Kali ini aku mengayuh sepedaku tidak seperti biasanya. Begitu santai dan sangat lambat, karena ada bidadari duduk di belakangku.
"Abang mau bawa aku pergi ke mana?" tanyanya.
"Ke mana saja yang engkau mau." Aku menjawab sekenanya.
"Kita putar-putar keliling kota dulu aja, ya, nanti kita mampir ke Masjid Azizi, setelah itu Abang traktir kamu makan sate kerang. Mau, kan?"
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Masjid Azizi yang ada makam Tengku Amir Hamzah itu, ya, Bang? Sekalian aku mau ke makam Atok Wan. Waktu Atok Wan meninggal aku nggak bisa datang, Bang." Suaranya terdengar lirih.
"Kalau Atok Wan makamnya bukan di sana, Sayang." Kalimat itu tanpa sengaja meluncur sendiri dari mulutku.
"Idiih. Abang ni genit, yaa, ... pakai sayang-sayang segala." Matanya yang besar bertambah besar menatapku. Dia tersipu malu.
Setelah kami lewati Masjid Azizi, aku menghentikan sepedaku di rumah makan sambil memesan dua porsi sate kerang.
"Kamu coba, ya, makanan khas sini, sate kerang. Di Palembang mana ada ini," kataku.
Setelah mencicipi, Oca tampak menikmatinya.
"Bang ... aku ingin tau sekolah Abang. Nanti kita lewat situ, ya, Bang," pintanya.
"Bukannya Abang nggak mau ajak, tapi di sana pasti banyak temen-temen Abang. Nanti banyak kali pertanyaan mereka." Aku menolak halus.
"Memang kenapa, Bang? Apa aku nggak boleh kenalan sama temen-temen Abang? Nakal, ya, mereka?"
Aduh polos betullah anak ini. Dia tak mengerti aku malu.
"Bukan. Bukan begitu. Abang tak pernah bonceng- bonceng anak perempuan. Malulah nanti kalau mereka tanya macam-macam."
"Oooo ... gitu, ya, Bang. Bilang aja kalau aku ini adikmu, Bang." Tambah ngotot rupanya dia.
"Tak bisalah. Mereka, kan, semua sudah lihat adik Abang. Adik dari mana? Mana bisa tipu-tipu begitu dong," jawabku.
"Ya sudah ... kalau begitu bilang aja kalau aku ini pacar Abang." Terkejut aku mendengar perkataannya.
Sepertinya wajahku merona.
"Alamaak. Rupanya kamu sudah ngerti pacar-pacaran, ya?" Aku beranikan untuk menggodanya.
"Idiiih Abang. Bukan begitu. Kan, supaya temen-temen Abang nggak banyak tanya."
Akhirnya, aku turuti juga permintaannya. Kubonceng dia untuk melihat sekolahku.
Seperti yang sudah kuduga, teman-temanku ada di sana. Mereka sedang mempersiapkan properti untuk lomba pramuka. Seharusnya, aku juga ikut membantu karena termasuk anggota pramuka. Namun, karena telanjur berjanji untuk membawa Oca jalan-jalan, maka aku tidak bisa datang ke sekolah bersama mereka.
"Wooy Anta. Tak tampak di mana-mana rupanya sedang asyik kau, ya. Sapa tu, Ta? Senang kali awak nengok kau bisa dekat-dekat cewek. Kenalkanlah sama kami. Janganlah gitu kau, Anta." Banyak betul pertanyaan temanku.
"Ooo ... itu Oca, cucunya Atok Usman. Dia datang kemarin dari Palembang. Minta dibawa jalan-jalan keliling kota."
Kulihat Oca duduk di bawah pohon sambil baca buku yang dibawanya.
"Pandai tampaknya dia, Ta. Kenalkanlah sama kami."
Aku pun tak enak menolak. Kupanggil Oca untuk kukenalkan dengan teman-temanku.
"Oca ...! Kemarilah."
Dia mendekat.
"Haai!" Teman-temanku menyapanya, dan dia hanya tersenyum. "Adik manis ini sapa namanya? Dari mana pula datangnya?"
Oca menatapku. Matanya yang besar tampak kebingungan diberondong pertanyaan begitu banyaknya.
"Kenapa pula adik ini tak menjawab. Janganlah sombong macam itu. Awak pikir Anta ini tak pandai cakap sama perempuan. Belum pernah pun kutengok ada cewek mau dekat-dekat dengan dia ini."
Tiba-tiba Oca menjawab. "Aku Oca. Pacarnya Bang Anta dari Palembang."
Tersentaklah mereka semua mendengar dia bicara seperti itu.
"Alamaaak ... Ta....Tak kusangka sudah pandainya pun kau merayu, ya. Kenapa tak kau bilanglah dari tadi dia ini cewekmu."
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi.
"Aku cuma 3 hari di sini, dan Bang Anta mau ajak aku jalan-jalan." Dia berkata sambil memegang tanganku, maksudnya ingin mengajakku pergi menjauh.
Aku jadi salah tingkah di hadapan teman-temanku. Belum pernah ada perempuan bicara seperti itu denganku. Rupanya, dia benar-benar seperti yang dikatakannya tadi, supaya teman- temanku tak banyak pertanyaan.
Aku baru saja hendak pergi ketika salah seorang temanku yang sejak tadi memperhatikan kami tiba-tiba menyapa Oca.
"Mau ke mana buru-buru begitu? Tilo ... sombong kali kau sama Abang, ya. Kita juga, kan, sudah lama kenal."
Dia adalah Rahmat, masih kerabat Atok Usman. Kulihat Oca tidak suka dipanggil dengan nama kesayangan atoknya.
"Siapa, ya?" tanyanya.
"Kita kan, sudah pernah jumpa di rumah Atok. Aku juga cucunya, walaupun tak sedekat kau. Besok Bang Rahmat ajak kau jalan-jalan, ya." Dia menawarkan diri kepada Oca.
Aku hanya bisa mendengarkan, dan merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan Oca selanjutnya.
"Besok aku mau ikut Bang Anta ke ladang Atok. Dia mau ngajari aku masak."
Huuft. Lega aku mendengarnya. Rasanya, aku sedikit tersanjung. Tak kusangka sepertinya kali ini dia benar-benar datang untuk menghiburku, untuk bersama diriku.
* * * *
Wah wah....
Jangan ge-er dulu donk...
Bagaimana kisah selanjutnya?
Penasaran kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Teen Fiction🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...