Kesempatan Terakhir

278 71 244
                                    

Jadwal penerimaan calon taruna Akabri tahun 1996 pun tiba. Kami sudah bersiap-siap memulai pertarungan di daerah untuk bisa kembali ke Lembah Tidar.

"Genk, ikutlah denganku ke rumah si Budi," ajak Adi. "Supaya dia bisa ikut mendaftar."

"Berani engkau ngomong dengan mamaknya?" tanyaku. "Si Budi pasti tak ada di rumah."

"Mana tau, genk, mamaknya berubah pikiran setelah kita kasih info."

"Ok. Kapan kita ke sana?" tanyaku lagi. "Sore ini, ya," kata Adi.

Aku menunggu Adi menjemputku dengan motor Yamaha Alfa. Adi Kiting sudah biasa balap-balapan di jalan, apalagi sejak kegagalannya tahun lalu. Dia jadi anggota genk motor Pekanbaru. Aku kadang agak takut diboncengnya. Akhirnya sampailah kami di rumah Budi di daerah Rumbai sana. Sudah bisa diduga Budi tidak ada di rumah. Hanya mamaknya saja yang terlihat.

"Adi! Lamo nian Tante tak bertemu, ya. Kau dulu satu SMP dengan Budi, ya?" tanya mamak si Budi.

"Iyo, Tante. Oh iyo Tante, ini kawan Budi waktu sama- sama di Magelang dulu. Dio juga pulang samo dengan Budi." Adi memperkenalkanku.

Aku tersenyum pada mamak si Budi.

"Mana si Budi, Tan? Apo kagiatannyo sekarang?" tanya Adi pada mamak Budi.

"Itulah yang membuat Tante bingung. Sejak kekalahannya itu dia jarang pulang ke rumah. Kuliah pun tak mau. Sekarang Tante dengar dia bergaul dengan preman- preman di Pasar Bawah." Mamak Budi menceritakan keadaan anaknya.

"Aku sudah bertemu dia, Tante. Waktu aku ke Pasar Bawah," kataku.

Wanita itu memandangku.

"Bagaimana keadaannya? Kalau bertemu dia lagi tolong tanyakan kapan dia mau pulang ke rumah?"

"Beberapa hari lagi pembukaan pendaftaran seleksi taruna dibuka, Tante. Budi bilang dia mau ikut." Tak sabar Adi menyela pembicaraan.

"Tante sudah larang Budi untuk ikut lagi, lebih baik dia kuliah. Tapi dia tetap berkeras hati," katanya.

"Mungkin itu yang menyebabkan Budi tak mau pulang, Tante." Aku memberikan pendapat. "Seandainya diizinkan mungkin dia mau pulang."

Mata perempuan paruh baya itu berkaca-kaca.

"Iya memang benar. Dia tidak mau kuliah seperti saran Tante. Jadi, dia pergi dari rumah," katanya.

"Budi masih ada kesempatan dua kali lagi untuk ikut seleksi itu. Bagaimana kalau Tante izinkan dia ikut sekali lagi saja. Setelah ini barulah dia berpikir sendiri masa depannya. Bagaimana Tante?" tanya Adi.

"Baiklah, kalau memang dia mau kembali ke rumah, Tante izinkan dia kembali ikut untuk tahun ini saja. Asal tolong kalian bawa dia pulang, ya." Akhirnya mamak Budi mengiakan.

Kami segera pamit dari sana. Tujuan kami adalah Pasar Bawah. Adi mengendarai motornya seperti orang kesetanan. Kencang sekali. Dua jam kami menunggu di pos Pasar Bawah sampai terlihat batang hidung si Budi.

"Wooy, Beng. Ayo pulang. Dipanggil mamak kau," kataku.

"Tak mau pulang aku," tolaknya.

"Engkau masih mau ikut seleksi taruna nggak?" tanya Adi.

"Itu keinginanku dari dulu. Tapi percuma saja, Mamak tidak mengizinkan. Aku pasti tak akan berhasil," jawabnya.

"Kali ini kau pasti berhasil. Cepatlah pulang. Mamak kau pasti merestui," kataku.

"Ah yang benar saja. Betul ni?" tanya Budi tak percaya.

"Perlu kami antar pula engkau pulang?" Tangan Adi menonjok bahunya. "Sudah cepatlah kau pulang. Besok kami tunggu di Korem 031 Wirabima pukul 09.00 pagi, genk."

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang