1994 (1)

285 73 241
                                    

Tahun demi tahun aku lewati dengan penuh pengharapan.

Akhirnya pembukaan pendaftaran penerimaan calon taruna Akabri pun dibuka pada bulan Maret 1994.

Aku meminta doa kepada papahku dan Kakek Usman untuk mendaftar ke Kodam I Bukit Barisan di Medan. Segala persyaratan sudah aku siapkan dari jauh- jauh hari. Papahku tidak mengantarku ke Medan.

Aku berangkat sendiri. Papah hanya berpesan, "Cobalah dan semoga berhasil."

Satu tahun belakangan ini aku jarang berkirim surat dengan bidadariku. Dia sekarang pindah ke Bandung, dan sudah kelas dua SMA. Ayahnya dipindahkan tugas ke Pulau Jawa tepatnya di Kota Cirebon. Namun, dia tetap ingat kepadaku, masih memberi motivasi, dan selalu mendoakanku.

Karena sekarang aku sedang ikut seleksi calon taruna Akabri, maka aku agak sering mampir ke Stabat menengok umiku. Biasanya sebelum pulang ke Tanjung Pura, dari Medan aku mampir sebentar. Sekalian aku sampaikan bahwa akan mengikuti seleksi ini.

Hari itu sebelum pulang aku bertemu dengan Umi di rumahnya.

"Asalamualaikum," Umi membuka pintu.

"Anta ... dari mana sore begini, Nak?" Umi memelukku dan mengajak masuk ke rumahnya.

"Anta baru menyerahkan berkas-berkas pendaftaran untuk ikut seleksi Akabri di Medan, Mi," jawabku.

"Anta mau jadi tentara?" tanya Umi.

"Iya, Umi. Sekalian Anta juga mau minta doa Umi supaya nanti Anta bisa lulus sampai tahap akhir," kataku.

"Tentulah Umi doakan Anta. Setiap saat, selepas salat Umi selalu mendoakan Anta. Tak ada yang bisa Umi buat selain mendoakan Anta, apalagi Umi pun jarang nampak Anta. Hanya teringat selalu sama Anta."

Umi mulai sentimental. Dia memang gampang sekali berlinangan air mata. Mungkin karena dia tak pernah mencurahkan kasih sayangnya kepadaku dan jarang pula aku bertemu dengannya.

Keluarga umiku masih sangat kental aturan budaya kerajaan Melayunya. Jadi terkadang aku masih agak canggung.

"Tidur sini Anta malam ini, ya. Ada yang mau Umi sampaikan sama Anta. Biar enak kita bercerita," pinta Umi.

"Soal apa itu, Mi?" tanyaku.

"Nantilah, kalau sudah selesai urusan Anta di Medan, ada beberapa hal yang mau Umi sampaikan," lanjutnya.

"Baiklah Umi. Lain waktu Anta tidur di rumah Umi. Doakan Anta, ya, Mi."

Aku pun berpamitan untuk pulang ke Tanjung Pura.

Sambil menunggu pengumuman seleksi tahap berikutnya, aku masih selalu dengan tugas-tugas rutinku di ladang. Beberapa bulan belakangan ini aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Kakek Usman, mengingat kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Setiap harinya beliau selalu menyampaikan pesan dan cerita- cerita masa mudanya, tentang anak-anak dan cucunya. Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa aku ambil dari pengalamannya.

* * * *

Aku percepat laju sepedaku untuk menyampaikan surat Oca pada atoknya. Semoga ini bisa menjadikan kesehatan Atok Usman bertambah baik. Seperti sudah mengetahui, dia duduk menunggu di ruang tamu sambil mengisap rokoknya.

"Tok ... ini ada surat dari cucu kesayangan Atok," kataku sambil menyerahkan suratnya.

"Anta pun juga terima surat, kan?" tanya Atok sambil tersenyum.

"Iya Atok." Aku tak kuasa berbohong.

Lagi pula, Atok juga sudah tahu kalau Oca dan aku sering berkirim surat. Oca sendiri yang menceritakan pada kakeknya ini.

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang