Hati yang Terluka

319 79 269
                                    

Sudah dua hari aku tak ke rumah Kakek Usman, dan tak juga bertemu dengan semua orang di sana sejak kejadian itu.

Aku takut dan merasa sangat bersalah. Padahal, besok tamu dari Palembang itu akan pulang.

Sebetulnya, aku ingin sekali berjumpa dengan Oca, tetapi larangan Kakek Usman kembali terngiang-ngiang. Papahku pun tak lagi mengajakku ke sana karena sedang sibuk di kantor mempersiapkan pekan ujian. Papahku guru biologi di SMA. Mirisnya, aku disuruh Papah belajar di rumah supaya nilai ujian nanti bagus. Padahal, setiap berada di rumah yang kudapatkan hanyalah cacian dan kemarahan dari Mamak. Aku pun tak tahu kenapa Mamak sering bicara kasar dan membentak-bentakku, seakan-akan aku ini bukan anaknya.

Hari itu aku disuruhnya menyetrika baju-baju yang sudah kering dari jemuran. Sedangkan kedua adikku berkejaran mengelilingi meja kaca. Karena khawatir, aku melarang mereka dan menurunkan adikku yang bernama Atun dari atas meja kaca. "Jangan main di meja kaca nanti pecah."

Namun, tak disangka salah satu adikku berteriak, "Mak!! Bang Anta nakal."

Terdengar suara keras Mamak dari bawah, "Jangan kauganggu mereka lagi main."

Aku pun teriak, "Mereka main di meja kaca, Mak, nanti jatoh bagaimana?!"

Bukannya berhenti, kedua adikku malah semakin menjadi. Salah satu dari mereka mencubitku dan yang satunya lagi mencibirku.

"Terserah kalian kalau tak bisa di kasih tau," kataku.

Aku pun lanjut menyetrika, hingga tak lama kemudian terjadilah peristiwa yang membuat hatiku terasa sangat sakit.

Praang!!

Apa yang kukhawatirkan betul-betul kejadian. Meja kaca itu akhirnya pecah. Tergesa kuhampiri mereka. Ternyata, satu dari adikku terluka di bagian kepala. Dia menangis sangat keras. Aku mengangkatnya dari serpihan kaca, lalu menutup luka di kepalanya.

Maaak, Atun berdarah," teriakku.

Kulihat Mamak datang tergopoh-gopoh ingin memukulku. "Antaaa!! Kau betul-betul anak tak tau diuntung! Kau apakan anakku!?"

Mamak marah seperti orang kemasukan setan, sampai dia tak bertanya lagi kenapa, ada apa meja bisa pecah begitu. Dia langsung membawa Atun ke rumah sakit dengan becak. Aku bingung dan kalut. Pasti aku yang akan jadi sasaran kemarahan Mamak.

Beberapa jam kemudian, mereka pun pulang dari rumah sakit. Alhamdulillah Atun selamat dan masih bisa bicara. Hanya saja kepalanya harus dibalut dengan perban. Sementara itu, aku pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seperti dugaanku, setelah meletakkan adikku Atun di tempat tidur, Mamak menghajarku habis-habisan. Aku dituduhnya mencederai Atun. Perkataan Mamak itu dikatakannya kepada semua orang. Juga kepada Papah supaya aku dibencinya.

Sikap Mamak yang kelewat batas, kadang menimbulkan pertanyaan bagiku. Ada apa sebenarnya? Mengapa sejak dulu ada perbedaan sikap Mamak terhadapku dengan anak-anaknya yang lain. Mamak sering sekali marah-marah kepadaku bahkan selalu memukul.

Suatu hari keributan terjadi lagi. Aku hendak mengambil buku pelajaranku yang tertinggal, dan masuk ke rumah tanpa membuka sepatu. Melihat itu Mamak marah besar dan langsung menghampiri untuk memukulku. Namun, karena aku terburu-buru dan tak mau dipukul, aku lari ke pintu. Saat itulah, Mamak melemparku dengan mangkok rantang yang terbuat dari kaleng tabal dan mengenai pinggangku.

"Aduh!!" Aku merintih menahan sakit sambil berlari menghindar dari amukan Mamak yang masih ingin melempariku.

Setelah itu, kudengar lagi untuk kesekian kalinya makian dan sumpah serapah dari mulutnya. "Minggat kau!! Sana pergilah kau ke rumah mamak kau si Banin ngentir!!"

Bagaikan petir, kalimat itu menyambar telingaku. Apa sebenarnya maksud Mamak bicara begitu kepadaku. Kenapa Mamak sangat membenciku dan sering kali mengusirku dengan kalimat yang sama? Padahal, setiap hari aku selalu membersihkan rumah seperti layaknya seorang pembantu. Kadang, aku pun disuruh belanja ke pasarsebelum berangkat sekolah. Pakaianku juga aku cuci dan kusetrika sendiri. Di mana salahku? Siapa Banin ngentir itu?

Dengan langkah gontai aku menuju ke sekolah Papah, berharap papahku ada di sana. Mataku ini rasanya sudah kehabisan air mata, tak bisa lagi menangis karena seringnya mendapatkan penderitaan batin seperti ini. Padahal, aku hanyalah seorang anak laki-laki berumur 8 tahun, tetapi mengapa derita hidup sudah panjang berderet-deret?

Betapa terkejutnya Papah melihatku muncul dengan keadaan yang menyedihkan itu. Namun, seperti biasa tak sepatah kata pun keluar dari mulut Papah untuk meluruskan keadaan. Malam itu aku pulang dengan Papah dan langsung dibawa ke kamarku di atas. Mamak sudah tak terlihat lagi. Sudah hal yang biasa jika terjadi pertengkaran pasti dia langsung mengurung diri di kamarnya atau pergi.

****

Sedih ya nasib Anta punya ibu tiri jahat seperti yang ada di film2..

Gimana kisah selanjutnya? Ikuti Terus ya teman2...

Jangan lupa komennya gaees.. 

Share sebanyak-banyaknya ya.... 

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang