tapi itu agak jauh dari sini, ya."

Aku tersenyum. "Pasti engkau takut Abang tidak lagi datang ke sini, ya? Jangan khawatir sayangku, Abang akan datang setiap ada kesempatan."

"Nanti gaji Abang dikumpulkan, ya, supaya bisa dipakai untuk masuk kuliah di AIP."

"Kalau itu Abang belum tau bisa atau tidak. Karena waktu pendaftarannya hanya tinggal beberapa bulan lagi."

"Sepertinya, Abang juga perlu tau berita gembira dari aku, ya."

"Oh iya. Apa itu? Ceritakanlah. Abang pengin dengar." "Aku juga sudah diterima kerja."

"Kuliahmu bagaimana?"

"Kuliahku tetap jalan terus, Bang, karena aku kerjanya mulai sore sampai tengah malam."

Sebetulnya, aku kurang suka mendengarnya. Bagaimana bisa dia ada di luar rumah sampai tengah malam. "Memangnya kamu kerja di mana?"

"Aku jadi kasir di tempat hiburan dekat sini. Itu lhoo, Bang, tempat kita suka nonton samping Hotel Horison kan ada Spec cafe dan pub. Nah, aku tadi siang ke sana dapat info dari anak ibu kos. Besok aku sudah bisa masuk dari jam

04.00 sore sampai jam 12.00 malam. Aku dapat gaji enam ratus ribu. Nanti aku akan simpan supaya Abang bisa daftar di AIP awal tahun depan."

Aku tak tahu harus senang atau sedih mendengarnya. Bidadari belahan jiwaku ini memang siap berkorban apa saja untuk membantuku.

"Abang takut nanti kalau terjadi apa-apa dengan engkau. Itu, kan, malam. Dan bagaimana kuliahmu? Nanti nilainya jadi berantakan seperti Abang dulu."

"Bismillah, ya, Bang, mudah-mudahan tidak ada apa- apa. Dan nggak akan ada pengaruh dengan kuliahku, karena kerjanya kan malam. Kuliah masih bisa tetep jalan. Apalagi tempatnya dekat sini," katanya bersemangat sekali.

"Baiklah. Kalau begitu tiap malam Abang jemput engkau, ya."

"Abang, kan, nanti nggak tinggal di tempat Sule lagi.

Lumayan jauh juga dari Kerapitan."

"Paling-paling cuma 3 kilo aja. Abang sudah biasa jalan lebih jauh dari itu. Tapi Abang punya satu permintaan. Abang minta kau turuti, ya."

"Apa itu, Bang?"

"Engkau hanya kerja selama Abang ada di Bandung saja." Dia mengangguk.

Kami pun sepakat dan mengatur hari libur yang sama supaya bisa istirahat dan jalan berdua. Aku pilih hari Senin melihat jadwal kampus yang agak padat.

* * * *

Sudah hampir 2 bulan aku bekerja di biliar ini. Memang aku bisa menyimpan lebih banyak uang, karena aku tidak lagi bayar tempat tinggal, makan juga aku sering dapat dari pengunjung atau waitress yang kerja di situ juga. Namun, pikiranku selalu tidak tenang memikirkan belahan jiwa masih di luar sana sampai tengah malam.

Setiap malam aku memang menjemputnya setelah tempat kerjaku tutup pukul 10.00 malam. Selama 2 jam lebih aku menunggunya di pos keamanan cafe itu sambil ngobrol dengan petugasnya. Pernah beberapa kali aku masuk ke dalam. Cafe dan pub itu sudah buka sejak sore. Hanya saja baru mulai ramai setelah agak malaman. Ada dua kali live music selama 1 jam di sana, yakni pukul 09.00 dan pukul

11.00. Namun, tetap saja aku terus mengkhawatirkannya. Sepandai-pandainya dia menjaga diri, aku takut ada orang berniat jahat melihat gadisku, bidadariku yang polos dan baik hati. Hatiku sungguh tak tega melihatnya harus berpayah-payah untuk membantu mewujudkan masa depanku. Betapa besar pengorbanannya untukku.

Walaupun aku berusaha menjaganya, aku tetap merasa sangat bersalah.

Aku melihat badannya sekarang agak kurus. "Oca, Abang ingin kau tidak usah lagi bekerja malam hari."

"Tapi, Bang ... aku sudah kumpulin uang, tinggal kurang sedikit lagi aja kalau ditambah dengan uang Abang pasti cukup untuk pendaftaran sekolah Abang di pelayaran."

"Abang ucapkan terima kasih sekali untuk kebaikan hatimu, Sayang. Tapi, Abang minta engkau untuk menuruti Abang. Bukankah Atok bilang begitu? Kamu harus nurut sama Abang. Abang juga sudah janji sama Atok untuk jaga engkau."

"Abang, kan, selalu jaga aku setiap hari. Aku ingin Abang jadi orang yang berhasil. Abang harus pikirkan Papah yang sudah semakin tua, sementara adik Abang banyak."

"Papah itu selalu dalam pikiran Abang, tapi kalau adik- adik, mereka ada mamaknya," kataku. "Lagi pula, Abang jadi luntang-lantung seperti ini karena pamanmu juga."

"Bang! Berhentilah menyalahkan orang dalam kegagalan kita. Walau bagaimanapun juga Ami Fikar itu pamanku. Saudara Walid. Aku takut kalau Abang berpikiran seperti ini akan membuat kita nanti selalu ribut." Oca berteriak tidak terima pamannya selalu dibawa-bawa.

'Luka di hati itu memang akan membekas sampai mati. Oca tahu betul seperti apa diriku.' aku membatin.

"Jangan begitu, Bang. Semua juga ada balasannya. Tapi tolonglah. Jangan simpan dendam di hati." Memelas sekali kudengar suaranya.

"Sepanjang hidup, Abang sudah alami banyak penderitaan, karena perpisahan orang tua. Abang tidak ingin itu terulang pada anak-anak Abang kelak." Aku berkata dingin. "Ditambah lagi dengan kegagalanku tiga kali di Magelang karena janji-janji palsu pamanmu itu."

Oca sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia terduduk di pojok ruangan dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak lagi memedulikannya. Egoku sudah ada di ubun-ubun.

"Abang pulang dulu." Kutinggalkan dia dengan hati dongkol.

* * * *


Wah tambah gawat nih...

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang