Preman Pasar

673 103 318
                                    


Tak pernah terdengar lagi berita tentang Budi setelah kejadian sore itu selama beberapa bulan. Dia meninggalkan rumahku dalam keadaan mabuk dengan mulut yang bau minuman. Aku memasuki terminal bom baru mencari angkutan pulang menuju jalan Sudirman. Terminal ini di daerah Pasar Bawah.

Baru beberapa langkah berjalan aku merasa ada yang meraba tas ranselku dari belakang. Kupasang mata telinga waspada bersiap untuk kemungkinan terburuk. Kurasa ada rampok yang akan mencoba menggangguku. Saat itu sudah menjelang sore, pasar bawah sudah lengang. Beberapa detik kemudian aku tak bisa menunda lagi saat terasa saku belakangku dirogoh seseorang.

Aku berbalik memasang kuda-kuda. Kutepis tangan perogoh saku itu. Beberapa saat tak ada respon. Kulihat tubuh tinggi besar di hadapanku dengan wajah tertutup topi lusuh. Sesaat hening. Lalu dia tertawa terkakak terpingkal-pingkal

"Mantab kali wa'ang. Memang pantas engkau jadi perwira." Dia berkata sambil membuka topinya.

Aku menatap tajam, namun pelan-pelan mengendur juga dan ikut tertawa. Dan sesaat kemudian kami berdua sudah berpelukan setelah aku mengenali si perogoh saku celanaku.

"Engkau rupanya Bud. Kenapa lusuh kali kau. Apa kegiatanmu sekarang?" Tanyaku.

"Beginilah aku sekarang. Sejak kita dipulangkan dari barak waktu itu, aku sudah jarang pulang ke rumah. Sekarang aku penguasa di pasar bawah ini." Kisahnya. "Yaa. Tidak berhasil di lembah Tidar tapi aku berhasil menaklukkan wilayah ini. Mantab kan genk."

Aku mendengarkan dengan tidak percaya. Sahabat seperjuanganku telah menjadi kepala preman di pasar ini. Memang penampilannya sudah berubah. Terlihat lebih sangar. Sejak tadi kuperhatikan orang yang lalu lalang di sekitar sini semua hormat dengannya.

"Ayo genk, kita ngobrol-ngobrol di pos. Sambil ngopi-ngopi sikit." Ajaknya.

Aku tak bisa mengelak. Rindu juga aku dengan teman satu ini.

"Hendak kemana wa'ang?" tanyanya

"Aden sebenarnya tadi mau pulang. Tapi karena ketemu tukang copet gadungan disini tak jadilah." Jawabku.

"Santailah sikit. Nanti anak buahku antar engkau sampai tempat."

"Mantab kali!! Sudah punya anak buah rupanya. Sekarang pangkat sudah komandan ya ceritanya."

Kami duduk di pos, mungkin ini tempat mangkalnya semua preman yang ada disini.

"Bikin kopi dua ya Jon." Perintah si Budi pada orang yang ada disitu.

"Apa kabar mamak sama bapakmu Bud?" tanyaku

"Sudahlah jangan kau tanya. Sudah lama aku tak pulang ke rumah." Jawabnya.

"Sejak kapan engkau jadi komandan disini?" tanyaku lagi.

Dia terdiam sejenak.

"Panjang ceritanya genk. Sejak kekalahanku waktu itu, aku pulang berdua dengan Dedi KJ ke Pekanbaru ini. Sedangkan engkau entah kemana. Kupikir wa'ang sudah tak akan pulang lagi kemari. Orang tua Dedi menjemputnya di bandara. Mamak bapakku juga jemput aku. Tapi mamakku menyambut dengan suka cita kepulanganku. Barulah aku sadar kalau selama ini mamakku tak pernah setuju apalagi mendukung aku untuk jadi tentara atau apapun itu yang berbau-bau aparat militer dan lainnya. Mamak hanya mau aku jadi pegawai seperti mamak atau bapak aja."

Diceritakannya semua yang menyebabkan dia jadi seperti ini. Tinggal di pos berukuran 8 x 12 dan bergaul dengan preman dari semua suku yang ada di pasar bawah ini.

"Kenapa engkau tak turuti saja kemauan mamakmu. Mungkin itu akan jadi yang terbaik untuk kau." Aku mencoba memberi saran.

"Tak ada niatku sikit pun. Aku hanya ingin kembali ke sana sampai aku berhasil. Tapi apa daya. Kalo mamak tak memberi restu, percuma saja nanti aku pasti akan gagal lagi. Bagus aku jadi komandan disini."

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang