Pertemuan yang Menjengkelkan 2

326 71 267
                                    

Pagi yang cerah, kami sudah bersiap hadir ke acara ulang tahun Kak Evi anaknya Wak Teta di Pulau Banyak. Sebenarnya, aku malas ikut karena pasti ada si Oca yang sok akrab itu. Namun, karena Papah juga ingin ngobrol- ngobrol dengan Ami Farhan, adiknya yang sudah datang jauh-jauh dari Palembang, jadi aku harus ikut. Kami semua berkumpul di rumah Nda Cik, rumah yang berada tepat di samping rumahku.

Kami bertiga: aku, Oca, dan Pian—adiknya Oca—sudah didandani dengan baju-baju bagus oleh Kak Eli anak Nda Cik. Kak Eli sudah menyusun acara, siapa saja yang nanti harus nyanyi dan sudah menyiapkan lagu-lagunya.

Sesampainya kami di tempat tujuan, acaranya langsung dimulai. Kami disambut dengan meriah. Maklumlah, kan, ada tamu jauh dari Palembang. Aku melihat Oca sudah mulai bergaya, semua lagu dia lahap habis, mulai dari pelangi-pelangi, balonku ada lima, juga naik delman. Aku kagum juga sama anak perempuan pemberani itu. Cepat sekali dia berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana, padahal kan dia tak pernah bertemu dengan mereka. Dia memang lincah dan cerdas. Sebentar saja dia sudah menjadi pusat perhatian di tempat itu. Berbeda sekali denganku. Aku disuruh nyanyi ke depan saja susah. Harus setengah dipaksa, barulah aku menyanyi dan itu pun dengan kepala tertunduk.

Setelah acara ulang tahun Kak Evi selesai, kami berjalan-jalan keliling Kota Tanjung Pura. Ami Farhan ingin bersilaturahmi dengan keluarganya di kota kecil tanah kelahirannya ini. Kami segera menuju Masjid Azizi untuk salat Zuhur dan ziarah ke makam keluarga yang ada di samping masjid tersebut. Salah satunya makam Tengku Amir Hamzah, pujangga tanah Melayu yang terkenal itu. Tak henti-hentinya Oca bertanya tentang siapa-siapa saja orang yang dimakamkan di tempat tersebut. Dengan sabar Kakek Usman, Atok Wan, dan papahku bergantian menceritakan sejarah orang-orang itu, siapa saja mereka, dan apa hubungannya dengan keluarga kami, sampai pada silsilah kesultanan Langkat yang kerajaannya sudah hangus terbakar pada saat terjadi pemberontakan tahun 1948.

"Atok, kalau begitu kita ini keturunan raja-raja di sini, ya?" tanya Oca. "Aku pernah lomba baca puisi karya-karya Tengku Amir Hamzah, Tok. Kata bu guru, Tengku Amir Hamzah itu sastrawan hebat. Aku punya buku yang isinya kumpulan puisi Pujangga Baru."

Diam-diam aku mulai mengakui dalam hati kecerdasan gadis kecil ini. Setelah puas berkeliling, kami beristirahat sejenak di Masjid Azizi untuk berfoto. Akhirnya seharian itu aku melihat semua tingkah menyebalkan dari cucu Kakek Usman. Semua yang dekat denganku jadi punya dia. Papahku jadi papah dia, balonku jadi milik dia, Wak Teta juga wak dia, Kakek Usman itu juga cuma atok milik dia saja. Pokoknya, satu pun tak boleh dekat denganku.

Akhirnya, malam itu aku pulang dengan membawa rasa jengkel yang semuanya karena dia, anak perempuan yang jadi cucu kesayangan Kakek Usman.

* * * *

Yang satu kalem, Yang satu cerewet... Gimana itu ya?

Ditunggu komentarnya gaees....

Jangan lupa bagikan cerita seru ini ke semua orang ya.....

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang