Kesempatan Kedua (1)

280 74 245
                                    

Kepergianku ke Kota Dumai, sesungguhnya membawa kesedihan yang teramat dalam. Alangkah malang nasibku, hampir dalam satu waktu bersamaan kenyataan hidup yang pahit bertubi-tubi datang menghantam. Aku mungkin akan memulai hidup baru dari sini. Mungkin. Aku tak tahu. Kucoba mengikuti apa kehendak Tuhan yang akan berlaku atas diriku.

Ayah tiriku punya tiga anak, semuanya laki-laki. Namun, tak ada satu pun yang tinggal di rumahnya. Sungguh, aku sangat enggan meninggalkan Papah. Namun, mungkin di sini aku bisa mendapat masa depan baru. Aku bisa mulai bekerja seperti yang dikatakan Umi kepadaku, kalau Ayah akan memasukkanku bekerja di Syahbandar tempatnya bertugas.

"Anta, jalan-jalanlah dulu, supaya kaukenal kota ini. Jangan sampai nanti kau tersesat."

Ayah mencoba mulai akrab denganku.

"Iya, Ayah."

Dumai kota pelabuhan kecil, tetapi penghuninya dari bermacam daerah.

Hanya 1 minggu dari pernikahannya, Umi sudah pulang ke Stabat. Dia memang masih bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah dasar di sana. Katanya, dia akan segera mengurus kepindahannya ke Dumai.

"Umi harus pulang ke Stabat. Anta tinggallah bersama Ayah di sini, ya."

Aku mengangguk saja. Umi berjanji akan datang ke sini seminggu sekali.

"Bang, Anta ini pandai masaklah. Enak lagi rasanya kalau dia masak. Nanti Abang tak perlu juga makan di luar. Iya, kan, Ta? Bisa, ya, Anta bantu bikin-bikin rendang atau apalah. Suka hati Anta saja."

Umi memintaku membantu pekerjaannya selama dia tak ada.

Sejak saat itulah aku menjadi asisten Ayah di rumahnya. Melayani semua keperluannya. Dari hari ke hari pekerjaan rumah tangga menjadi rutinitasku. Sementara Umi, sudah hampir 2 minggu belum juga kembali.

Setiap malam aku menunggu Ayah membicarakan kapan aku bisa mulai bekerja di Syahbandar. Namun, pembicaraan itu tak kunjung datang. Aku semakin yakin kalau itu sebenarnya hanya basa basi saja, supaya aku bisa turuti permintaan Umi. Barulah setelah sebulan Umi akhirnya datang dari Stabat.

"Maafkan Umi, ya, tak bisa Umi sering-sering tinggalkan Siti."

Aku teringat nenekku itu.

"Mungkin seperti inilah dulu Umi perlakukan Papah, ya?" pikirku.

"Oh iya Anta ada barang titipan dari papahmu untuk disampaikan ke rumah Ami Fikar di Pekanbaru. Alamatnya ada di situ."

Umi memberikan bungkusan kecil seperti map bertuliskan alamat Ami Fikar di Pekanbaru.

"Tapi jangan pula Anta buru-buru ke sana, ya. Tunggulah Umi nanti kembali ke sini lagi, ya."

"Kapan itu Umi?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

"Entahlah. Mungkin 1 atau 2 minggu lagi."

"Baiklah."

Senin pagi Umi kembali lagi ke Stabat. Firasatku berkata tidak mungkin akan datang lagi dalam waktu 1 atau 2 minggu. Yaah ... aku hanya bisa menunggu dan kembali bekerja di rumah Ayah.

Sama seperti bulan lalu, Umi baru datang setelah 1 bulan. Aku dibiarkan menunggu dan berharap kosong tentang pekerjaan yang dijanjikan ayah tiri kepadaku.

Malam itu aku beranikan diri untuk bicara.

"Ayah, kapan kira-kira Anta bisa mulai bekerja di Syahbandar tempat Ayah itu? Sampai sekarang Anta belum diminta berkas lamaran atau yang lainnya."

Ayah agak terkejut dan menatapku. Dia tidak menyangka aku akan berkata demikian di depan Umi.

"Apa Abang belum lagi bawa Anta ke sana, Bang?" tanya umiku.

"Belumlah sempat, Dik. Tapi tunggulah dua tiga hari ini mungkin ada informasi," jawab ayah tiriku itu.

Biasanya, Umi pulang ke Stabat pada Senin pagi.

"Mumpung Umi ada di sini, besok pagi Anta minta izin mau ke Pekanbaru ke rumah Ami Fikar."

Sebetulnya, aku melihat keberatan di mata Umi, tetapi memang aku hanya menagih janjinya. Padahal, aku bisa ke Pekanbaru kalau Umi sudah datang. Maka tak kusia-siakan kesempatan ini. Lagi pula, aku merasa ayah tiriku sepertinya mau tak mau untuk membantuku mendapatkan pekerjaan.

Selama ini aku hanya bekerja di rumah: memasak, mencuci, dan semua pekerjaan rumah lainnya. Biarlah sekarang Umi yang mengerjakannya.

Aku sudah bersiap berangkat saat Umi berkata,

"Jangan lama-lama, ya, Anta, hari Senin Umi sudah harus pulang ke Stabat."

"Insyaallah Mi," jawabku.

*****

Aku sudah terbiasa naik turun bus waktu bolak-balik ke Medan. Alamat Ami Fikar sudah kucatat. Dari Dumai ke Pekanbaru memakan waktu sekitar 4 jam perjalanan. Sudah kubawakan barang yang dititipkan oleh papahku itu.

Menjelang salat Jumat aku sudah tiba di Pekanbaru. Langsung kucari masjid agung untuk ikut salat Jumat sebelum menuju ke tujuan. Rumah Ami Fikar tak sulit ditemukan karena berada di kompleks TNI-AD. Aku tahu kalau Ami Fikar ini bekerja di rumah sakit milik tentara, karena beliau ini dokter.

Dulu setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Ami Fikar memulai kariernya sebagai tentara lewat sepawamil yaitu pendidikan militer untuk tingkat sarjana. Sekarang Ami Fikar sudah berpangkat mayor. Tak disangka pada saat aku bertanya alamat dengan petugas jaga di depan kompleks itu, dia langsung mengantarkan aku ke rumah Ami Fikar.

"Asalamualaikum, Ami." Dia langsung melihat ke arahku.

"Oo ... Anta! Masuk, masuklah dulu. Sebentar Ami masih ada urusan."

Setibanya aku di sana, Ami Fikar sedang menerima tamu dan langsung mempersilakanku masuk menuju ruang tengah.

Seorang wanita paruh baya dan anak laki-laki hampir seusiaku sedang berbincang. Sepintas aku mendengar pembicaraan seputar jadwal seleksi daerah untuk calon perwira ABRI. Kulihat nama yang tertera pada kertas di meja, Djunaedi.

"Fikar, awak serahkanlah semua sama engkau macam mana supaya anakku bisa diterima waktu seleksi nanti.

Awak betul-betul minta tolong kali, ya, Fikar."

Kudengar suara memelas dari wanita itu.

"Tengoklah nanti sampai mana kemampuan dia ini, Kak Rut. Awak tak bisa pula menjamin, hanya bisa memberikan pengarahan saja supaya si Adi ini mempersiapkannya dengan maksimal," kata Ami Fikar.

"Baiklah awak ikut peraturan saja. Tapi tolonglah upayakan, ya, Fikar. Apa pun awak kasih asalkan anak awak bisa lulus," kata perempuan itu sambil berpamitan.

Agak canggung juga aku karena belum terbiasa dengan keluarga ini.

"Mari sinilah masuk." Nda Mala, istri Ami Fikar memanggilku.

Mereka punya dua anak, Kiki dan Cici. Tak lama Ami Fikar pun masuk menemuiku.

"Ini titipan Papah untuk Ami Fikar."

Kuserahkan kotak kecil yang kubawa dari Dumai.

"Papah menitipkannya pada Umi untuk disampaikan pada Ami."

"Itu buku Kiki dan Cici yang ketinggalan di Medan. Dia, kan, mau persiapan ujian akhir SMP. Oh, ya, Ami dengar Anta gagal di seleksi kesehatan, ya?" tanyanya.

"Iya Ami. Ada varises di kaki Anta. Sepertinya memang bukan rezeki Anta untuk jadi tentara," jawabku.

"Oh. Bisa itu. Kalau cuma varises saja masih bisa diupayakan. Mana mari sini Ami tengok dulu varises macam apa itu."

Aku pun menunjukkan urat yang menonjol di belakang lututku.

"Kalau ini, sih, masih bisa dioperasi, Ta. Begini saja, nanti kurang 2 atau 3 bulan menjelang seleksi, Ami bawa kau ke Rumah Sakit Tentara Putri Hijau di Medan, ya. Kalau itu sudah hilang, tak jadi soal nanti kau mendaftar lagi saja tahun depan. Kesempatan seleksi jadi tentara itu masih bisa tiga kali. Tahun depan ini kesempatan kedua buat kau."

Mendengar kata-kata Ami Fikar memberiku secercah harapan.

* * * *

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang