Siang itu aku menunggu Oca di warung si Mamih. "Eh ... Abang anu kasep. Mau makan, Bang?"
"Mau nunggu Oca kuliah, Mih. Boleh duduk di sini?"
"Ooo ... mangga atuh, Bang. Sok wae atuh. Neng Oca juga biasanya pulang kuliah mampir ke sini beli makan."
"Dia suka makan di sini, ya, Mih."
"Iya kadang-kadang dia makan di sini, tapi seringnya dibungkus kalau di sininya ramai anak nongkrong. Apalagi kalau ada si Yana itu."
"Yana siapa, Mih?"
"Ya itu ... Yana yang suka sama Neng Oca. Tapi bangor, Bang."
"Bangor apa, Mih?" Aku tak mengerti.
"Bangor tu bandel, Bang. Nakal. Sok bolos wae
kuliahnya. Makanya Neng Oca suka pergi kalau ada si Yana." "Ooo begitu, ya, Mih."
"Si Neng kalau main, belajar itu sama Imas, Sule, Tena, Betty, A'i, dan Agus. Tapi ada yang suka sama si Eneng tu. Bang Yudi. Dia teh kalau ke sini suka nanyain Neng Oca sama Mamih. Kadang-kadang juga suka dipinjemin buku dan dianterin ke perpustakaan."
Aku diam mendengarkan Mamih. Aku yakin pasti banyak laki-laki yang suka dengan Oca. Dia gadis yang pintar dan baik, manis juga. Sedang aku ini siapa? Aku laki- laki tanpa punya masa depan jelas.
"Door!" Tiba-tiba Oca sudah datang bersama teman- temannya. "Bang ... kenalin temen-temen aku. Tena, Betty, A'i, Agus, Sule sama Imas."
"Hai Abang ... selamat datang di Bandung," kata Tena.
"Kata Oca, Abang lagi cari kos, ya? Di tempat saya masih ada dua kamar kosong, Bang. Kalau mau, nanti dilihat aja, deket kok. Tapi ya itu, Bang, tempatnya sederhana aja. Ya biasalah Bang biar ngirit, cari yang murah." Sule menawarkan padaku.
"Ya udah, Bang. Habis makan kita lihat ke situ, ya," ajak Oca.
* * * *
Siang itu juga aku membawa ranselku ke tempat Sule. Memang harga indekos di sana sangat murah. Sejak itulah aku memulai hidupku di Kota Bandung untuk sementara waktu setelah kutinggalkan Lembah Tidar.
"Bang, kita nonton yuk. Ada film lucu di Studio 21," ajak Oca sambil membantuku merapikan semua barang- barangku.
"Film apa?"
"Abang pilih aja sendiri." Aku mengangguk setuju. Oca tersenyum, "Ayo sekarang aja, Bang, biar kita nggak kemalaman."
Oca memintaku untuk memilih film yang mau kami tonton. Film komedi itu belum cukup bisa membuatku tertawa dan melupakan kenangan pahit semenjak Lembah Tidar mengubur harapanku menjadi seorang prajurit sejati.
Malam itu setelah kami menikmati pecel lele di ujung jalan depan kampusnya, aku mengantar Oca pulang.
"Bang, tolonglah aku," ucap Oca. Aku menatap gadis itu tanpa berkedip, apa yang mau dikatakannya? Sedangkan aku saja tak bisa menolong diriku sendiri. "Tolong Abang kembalilah seperti dulu. Aku sedih kehilangan senyummu, semangatmu. Sejak tadi di bioskop Abang hanya tertawa sesaat waktu nonton aja. Udah itu cemberut lagi. Abang itu masih punya masa depan. Kan, ada aku juga di sini dengan Abang."
Aku masih belum berkata apa-apa. Mulia sekali hatimu, Sayang. Dari dulu juga itu yang selalu kaukatakan, 'ingin melihatku bahagia'. Namun, aku sendiri tak bisa membahagiakanmu. Maafkan aku. Hatiku berkata sendiri.
"Apa Abang nggak sayang sama aku?" "Kenapa kamu bilang seperti itu?"
"Karena Abang seperti tidak suka berada di dekatku." "Bukan begitu."
"Tolong, Bang. Lupakan semua yang sudah terjadi. Aku janji mulai saat ini Abang bisa mendapatkan kebahagiaan yang Abang mau."
"Semua karena ulah pamanmu," tandasku. Oca mengerutkan dahinya.
"Jangan menyalahkan orang lain, Bang, nggak baik," katanya. "Ami Fikar sudah berusaha membantu, kan?"
"Jadi apa maumu? Abang tidak punya apa-apa." Emosiku mulai bermain.
"Aku juga tidak butuh apa-apa. Yang aku butuh itu semangat dan keyakinan kalau Abang bisa bahagia, itu saja cukup. Setelah itu, kita pikirkan sama-sama gimana caranya. Senyumlah, Bang. Kalau bener Abang sayang sama aku, senyumlah buatku." Matanya mulai direnangi air. Itu yang aku takutkan. Aku benci melihatnya menangis.
"Iya, Sayang, terima kasih sudah sangat perhatian sama Abang." Aku mencoba tersenyum dan membelai rambut belahan jiwaku. "Tapi Abang belum bisa mewujudkan janji Abang sama kamu."
"Janji apa?"
"Sejak Abang meninggalkan Lembah Tidar, yang ada dalam pikiran adalah Abang bukan laki-laki yang bisa membahagiakanmu. Karena Abang gagal mewujudkan cita-cita Abang sendiri. Tiga tahun berturut-turut Abang berupaya tapi masih tetap gagal juga."
"Itu bukanlah yang terbaik buat Abang menurut Allah. Aku nggak peduli Abang jadi tentara atau tidak, yang penting aku tetap sayang sama Abang." Dia mengatakannya sambil menunduk.
Betapa terenyuh hatiku, ternyata ada seorang gadis yang betul-betul tulus menyayangiku. Walaupun dengan keadaanku yang sedang hancur lebur seperti ini. Teringat kembali pesan Kakek Usman kepadaku. Apa ini yang dimaksud Atok kalau aku akan lewati hidup penuh makna dengan Oca.
"Abang mau tinggal di Bandung dekat kamu. Besok Abang mau cari kerja, ya." Aku lihat matanya yang besar
bersinar-sinar gembira. "Tapi, mungkin Abang tidak bisa meminangmu cepat-cepat." Aku menggodanya.
"Aku juga nggak mau cepat-cepat," jawabnya. "Kenapa?"
"Kan, dulu Abang yang bilang kalau Abang lulus juga baru bisa menikahiku paling cepat 3 tahun lagi. Jadi, masih ada waktu buat Abang kalau mau kerja, dan aku juga bisa selesaikan kuliah dulu, ya, Bang."
Aku mengangguk. Dia terlihat sangat senang dengan keputusanku untuk tinggal di Bandung.
"Terima kasih Abang sudah bikin aku bahagia," katanya. "
Terbalik, Sayang, harusnya Abang yang bilang begitu."
* * * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Teen Fiction🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...