Kembali kucoba peruntunganku yang kedua kalinya. Ami Fikar sudah membantu mengoperasi varisesku sehingga aku bisa kembali mengikuti seleksi calon taruna Akabri di Pekanbaru di Korem 031 Wirabima yang masih dalam satu wilayah dengan Kodam I Bukit Barisan.
Aku juga bertemu kembali dengan Adi, pemuda yang pernah kulihat di rumah Ami Fikar waktu itu. Kami berdua mengikuti rangkaian proses seleksi mulai dari administrasi, kesehatan, jasmani dan postur tubuh (kesamaptaan), mental ideologi, psikotes, dan pantukhir. Tiap tahapan itu kami lewati dengan sistem gugur. Aku melewati tahap demi tahap seleksi itu dengan lancar. Di sinilah aku berkenalan dengan para calon taruna lain yang di kemudian hari menjadi sahabat terbaikku. Sejatinya, kami semua di sini adalah bersaing. Sobatku Adi gagal dalam psikotes. Dia tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Akademi Militer di Magelang. Dengan kepala tertunduk, dia meninggalkan ajang persaingan ini diiringi air mata. Kami saling berpelukan sebagai salam perpisahan.
"Selamat berjuang, sobat," katanya dengan legowo.
"Jangan patah semangat, bro. Hidup masih berlanjut." Aku berpesan padanya.
"Kita jumpa di Bandung nanti, ya. Aku mungkin akan kuliah di sana," katanya.
Mendengar Bandung aku langsung teringat sang bidadari. Aku memang akan ke sana menemui belahan jiwaku.
"Pasti aden akan datang temui kau di sana," jawabku.
Aku mengenal Djunaedi ini dengan panggilan Adi Kiting, karena dia memiliki rambut ikal keriting. Ayahnya bekerja di kantor Pemda Riau dan ibunya yang biasa dipanggil Wak Rut adalah perias pengantin yang sudah terkenal di Kota Pekanbaru.
Banyak kesedihan kutemui saat kegagalan pada waktu penentuan akhir (pantukhir) diumumkan, baik di daerah maupun di pusat. Pantukhir ini menjadi penentuan bagi semua calon taruna yang lolos. Pada tahap inilah hasil keseluruhan tes diperhitungkan, termasuk siapa orang tua
dan sponsor calon taruna, walaupun itu tidak menjadi hal yang utama.
Tahap demi tahap seleksi di daerah telah kulewati dengan semangat membara. Sampai pada akhirnya aku pun terpilih sebagai salah satu peserta yang lolos dan berangkat menuju Akademi Militer di Magelang Jawa Tengah untuk melanjutkan seleksi tingkat pusat. Aku berharap ini adalah akhir perjuangan dari cita-citaku selama ini. Akhirnya aku akan bisa meraih semuanya. Sebelum berangkat aku sempatkan untuk ziarah ke makam Kakek Usman dan istrinya. Tak lupa pula aku minta doa restu dari umiku.
Papahmengantarkankuketerminalbuspemberangkatan di Pekanbaru. Papah memang menyempatkan diri datang untuk memberi semangat kepada anaknya sebelum menuju ke Magelang. Dari sinilah perjuanganku berawal. Aku bersama dengan beberapa teman lainnya yang sangat aku kenal, mereka adalah Rio Sukamto, Priabudi, Dedi Kesuma Jaya, Raja Bonatugu, Hamonangan Lumban Turuan, Winardi, Ferdinan Ginting, Donwil Pangabean, dan rekan yang lain. Kami akan berjuang untuk menjadi patriot sejati. Sesampainya di Magelang, kami mengikuti tes yang lebih ketat dan bersaing dengan semua utusan dari seluruh daerah di Indonesia. Semua nomor peserta kami dari daerah masing-masing telah diganti. Nomorku 1575.
* * * *
Kami menjalani seleksi calon taruna tingkat pusat selama tiga minggu di Akademi Militer Kota Magelang. Semua aturan ala militer sudah menjadi rutinitas kami sehari- hari. Di sana kami ditempatkan di batalion I bersama dengan calon taruna dari sub pendaftaran daerah lainnya. Ada Subpanda Medan, Sulawesi, dan masih banyak lagi dari tempat di seluruh Indonesia. Kami dari Subpanda Pekanbaru berada dalam barak yang sama dengan calon taruna dari Subpanda Pontianak dan Subpanda Makassar. Satu batalion berisikan seribu orang calon taruna, dan peserta seleksi pusat ini semua ada tiga batalion, jadi masih ada batalion II dan batalion III.
Setiap hari selama berada di sana, kami sangat bersahabat dengan suara-suara terompet yang berbunyi sebanyak enam kali. Dimulai dari pukul 04.00 pagi, itulah saatnya aktivitas kami dimulai dari bangun tidur, beribadah, mandi, dan olahraga. Selanjutnya terompet kedua pukul
06.00 pagi sebagai pertanda pengibaran bendera merah putih diikuti dengan apel pagi dan dilanjutkan dengan sarapan bersama ala-ala militer. Kami harus menghabiskan dengan cepat makanan yang sudah disiapkan di ruang makan yang menampung semua peserta dari ketiga batalion hanya dalam waktu lima belas menit. Setelah itu barulah kegiatan seleksi dan pemberian materi dilaksanakan secara bergantian menurut jadwal yang sudah ditentukan.
Pada pukul 12.00 siang, terompet kembali berbunyi untuk menandai waktu istirahat. Semua calon taruna mendapatkan jatah makan siang. Setelah makan dan beribadah, kami diperkenankan untuk istirahat jika tidak ada jadwal materi dan kegiatan lainnya.
Terompet keempat berbunyi pukul 16.00 untuk menandai aktivitas sore hari. Mengantre mandi menjadi salah satu aktivitas tersebut, karena hanya tersedia 40 kamar mandi dan 40 toilet yang letaknya berseberangan di tengah empat barak yang dihuni oleh 400 orang. Sisanya di barak sebelah untuk 600 peserta lain di batalion I. Tak jarang di antara kami harus mandi berdua bahkan bertiga dalam satu kamar mandi.
Terompet kelima dibunyikan pukul 18.00 sebagai pertanda bendera diturunkan, dilanjutkan dengan aktivitas menjelang malam lainnya, seperti makan dan beribadah. Terakhir terompet pukul 21.00 untuk melaksanakan apel malam kemudian istirahat. Semua calon taruna diharuskan tidur paling akhir pukul 10 malam dengan pemeriksaan yang ketat oleh pengasuh batalion yang akan berkeliling memeriksa ke dalam tiap barak.
Aku berada di barak yang sama dengan kedelapan teman seperjuanganku dari Pekanbaru. Kami bergabung dengan peserta lain dari Makassar dan Pontianak, yang tergabung dalam Subpanda Kodam Tanjungpura.
Sempat pula suatu hari terjadi insiden antara sobatku Raja Bonatugu dengan salah satu calon peserta dari Makassar. Insiden itu bermula akibat senggolan pada saat baris berbaris, yang berlanjut di ruang makan dan saat olahraga sore. Beruntungnya hal ini bisa diselesaikan oleh para peserta di dalam barak sehingga tidak sampai terdengar oleh pengasuh batalion kami.
"Jangan buat perkara, bro." Dedi KJ memperingatkan Raja saat kami duduk-duduk istirahat setelah olahraga.
"Bukan begitu, teman, sombong kali si Tomi itu main tendang-tendang di barisan. Naik darah ke kepala awak ini," protes Raja.
"Sudahlah. Anggap saja tak bisa baris dia. Jangan pula kauganggu dia di ruang makan." Aku juga ikut memperingatkan.
"Macam mana tak naik darah awak. Kalau hanya sekali bolehlah awak maafkan, tapi ini berkali-kali pula. Patutnya awak kasi pelajaran kalau macam itu," sahutnya.
"Heh. Dengar kau, ya, Raja. Jangan mentang-mentang pandai karate, kau bikin rusuh. Bisa dipulangkan kau nanti." Budi ikut menengahi.
"Okelah. Aku tak akan ganggu dia lagi," kata Raja.
"Kalau engkau mau tunjukkan kemampuan, tarunglah engkau dengan si Rio Sukamto. Itu dia sudah nunggu engkau di bawah pohon sana." Aku menunjuk Rio yang sedang melemaskan kakinya bersiap untuk lari sore.
"Manalah mungkin awak berani dengan juara kempo. Keok aku," jawab Raja sambil terkekeh.
"Makanya cari aman sajalah, bro. Mari kita susul Kenshi," ajakku.
Begitulah biasanya Rio Sukamto dipanggil. Kenshi adalah julukan dari kami untuk dia yang jago kempo. Karena keahliannya itu pula membuat dia bisa mudah lolos sampai ke Lembah Tidar ini.
Kami menuju ke hamparan rumput sebelum berlari mengelilingi area bangsal dalam kompleks Candradimuka. Di kejauhan kami bisa memandang Bukit Tidar yang menghijau. Ke sanalah nanti kami akan menuju apabila bisa melewati seleksi calon taruna ini. Bukit dan Lembah Tidar itulah lokasi di mana semua prajurit taruna nantinya akan mengikuti latihan Candradimuka atau biasa disebut basis. Saat itu kami tidak bisa menebak siapa di antara kami yang akan lolos ke sana. Sebenarnya, kami semua di sini saling bersaing.
****
Tambah seru kan ceritanya...
Ikuti kelanjutannya yaaa.
Trimakasih semuanya...
Jangan lupa share everyone....
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Ficção Adolescente🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...